Duri   dalam Putusan MKMargarito Kamis  ;   Doktor Hukum   Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum  Universitas   Khairun Ternate  |  
KORAN SINDO,  22 Maret 2014
|    Permohonan   pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C dikaitkan dengan Pasal   22 E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, dan penafsiran Pasal 6A ayat (2)   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima.   Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.  Itulah   amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 108/PUU-XI/2013, atas permohonan   Profesor Yusril Ihza Mahendra. Putusan ini dibacakan dalam sidangnya yang   terbuka untuk umum pada tanggal 20 Maret 2014. Pasal-pasal yang dimohonkan   oleh Profesor Yusril untuk diuji oleh MK adalah Pasal 3 ayat 5, Pasal 9,   Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum   Presiden dan Wakil Presiden. Profesor Yusril menilai pasalpasal ini   bertentangan dengan Pasal 4 ayat 1, Pasal 6A ayat 2, Pasal 7C, Pasal 22E ayat   1, ayat 2, dan ayat 3 UUD 1945. Tetapi dalam petitumnya, Profesor Yusril juga   memohon MK menyatakan maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem   pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem presidensial.  Konsistensi Amburadul  Dibanding   dengan permohonan Bung Effendi Gazali Ph.D dan kawan-kawan yang telah diputus   oleh MK pada tanggal 23 Januari 2014 yang lalu dengan permohonan Profesor   Yusril, terdapat sedikit persamaan juga sedikit perbedaan. Perbedaan paling   fundamental terletak pada argumen dan Pasal-Pasal UUD 1945 yang dijadikan   batu uji. Bung Effendi dan kawan-kawan tidak menggunakan Pasal 7C sebagai   batu uji, juga tidak memohon kepada MK menafsir Pasal 4 ayat (1) dihubungkan   dengan Pasal 7C UUD 1945.  Tetapi   terlepas dari perbedaan dan kesamaan pasal yang dimohonkan untuk diuji dan   pasal UUD yang dijadikan batu uji oleh Bung Effendi dan Profesor Yusril,   terdapat satu hal menarik. Hal yang menarik itu adalah konsistensi MK dalam   menilai dan memberi sifat hukum atas Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang   Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh MK, pasal ini dinilai sah secara   konstitusional, tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.  MK   menilai ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 merupakan   kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka, yang dapat   ditentukan sebagai legal policy  oleh pembentuk undang-undang. Penilaian ini telah dianut oleh MK sejak   putusan nomor 51-52-59/PUUVII/ 2008 tanggal 23 Januari 2009, dan dinyatakan   terakhir kalinya dalam putusan nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014   yang lalu.  Soal   hukumnya adalah pasal apakah dalam UUD 1945 yang memberi delegasi, yang oleh   MK disifatkan sebagai ”kebijakan terbuka” itu kepada pembentuk UU? Pasal 6   ayat 2 dan pasal 6A ayat 5UUD1945adalahduapasal yang secara eksplisit   mengatur delegasi kepada pembentuk UU. Pasal-pasal lain dalam UUD 1945 tidak   memberi delegasi kepada pembentuk UU untuk mengatur   pemilihanpresidendanwakilpresiden. Pasal 6 ayat 2 mendelegasikan kepada pembentuk   UU mengatur lebih lanjut ”syarat” yang harus dipenuhi oleh seseorang menjadi   capres dan cawapres.  Pasal 6A   ayat 5 mengatur delegasi tentang tata cara. Nalarnya, Pasal 6 mengatur syarat   yang harus dipenuhi oleh subjek–orang– untuk dapat diusulkan menjadi calon   presiden atau wakil presiden. Maksud yang dituju oleh Pasal 6 ayat 2 adalah   orang, dan hanya orang yang dapat menjadi presiden, bukan partai politik.   Maksud itu terbaca dari frase ”syarat   untuk menjadi presiden dan wakil presiden” yang terdapat dalam Pasal 6   ayat 2 itu, yang sekali lagi, maknanya tidak lain, dan hanya itu, yaitu   orang, bukan partai politik.  Hukumnya,   pasal ini tidak bisa ditujukan kepada partai politik, dalam bentuk mewajibkan   partai politik memenuhi syarat tertentu, ambang batas peroleh kursi atau   suara, untuk dapat mengusulkan seseorang menjadi calon presiden dan atau   wakil presiden. Sayangnya, MK berpendapat lain. Pendapat ini, hemat saya,   disebabkan oleh ketidaklogisan memaknai konsep ”syarat”, dan konsep ”tata   cara”. Secara hukum, syarat dan tata cara adalah dua hal yang berbeda.   Perbedaannya tidak bersifat semantik, melainkan substansial.  Syarat   adalah hal-ihwal yang padanya hukum atau hak disandarkan atau digantungkan.   Bila syarat itu terpenuhi, maka timbullah hak. Sebaliknya bila syarat itu   tidak dipenuhi, maka haknya ditangguhkan pemenuhannya, atau hilang haknya.   Berbeda dengan konsep syarat, tata cara adalah serangkaian tindakan hukum   yang harus dilakukan oleh subjek hukum, yang diberi wewenang melakukan tindakan   hukum itu.  Tindakan   hukum apa? Tindakan hukum yang menurut terminologi dalam Pasal 6A ayat 5   yaitu melaksanakan pemilu presiden dan wakil presiden. Kapan pemilu itu   dilaksanakan, kapan pendaftaran dibuka, berapa hari waktu yang untuk   pendaftaran itu, kapan surat suara dicetak, siapa yang mencetaknya, kapan   surat suara didistribusikan, siapa yang mendistribusikannya, dan lainnya.   Itulah makna norma dalam Pasal 6A ayat 5.  Inilah Durinya  Andai MK   berkaliber setara Earl Warren, chief   justice pada supreme court Amerika   di masa Presiden Eishenower, tak mungkin MK menemukan kabut hitam untuk   mengualifikasi Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 itu inkonstitusional. Toh,   kelak ketika pileg dan pilpres disatukan, pasal itu tidak memiliki relevansi   sama sekali. Mau ambil 20% atau 25% dari mana? MK terlalu mengecilkan   kapasitasnya dengan menceburkan diri ke dalam hipotesa kerumitan teknis.   Sungguh disayangkan, MK tidak mendemonstrasikan kehebatan argumentasinya   sebagai penafsir final atas konstitusionalitas pasal, ayat, atau frase dalam   UU, khususnya Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 ini.  Nasi   sudah jadi bubur, MK telah memberi kata putus atas masalah itu, dan sesuai   sifatnya, putusan itu tidak dapat dilawan dengan upaya hukum apa pun. MK   hanya mengutip pendapatnya yang terdahulu, khususnya yang tertuang dalam   putusan Nomor 14/PUU-XI/ 2013 tanggal 24 Januari 2014. Itu pun, sekali lagi,   sangat singkat. Oleh karena MK telah memiliki sikap final atas Pasal 9 itu,   maka MK tidak memiliki pilihan lain, selain memberi putusan atas permohonan   Profesor Yusril agar MK menafsir hubungan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C UUD   1945 yang menurutnya kedua pasal ini bermakna sistem pemerintahan Indonesia   menurut UUD 1945 adalah presidensial.  Akankah   putusan atas permohonan Profesor Yusril ini menyisakan ”duri” dalam pemilihan   umum presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan pada bulan Juli   mendatang? Sulit mengatakan ya. Mengapa? Karena, MK menyamakan esensi   permohonan Profesor Yusril dengan permohonan Bung Effendi. Sungguhpun begitu,   pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang bukan tak bisa tertusuk duri.   Duri itu adalah pemisahan pilpres dari pileg.  Mengapa?   MK dalam putusan permohonan Bung Efendi telah mengualifikasi pemisahan pileg   dan pilpres inkonstitusional. Memang MK menangguhkan sementara pelaksanaan   akibat hukum yang timbul dari putusan itu. Tetapi, hal itu tetap saja menjadi   duri dalam pilpres. Di situlah letak relevansi analisis Profesor Yusril   tentang persoalan konstitusionalitas dan legitimasi pilpres mendatang. ●  | 

Post a Comment