Wanted in the bookstores : Literary canon

Wanted in the bookstores : Literary canon

Gindho Rizano  ;   A lecturer in the Faculty of Humanities
 at Andalas University, Padang, West Sumatra
JAKARTA POST, 30 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Visit any bookstore specializing in imported books from the English-speaking world and the chances are you will find non-fiction and fiction bestsellers as well as a significant amount of classics that are the pride and joy of a country or a culture.

The giants of British literature like William Wordsworth, William Shakespeare and Jane Austen are never hard to spot, as are the titans of American literature. They stand on the shelves waiting to be purchased and read by eager minds and literary enthusiasts.

You can even decide on the edition; the cheap paperback by Penguin or the ones with more flashy and artistic covers from the same or other publishers.

Now browse through our regular local bookstores; you will find contemporary local books and translated bestsellers. However, classics are few, especially in Indonesian literature.

You might find Chairil Anwar’s anthology of poems, Aku Ini Binatang Jalang (I Am a Wild Animal), selected poems of the great Sapardi Djoko Damono and the complete poems of the working class hero Wiji Thukul.

Sadly, you won’t likely find collections from other first-rate poets like WS Rendra or Sitor Situmorang. It is not even always easy to find the poems of the much-celebrated Taufiq Ismail who has made quite a reputation fighting illiteracy.

Likewise, classic short stories are scarce. AA Navis’ masterpiece, Robohnya Surau Kami (The Collapse of Our Mosque) may be widely available, but his complete anthology is reportedly out of print. Iwan Simatupang’s short stories renowned for their existentialist theme are also rare nowadays. Classic plays are extreme rarities. Where are Sanusi Pane and M. Yamin’s plays that capture the richness of Indonesian history? Where are the plays of their successors?

Novels probably fare better. Classics by the much-esteemed Pramoedya Ananta Toer, NH Dini’s romance novels and some books of the Balai Pustaka era are widely available. We can gladly add Muchtar Lubis and Ahmad Tohari to the list. However, many books by other authors remain absent in popular consciousness. And while a book should not be judged solely by its cover, its packaging should reflect the cultural worth of the content.

Indonesian literary canon is not entirely available to us — implying we are not literate and cultured enough. Aren’t we supposed to be living in the postmodern age in which we constantly refer to the works of the past? The sad truth is that we are not that literate yet, and it is a good idea to focus on a modernizing project to make buying, reading and enjoying literature our habit.

Our usual culprit is philistinism of society. We have long been content only with material achievements. We can get life values easily, from motivators on television shows. Literature is seen as the stuff of study instead of objects of passions and cultural pride. Philistinism ultimately explains publishers’ reluctance to publish from the canon, turning instead to motivational books and contemporary fiction for the reason that we all know too well.

Publishers should give canon a chance for exactly the same reason they are now ignoring it: maximum profit. Our classics are rich, readers are ever growing, our school curriculum demands books and our critics are still preserving and promoting classics.

Our classics simply need to be available to the reading public; and in this visual age, they’ll need proper packaging to become “objects of desire”. A bit of promotion backed by intellectuals will definitely get the ball rolling. The book industry should be on the front-line in battling philistinism; we critics, academic and reviewers will do all the talking.

We want the opportunity to indulge in reading what the poet Matthew Arnold states as “the best which has been thought and said”; to practice some “cultural hedonism” that will result in the enrichment of people’s mind and soul.

Diyat yang Berlebihan

Diyat yang Berlebihan

Moh Dimyati  ;   Pusat Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI),
Wakil Ketua PD Dewan Masjid Indonesia Jakarta Timur
REPUBLIKA, 29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Seorang TKW asal Desa Kalisidi, Ungaran, Semarang, Jawa Tengah, Satinah, terancam dihukum pan cung karena dituduh telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya di Arab Saudi. Dia bisa bebas dari eksekusi hukum pancung apabila membayar diyat (denda) 7 juta riyal atau setara Rp 21,2 miliar kepada keluarga terbunuh.

Tuntutan diyat keluarga terbunuh sebesar itu terlalu berlebihan.
Pertama, ke luarga majikan seharusnya sadar bahwa Sutinah adalah seorang pembantu rumah tangga, dari mana dia dapat mengumpulkan uang sebanyak itu? Dia jauh-jauh pergi dari Indonesia ke Arab Saudi harus meninggalkan keluarga karena hidupnya di Indonesia susah.

Kedua, pembunuhan dilakukan, konon, spon tan/semi sengaja hanya di lempar dengan pisau dapur, tidak direncanakan.

Ketiga, sebagai seorang bangsa Arab Saudi yang beragama Islam, tentunya tahu dan memahami tujuan Islam menerapkan hukum qisas terhadap pembunuh, dan memberi peluang untuk meminta maaf kepada keluarga terbunuh tujuannya sangat mulia.

Beratnya hukuman terhadap pembunuh sebagai pendidikan, tindakan preventif untuk mencegah tindakan kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa; berapa banyak orang yang bermaksud membunuh, lalu menahan diri karena takut dihukum mati. 

Adanya peluang damai minta maaf dengan membayar diyat kepada keluarga terbunuh memberi kesempatan kepada pembunuh untuk bertaubat dan memberi peluang keluarga terbunuh untuk berbuat ihsan/kebajikan.

Pembunuh dibalas dengan hukuman mati adalah adil, tetapi memberi maaf kepada pembunuh dengan atau tanpa meminta diyat adalah ihsan. Pahalanya sangat besar di sisi Allah SWT. Jadi, berbuat ihsan derajatnya lebih tinggi dari pada berbuat adil. Oleh karena itu, apabila pihak keluarga terbunuh ingin berbuat ihsan, janganlah meminta diyat yang terlalu berlebihan. Sebab, Allah melarang dan membenci orang yang suka berbuat berlebihan.

Firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu melaksanakan qisas berkenaan dengan pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Tetapi, barang siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya/ahli waris, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik dan yang diberi maaf membayar diyat/denda kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu suatu keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada jaminan kehidupan bagimu wahai orang-orang berakal agar kamu bertakwa." (al-Baqarah [2]: 178-179).

Qisas adalah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia,"Jiwa dengan jiwa, mata dengan mata." (al-Maidah [5] :45).

Menurut hukum Islam, kepada yang membunuh tergantung tiga hak: (a) hak Allah, (b) hak ahli waris, dan (c) hak terbunuh. Apabila dia menyesal dan bertaubat kepada Allah, dan menyerahkan diri serta meminta maaf kepada ahli waris/keluarga yang di bunuh, maka terbebas dari hak Allah dan hak ahli waris baik mereka melakukan qisas atau mereka memaafkan, pemberian maaf dengan membayar diyat (denda) atau tidak. Sesudah itu tinggal hak yang dibunuh, nanti di akhirat oleh Allah akan diganti dengan kebaikan.

Tujuan pembayaran diyat di antaranya adalah untuk biaya hidup dan pendidikan keluarga terbunuh. Namun, kalau ada pertimbangan lain, bisa saja keluarga terbunuh hanya memaafkan tanpa meminta diyat.

Sabda Rasulullah SAW: "Barang siapa yang membunuh sengaja ia di se - rah kan kepada keluarga yang terbunuh, mereka boleh membunuhnya atau menarik diyat (denda), yaitu 30 ekor unta betina umur 3-4 tahun, 30 ekor unta betina umur 4-5 tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting." (HR at-Tarmidzi). Kalau dinilai uang, kurang lebih setara Rp 3 miliar. Pembayaran diyat juga bisa dicicil sesuai kesepakatan.

Oleh karena itu, tuntutan diyat Rp 21,2 miliar dan harus dibayar tunai terlalu berlebihan dan tentu saja sangat memberatkan Satinah dan keluarga. Sebaiknya, pemerintah dan atau para ulama Arab Saudi memberi pencerahan kepada keluarga terbunuh untuk menghilangkan citra buruk terhadap bangsa Arab Saudi maupun hukum Islam. Jangan sampai ada anggapan, orang Arab Saudi, orang Islam itu sadis, kejam, tidak berperi kemanusiaan, melanggar HAM, dan lain-lain.

Padahal, hukum Islam sangat adil, sangat indah, dan sangat sempurna karena diturunkan oleh Allah Yang Adil, yang menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk kita manusia.

Di sinilah keistimewaan hukum Islam, yang tidak ada pada sistem hukum lainnya (termasuk KUHP dan KUHAP). Pertama, kalau orang membunuh diserahkan kepada keluarga terbunuh, mau qisas atau membayar diyat. Putusan pertama sampai akhir ada di tangan keluarga karena keluargalah yang paling merasakan dampak penderitaan pembunuhan. Sedangkan dalam hukum ciptaan manusia putusan terakhir pada tangan kepala negara (grasi presiden/ raja/sultan).

Kedua, keluarga bisa memberikan maaf dengan atau tanpa diyat. Dalam hukum ciptaan manusia tidak ada istilah/peluang memberi maaf dan bayar diyat. Kalau keluarga meminta qisas atau memaafkan dengan atau tanpa diyat, maka selesailah perkaranya tinggal eksekusi. Tidak perlu pengacara, tidak perlu berlama-lama masuk bui yang membebani uang rakyat. Cepat, praktis, hemat, dan sangat adil.

Terakhir, kita kutipkan firman Allah Swt dalam surat al-Maidah (5): 32.
"Barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia."

Betapa tingginya Islam menghargai nyawa seseorang.

Media Dakwah Alternatif

Media Dakwah Alternatif

Uwes Fatoni  ;   Dosen Fidkom UIN Bandung,
Peserta Program Sandwich Kemenag RI di Amerika Serikat
REPUBLIKA, 29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Saudi memfatwakan larangan terhadap serial kartun superhero Muslim "The 99" dan menganggapnya kartun setan (Republika, 25/3). Kartun ini diadopsi dari komik dengan judul sama karya Dr Naif al Mutawa, seorang psikolog asal Kuwait. Komik itu berisi cerita berdasarkan sejarah dan budaya Islam yang dilengkapi dengan 99 tokoh imajiner seperti Hady, Darr, Mumita, Batina, dan Jabbar yang memiliki kekuatan manusia superhero.

Karena nama-nama itu adalah sifat-sifat Allah yang suci, ulama Saudi menuduh komik tersebut telah mencemarkan ajaran Islam.

Menurut pengarangnya, penggunaan Asmaul Husna sebagai nama tokoh superhero bertujuan semata-mata memperkenalkan sifat-sifat Allah kepada anak-anak, tidak ada maksud menghina Islam. Sejak kemunculannya tahun 2006 silam, serial komik anak-anak ini mendapat sambutan hangat dari anak- anak Muslim Timur Tengah. Ia menjadi bacaan alternatif dari gempuran komik superhero asal Amerika. Komik ini berhasil tersebar ke banyak negara bahkan dialihbentukkan menjadi serial kartun dan film dokumenter "Wham, Bam, Islam". Komik tersebut juga cukup laris di Amerika karena dianggap mengedepankan nilai universal dan toleransi.

Memahami fatwa

Sejak awal kemunculan serial komik The 99 ulama Saudi telah berupaya melarang penyebaran komik dan kartun anak Muslim ini. Ada beberapa alasan mengapa ulama Saudi memfatwakan larangan tersebut. Pertama, pengaruh Wahabisme. Ulama Saudi sangat kuat memegang ajaran Wahabi yang bercirikan pemurnian ajaran Islam dari pengaruh negatif. Setiap hal yang dianggap membahayakan kemurnian ajaran Islam akan mereka singkirkan termasuk komik dan kartun yang dianggap melecehkan Islam.

Kedua, resistensi perkembangan teknologi. Ulama Saudi sering resisten dalam penggunaan media teknologi. Media massa komik dan kartun adalah media baru dalam dakwah Islam. Pesan-pesan dakwah dalam media ini dituntut lebih kreatif agar laku di pasaran. Pandangan ulama Saudi yang menyatakan kartun "The 99" sebagai kartun setan, menunjukkan mereka tidak memahami karakteristik media. Pesan keislaman dalam komik dan kartun harus bersifat universal agar bisa diterima market yang lebih luas, namun tetap memegang kuat nilai-nilai Islam.

Dalam sejarah disebutkan beberapa kali ulama Saudi gagap dalam menyikapi perkembangan teknologi dan penggunaannya sebagai media. Contohnya Mufti Wahabi Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Latif Alu Syaikh pernah mengharamkan mendengar radio dan televisi di Saudi sekalipun untuk mendengarkan Alquran. 

Namun, beberapa tahun kemudian, ketika radio dan televisi diketahui memiliki banyak manfaat dalam penyebaran dakwah, larangan tersebut dicabut. Tidak tertutup kemungkinan beberapa tahun ke depan ulama Saudi akan juga mengakui komik dan kartun sebagai media dakwah baru.

Media dakwah alternatif

Salah satu kelemahan umat Islam menghadapi perkembangan zaman saat ini adalah belum maksimal memanfaatkan media massa dalam menyebarkan pesan keislaman. Menurut Imam Shamsi Ali, tokoh Islam asal Indonesia di Amerika, generasi muda Islam perlu didorong lebih banyak terjun dalam dunia media seperti menjadi wartawan, produser film, termasuk pencipta komik dan kartun. Penguasaan media massa menjadi bagian penting sebagai media dakwah alternatif dalam memberikan gambaran Islam yang jenuin sekaligus juga mengikis Islamofobia dan stereotip negatif terhadap Islam.

Umat Islam tidak cukup sekadar reaktif terhadap setiap produk hiburan yang menyudutkan Islam, tapi mereka juga dituntut lebih kreatif. Contohnya saat ini umat Islam di Los Angeles, California, mulai memberikan perhatian serius kepada produksi hiburan Hollywood. Mereka berhasil menghentikan rencana pembuatan kartun Alice in Arabia produksi ABC Family Hollywood yang dianggap menyebarkan stereotip negatif Islam, yaitu menggambarkan masyarakat Arab sebagai penculik dan penindas perempuan.

Di sisi lain, ada dorongan agar Hollywood semakin banyak membentuk citra Islam yang positif. Saat ini sedang digarap komik superhero remaja berjudul Ms Marvel Kamal Khan dari Marvel Comics, sebuah lembaga produksi yang melahirkan tokoh-tokoh superhero seperti Spiderman, Hulk, dan Iron Man. Tokoh superhero ini digambarkan sebagai gadis Muslim keturunan Pakistan yang tinggal di New Jersey dan menjadi pahlawan penyelamat bumi. Tokoh yang berada di balik penciptaan Kamal Khan ini adalah G Willow Wilson, seorang mualaf. Ia menggarap skrip ceritanya dengan banyak berkonsultasi pada beberapa tokoh Islam di Council on American Islamic Relations (CAIR) Los Angeles.

Pesan Islam juga muncul dalam Film box office Ender's Game (sutradara Orson Scot Card). Dalam ceritanya Alai menyampaikan ungkapan salam kepada Ender sang komandan. Ia kemudian menerangkan bahwa salam maknanya peace (damai). 

Semoga upaya ini menjadi babak baru umat Islam untuk semakin banyak mencurahkan perhatian pada media-media baru termasuk juga berperan aktif dalam produksi hiburan Hollywood sehingga diharapkan Islamofobia akan semakin terkikis dan citra Islam pun semakin positif. Wallahu a'lam.

Memperjuangkan Buruh Migran

Memperjuangkan Buruh Migran

Yulianti Muthmainnah  ;   Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
REPUBLIKA, 28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemerintah tidak memiliki data yang akurat terkait persoalan yang dihadapi buruh migran. Minimnya political will dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pembelaan merupakan salah satu faktor determinan yang membuat buruh migran Indonesia belum bisa bekerja dengan aman. Indonesia belum memiliki sistem yang baik yang dapat memproteksi, menjamin keselamatan dan kehormatan buruh migran di negara tempatnya bekerja. Akibatnya, buruh migran Indonesia rentan mendapatkan pelbagai bentuk pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan fisik dan psikis, pembunuhan, serta perlakuan tak manusiawi lainnya.

Meskipun pada 2011 Presiden SBY mengikrarkan untuk menempatkan agenda perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagai prioritas utama kebijakan luar negerinya, aplikasinya masih jauh dari kenyataan. Faktanya, dari waktu ke waktu kondisi buruh migran bukannya semakin cerah, namun semakin kelam. Hukuman mati juga seolah tak pernah berhenti membayangi mereka.

Kali ini ada Satinah. Jika tak ada upaya penyelesaian yang konkret, seperti melalui diplomasi yang signifikan, Satinah akan dihukum pancung tanggal 12 April mendatang karena dituduh membunuh majikannya. Naifnya lagi, Satinah tidak sendirian. Selain dia, ada puluhan buruh migran Indonesia tersebar di berbagai negara yang saat ini juga tengah menghadapi sejumlah ancaman hukuman pidana, termasuk pidana mati.

Migrant Care menyebut ada 26 buruh migran, sedangkan Kemenlu RI menyebut ada 22 buruh migran yang tahun ini menghadapi pidana mati. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki data yang akurat terkait persoalan yang dihadapi buruh migran.

Tidak serius

Setelah mendapatkan tekanan luas dari publik, Presiden SBY akhirnya baru tergerak menggelar rapat dengan para menterinya dan berkirim surat kepada Raja Arab Saudi. Namun, dalam pandangan penulis, upaya tersebut justru menegaskan ketidakseriusan pemerintah.

Sebab, sering kali rapat hanya sebatas rapat dan tak memiliki implikasi nyata di lapangan. Hal tersebut juga menggambarkan betapa kemauan untuk melindungi buruh migran masih terfokus pada kasus perorangan. Pemerintah belum mau memikirkan dan membangun sebuah sistem perlindungan komprehensif yang secara preventif bisa diandalkan menjaga rasa aman buruh migran.

Di kawasan Timur Tengah yang merupakan destinasi utama, Indonesia sebenarnya mempunyai keuntungan untuk menempuh jalur dilplomasi antarsesama anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Selain itu, organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan NU, juga mempunyai hubungan yang dekat, baik dengan tokoh ulama, tokoh organisasi, dan Pemerintah Arab Saudi.

Hubungan semacam itu semestinya bisa dimanfaatkan secara maksimal sehingga kasus demi kasus penzaliman terhadap buruh migran tidak terus berulang. Indonesia, misalnya bisa menagih sistem pengadilan yang adil bagi buruh migran dan pengurangan denda sehingga tak melebihi batas kewajaran. Sayangnya, usaha itu belum sepenuhnya dilakukan pemerintah saat ini.

Di sisi yang lain, presiden dan elite negeri ini mungkin kurang peduli dan simpati karena sedang masa kampanye.

Sehingga, yang lebih diprioritaskan, yakni urusan politik kepartaian daripada melunasi tanggung jawabnya. Presiden justru lebih mengutamakan bersafari, berkampanye dengan menyanyi untuk mempertahankan kursi dan kekuasaan partai. Itu pula yang dilakukan oleh jajaran menterinya, tak terkecuali menteri yang seharusnya bertanggung jawab secara langsung untuk mengurus kesejahteraan buruh migran.

Cermin kegagalan Jika direfleksikan secara mendalam, di balik fenomena buruh migran, sesungguhnya mencerminkan kegagalan pemerintah secara nasional dalam upaya menghidupkan ekonomi dan menyejahterakan warga negara. Sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat dibiarkan dikuasai asing. 
Lapangan kerja yang tersedia sangat terbatas dan kebanyakan tidak dapat diakses oleh rakyat miskin tidak berpendidikan. Pertumbuhan ekonomi begitu rendah, sedangkan pada saat yang sama populasi penduduk terus bertambah.

Aldo Matteucci (2007) mengatakan ada empat alasan yang mendorong orang untuk bermigrasi secara internasional. Yaitu, wealth (kemakmuran), weather (cuaca), water (air), dan warfare (perang/konflik). Terdorong untuk mencari kemakmuran, kesejahteraan (wealth) itulah maka sangat masuk akal bila kemudian banyak perempuan miskin di desa-desa yang bermigrasi mencari kehidupan lebih baik di luar negeri. Ya, menjadi buruh migran untuk membiayai diri dan keluarganya karena kondisi dalam negeri tak mendukung harapan itu.

Dalam perspektif teori neoklasik, pilihan tersebut sangat realistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang minim, mereka harus mencari uang. Pekerjaan di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerjaan kasar lainnya terbuka lebar meskipun memiliki risiko besar.

Diperkirakan, setidaknya terdapat 6,5 juta tenaga kerja kita yang berkerja di luar negeri. Dari cucuran keringat dan tetesan air mata buruh migran tersebut, sejumlah pakar menghitung bahwa negara memperoleh keutungan devisa sebanyak Rp 80 triliun per tahun. Meski demikian, dari waktu ke waktu, komitmen politik dan jaminan perlindungan negara terhadap buruh migran jauh dari memadai dan bahkan cenderung diabaikan. Pemerintah sangat pelit dalam memberikan bantuan dan pertolongan saat mereka sedang membutuhkan.

Padahal, memperjuangkan dan membela buruh migran juga berarti membela dan mempertahankan kehormatan serta harga diri bangsa Indonesia. Keberadaan mereka di luar negeri tak bisa tidak mempresentasikan dan mewakili citra Indonesia di negara tersebut. Jika harga diri buruh migran dilecehkan dan nyawa mereka begitu tak berharga, sesungguhnya martabat dan harga diri bangsa demikian terinjak-injak.

Menimbang Popularitas Jokowi

Menimbang Popularitas Jokowi

Nazil Muhsinin  ;   Direktur The Cibinong Center
REPUBLIKA, 27 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Sebagaimana yang diberitakan media baru-baru ini, akhirnya PDIP lewat Megawati memberikan mandat kepada Jokowi untuk maju sebagai calon presiden, setelah sejumlah survei berkali-kali membeberkan popularitasnya di atas sejumlah tokoh lain yang disinyalir bakal menjadi calon presiden. Harus diakui, popularitas Jokowi menjadi dominan karena rakyat Indonesia sudah lama merindukan pemimpin yang bersahaja.

Kerinduan rakyat tersebut akibat perilaku para pemimpin (nasional maupun daerah) yang cenderung tidak bersahaja, bahkan sangat masif menjaga jarak dengan rakyat, kecuali pada saat-saat tertentu saja seperti masa kampanye.

Lebih konkretnya, jajaran pemimpin nasional dan pemimpin daerah selama ini cenderung meninggalkan rakyat setelah memperoleh kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Bahkan, dalam banyak kasus, banyak rakyat kecil yang sering dikorbankan oleh pemimpinnya atas nama pembangunan. Misalnya, di banyak daerah, fenomena penggusuran terhadap rakyat kecil menjadi berita sehari-hari.

Hal ini tentu menimbulkan kesan bahwa rakyat ditindas oleh pemimpin yang dipilihnya. Pada titik inilah, rakyat semakin rindu munculnya pemimpin bersahaja yang bersedia memihak rakyat kecil sebagaimana yang diperlihatkan Jokowi sejak di Solo hingga di Jakarta.

Oase popularitas

Jokowi, di mata rakyat, bisa jadi merupakan oase yang mampu menghapus rasa rindu terhadap pemimpin yang sejuk dan nyaman dipandang. Ibarat sebatang pohon rindang di tengah padang pasir yang panas, oase itu akan menjadi pusat perhatian rakyat untuk berduyun-duyun ingin merasakan suasana sejuk dan nyaman. Bagi sejumlah pihak, oase yang tersirat dalam popularitas Jokowi boleh saja dianggap sekadar fatamorgana atau sekadar pencitraan. Namun, anggapan demikian akan mudah dipatahkan manakala faktanya perilaku politik Jokowi tetap konsisten dalam kebersahajaan. Dan, sebagaimana oase, popularitas Jokowi bisa dianggap tak akan mampu memuaskan semua pihak atau hanya sekadar menciptakan kesejukan sesaat dan terbatas.

Namun, oase tetaplah akan sangat menarik perhatian banyak orang pada situasi dan kondisi yang makin tidak nyaman akibat perilaku para pemimpin yang tidak bersahaja. Adegan-adegan kecil bisa menjadi bukti betapa popularitas Jokowi betul-betul menjadi oase bagi rakyat kecil. Misalnya, setiap kali Jokowi blusukan, rakyat yang sempat berjabatan tangan dengannya pasti akan memperilihatkan mimik bahagia (wajah sangat cerah ceria). Adegan tersebut harus bermakna politis yang tak layak diremehkan oleh setiap pemimpin dan calon pemimpin yang ingin dicintai dan dihormati oleh rakyat. Lebih gamblangnya, bagi rakyat kecil, meskipun tidak diberi sesuatu yang dibutuhkannya (sembako misalnya) tapi jika bisa bertemu dengan pemimpin yang bersahaja sudah cukup menyenangkan. Rakyat akan merasa diperhatikan oleh pemimpinnya.

Meniru

Begitulah, popularitas Jokowi selayaknya dipahami oleh pemimpin lain, untuk kemudian menirunya, seperti yang telah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan bukti mencoba sesekali blusukan mendekati rakyat.

Terkait agenda Pemilu 2014 nanti, rakyat Indonesia tampaknya akan segera melihat banyak pemimpin dan calon pemimpin yang akan meniru Jokowi, yakni memperlihatkan perilaku bersahaja kepada rakyat. Namun, rakyat pasti akan tahu siapa pemimpin dan calon pemimpin yang sekadar meniru Jokowi untuk pencitraan politik dalam rangka kampanye. Pada titik ini, pemimpin dan calon pemimpin yang meniru Jokowi bisa jadi tidak akan menarik simpati rakyat, jika sebelumnya berperilaku tidak bersahaja, misalnya suka pamer kemewahan.

Lebih gamblangnya, pemimpin dan calon pemimpin akan sia-sia meniru Jokowi jika pada saat blusukan mendekati rakyat justru dengan mengendarai mobil mewah dalam seremonial atau protokoler yang serbawah, karena hal itu justru bisa membuat rakyat bersikap sinis dan bahkan antipati. Selain itu, nasib peniru di ranah apa pun memang cenderung lebih rendah dibanding yang ditiru. Kalau misalnya ada tiruan yang dianggap sama berharganya dengan yang asli, biasanya karena yang tiruan memiliki kualitas yang lebih baik.

Oleh karena itu, pemimpin dan calon pemimpin yang hendak meniru Jokowi agar memiliki popularitas yang hebat, harus mampu menunjukkan kualitas dirinya dengan dibungkus perilaku bersahaja kepada rakyat, agar rakyat tertarik dan kemudian berharap akan memiliki pemimpin baru yang lebih baik dibanding Jokowi. Dengan kata lain, pesona Jokowi yang sekarang sedang moncer bukan tidak mungkin dikalahkan oleh calon pemimpin yang memiliki kualitas kepribadian yang lebih cerdas dan bersahaja yang secara masif dibuktikan kepada rakyat sehingga tidak muncul kesan sekadar pencitraan atau sedang kampanye belaka. Selebihnya, rakyat sekarang sudah cerdas dan mampu membedakan mana emas mana loyang.
Jadi, jangan berharap dianggap emas jika faktanya hanya loyang yang disepuh warna keemasan yang pasti akan mudah luntur.

Politik Transaksional

Politik Transaksional

Iksan Basoeky  ;   Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Politik
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
REPUBLIKA, 27 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kontestasi politik kian mendekat, gelombang persaingan semakin memanas. Peserta pemilu legislatif (pileg) ramai-ramai turun jalan mendekati konstituen dengan menawarkan gagasan mereka masing-masing, dibumbui dengan segudang janji politik yang serbamelangit. Intinya ingin mendapatkan suara rakyat sebagai bekal untuk mendapatkan kursi jabatan (kekuasaan).

Fenomena pesaingan politik kiranya menjadi hal lumrah dalam proses dialektika demokrasi di repulbik ini. Desain gagasan dan janji politik tak ubahnya bumbu kampanye politik agar "wajah buram" para politisi tidak terkesan kentara pada publik bahwa mereka hanya ingin memperoleh suara. Selebihnya adalah kekuasaan milik pribadi dan kroni, sehingga sangat tampak gagasan yang ditawarkan hanya sebatas ucapan yang jauh dari tindakan, apalagi untuk perbaikan kualitas hidup jangka panjang.

Dialektika demokrasi hanya dijadikan momentum transisi kekuasaan dan transaksi politik, tetapi dorongan melaksanakan demokrasi berbasis kesejahteraan semakin jauh panggang api. Pesta demokrasi lima tahunan hanya dijadikan momentum penantian untuk memperebutkan kekuasaan yang miskin nilai.

Mereka turun jalan bukan dalam arti memperjuangkan hak-hak rakyat dan perbaikan hidup yang hakiki demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruhnya rakyat, tetapi hanya sebuah impian pragmatisme memperoleh tahta kekuasaan.

Perjuangan hanya berhenti pada wilayah bentuk dan janji, bukan substansi dan eksekusi. Sejatinya, kedatangan mereka pada rakyat hanya bersifat prosedural mengampanyekan diri dan sepi dan ideologi. Sehingga, semuanya samar-samar dan terkesan hanya sebatas melaksanakan proyek pragmatisme politik, seakan dekat tetapi sebenarnya jauh meminjam bahasa Fahruddin Faiz (2011), lebih jauh daripada luasnya langit dan bumi. Mereka mendekati rakyat hanya sebagai media untuk memperoleh imbalan jasa berupa suara dengan cara-cara "haram" transaksi politik berupa pembelian suara.

Bahkan, pada saat kampanye seperti sekarang, para politisi kian berani obral janji palsu dengan bungkusan harapan yang berlebihan. Rakyat didekati dengan halus agar mereka tulus memberikan suarnya untuk kelanggengan kursi. Padahal, di balik semua itu tersimpan segudang kebohongan dan pengkhianatan yang nantinya akan melahirkan penyesalan dan kepedihan yang mendalam di hati rakyat.

Kebohongan mereka cipta dengan para pendukungnya melalui kampanye kata-kata tetapi sepi dari tindakan. Dusta politik dianggap jalan alternatif yang sah untuk dilakukan, walaupun sejatinya ia ingkar terhadap orientasi ideologi partai dan sifat mulia dari demokrasi. Dusta politik ini, menurut Marcur Olson dalam Power dan Prosperty (2000) disebabkan oleh sindrom politisi yang sudah dikelilingi para bandit dan pekulat. Sehingga, keduanya menyebar dan akhirnya menjadi petaka warisan budaya politik yang senantiasa selalu dipertahankan.

Saatnya melawan

Tentunya kita masih yakin bahwa pesta demokrasi 2014 ini akan berjalan sesuai dengan harapan dan tidak akan berjalan mulus yang namanya politik transaksional bilamana kita berani melawannya. Aksi politik (political action) demikian harus kita tolak bersama sebab ia bermuara pada kemunafikan dan korupsi. Politik transaksional sejatinya sangat mencederai orientasi agung dari proses demokrasi di mana gagasan demokrasi berlangsung sejatinya ingin menghindari praktik jual belik suara konstituen.

Tradisi praktik politik demikian men jadikan hak suara rakyat sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Padahal, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) yang tak dapat diperjualbelikan dengan harga sebesar apa pun karena ia sangat berarti bagi penunjang perbaikan masa depan republik tercinta ini. 

Cita-cita perbaikan bangsa ini harus terselamatkan dari praktik-praktik politik yang berorientasi provite oriented sebab ia hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin berideologi pragmatis yang senantiasa selalu ingin mengejar uang dan kekuasaan sementara program bagi pertumbuhan kesejahteraan rakyat tergadaikan.

Sifat dari ideologi pemimpin seperti ini biasanya selalu menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsu pragmatisme individu dan kelompoknya. Bahkan, ia berani mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan kekuasaan dengan membeli suara rakyat dalam bentuk sedekah uang agar tidak terlalu terkesan melakukan praktik money politics. Walhasil, jika ia tepilih maka yang akan didahulukan adalah berburu harta dan korupsi demi mengembalikan biaya kampanye politik yang cukup mahal.

Perjuangan mewujudkan kesejahteraan hanya nyaring kedengarnya. Ia bagaikan nyanyian kata-kata tanpa laku (tindakan). Berbondong-bondong mendekati rakyat sejatinya bukan berangkat dari hati yang tulus demi sebuah upaya dan usaha memperbaiki kualitas hidup bangsa. Tetapi, semata-mata ingin berkomunikasi prihal kepentingan pragmatisme dan kekuasaan mereka masing- masing. Lebih ironisnya lagi, visi dan misi yang dibangun sebatas hitam di atas putih dan sepi dari implementasi.

Praktik-pratik transaksi politik demikian yang akan berakibat pada kefatalan dalam dimensi proses demokrasi, yang sejatinya "wajib" kita perangi bersama karena ia telah mencederai nilai-nilai demokrasi dan secara tidak langsung telah menggadaikan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Oleh sebab itu, keterlibatan dan kesadaran dari semua elemen untuk melawan praktik haram ini adalah inti dari suksesi proses berlangsungnya pesta demokrasi. Merasakan pesta demokrasi bukan dalam arti harus menghamburhamburkan uang dan membagi-bagikannya kepada khalayak publik sebab tindakan tersebut sama halnya dengan melukai hati nurani rakyat. Memberi dan menjual suara adalah dua tindakan yang sama akan melahirkan kesengsaraan yang bersifat jangka panjang.