Indonesia   dan Pendapatan Menengah AtasSlamet Sutomo  ;     Pengajar   Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta;  Mantan Deputi   Kepala BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik  |  
KOMPAS,  03 Maret 2014
|    HARIAN   Kompas, beberapa waktu lalu, mengemukakan permasalahan terperangkapnya   Indonesia di kelompok berpendapatan menengah-bawah. Data   yang dikutip Kompas menyatakan bahwa produk domestik bruto (PDB) per kapita   Indonesia saat ini 5.170 dollar AS (berdasarkan data Badan Pusat Statistik,   PDB per kapita Indonesia pada 2012 adalah 3.597 dollar AS). Dengan demikian,   Indonesia masuk negara berpendapatan menengah-bawah. Untuk   jadi negara berpendapatan menengah-atas, yaitu PDB per kapita 7.250 dollar   AS, menurut Wakil Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Indonesia baru   mencapainya dalam 6-9 tahun lagi. Agar masuk negara berpendapatan   menengah-atas, pertumbuhan PDB per kapita perlu digenjot. Menurut Penasihat   Ketua Ekonom Bank Pembangunan Asia Jesus Felipe, untuk itu ekonomi Indonesia   perlu tumbuh 14,8 persen per tahun. PDB   merupakan ukuran kinerja ekonomi suatu negara yang direkomendasikan PBB.   Metodenya disusun dalam manual yang disebut System of National Accounts   (SNA). Menurut SNA, PDB adalah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor   produksi (tenaga kerja dan kapital) dalam proses produksi.  Faktor   produksi tenaga kerja menerima balas jasa berupa upah dan gaji (wages and salaries), sedangkan faktor   produksi kapital menerima balas jasa berupa surplus usaha (operating surplus; semacam keuntungan,   tetapi masih termasuk pajak dan penyusutan). Kedua balas jasa tersebut   menghasilkan nilai tambah yang merupakan komponen utama dalam penghitungan   PDB. Menurut   SNA, PDB didefinisikan sebagai produksi (jumlah seluruh nilai tambah) yang   dihasilkan oleh pelaku ekonomi di dalam wilayah teritorial Indonesia melalui   berbagai kegiatan ekonomi, seperti pertanian, pertambangan, dan industri.   Dengan konsep SNA, peningkatan PDB artinya meningkatnya penerimaan balas jasa   penggunaan faktor-faktor produksi (tenaga kerja dan kapital) oleh pelaku   ekonomi. Peningkatan   balas jasa faktor produksi tenaga kerja adalah peningkatan upah dan gaji yang   dapat diperoleh melalui peningkatan kemampuan dan keahlian para tenaga kerja.   Ini berarti PDB juga akan meningkat. Peningkatan   balas jasa terhadap faktor produksi kapital adalah peningkatan surplus usaha   dari kegiatan ekonomi, misalnya peningkatan investasi. Investasi meningkatkan   surplus usaha yang akhirnya menaikkan PDB.  Tak hanya produktivitas Oleh   karena itu, menarik menyimak pernyataan Kepala Integrasi Ekonomi Regional   Bank Pembangunan Asia (ADB) Iwan J Aziz yang mengingatkan bahwa peningkatan   produktivitas saja tidak cukup untuk membawa Indonesia menjadi negara berpendapatan   tinggi (Kompas, 16/12/2013).   Penulis sependapat dengan pandangan tersebut, melihat kondisi ekonomi   Indonesia sekarang yang masih membutuhkan banyak perbaikan. Misalnya,   dari sisi sumber daya tenaga kerja, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), modus   pendidikan pekerja Indonesia adalah sekolah dasar walaupun 7 persen penduduk   Indonesia bekerja dengan pendidikan perguruan tinggi. Artinya, kalau   produktivitas tenaga kerja ingin ditingkatkan, maka perlu meningkatkan   pendidikan atau keterampilan tenaga kerja agar upah dan gaji meningkat. Sudah   tentu ini bukan merupakan solusi jangka pendek. Jika dilihat dari kapabilitas   masyarakat dalam melakukan peningkatan produktivitas ekonomi, PDB per kapita   yang sebesar 5.170 dollar AS (yang menurut BPS adalah 3.597 dollar AS tahun   2012) bukan berarti seluruh masyarakat Indonesia berpendapatan sebesar itu. Artinya,   ada kesenjangan pendapatan antara sebagian besar masyarakat Indonesia yang   masih sulit memenuhi kebutuhan pokok dan sebagian kecil masyarakat Indonesia yang   berkecukupan. Artinya, kesenjangan pendapatan merupakan masalah dalam   perekonomian Indonesia. Walaupun   pertumbuhan ekonomi terjadi sekitar 6 persen pada periode belakangan ini   (khususnya tahun 2012 yang tumbuh 6,23 persen, menurut BPS), distribusi pendapatan   memberikan tendensi yang melebar, yaitu dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2010)   ukuran rasio gini (walaupun ukuran rasio gini ini dihitung dari pengeluaran,   perubahan rasio gini itu mengindikasikan distribusi pendapatan/pengeluaran   yang semakin tidak merata). Sudah   tentu dengan kapabilitas yang berbeda signifikan antargolongan masyarakat di   Indonesia, peningkatan produktivitas misalnya melalui peningkatan investasi   masyarakat, atau melalui peningkatan modal kerja, juga bukan merupakan suatu   yang bersifat instan. Laju   pertumbuhan PDB menurut wilayah juga perlu diperhatikan. Selama ini,   pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDB) Indonesia disumbang oleh PDB Pulau Jawa   dan Sumatera, yaitu 80 persen (wilayah Jawa 60 persen dan wilayah Sumatera 20   persen), sedangkan sisanya, 20 persen, berasal dari sumbangan pulau lain   (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua). Disparitas wilayah   yang terjadi di Indonesia, menurut Anwar (2005), karena Indonesia keliru   dalam kebijakan pertumbuhan ekonomi. Untuk memicu   pertumbuhan ekonomi, Indonesia mendasarkan kepada wilayah yang dekat dengan   kekuasaan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi didominasi oleh wilayah Jawa   (Java centris), sedangkan pembangunan ekonomi di luar Jawa tertinggal. Anwar   juga menambahkan, selain disparitas wilayah, pertumbuhan ekonomi di Indonesia   memunculkan permasalahan disparitas. Perbedaan pendapatan antara yang kaya   dan yang miskin semakin melebar, dan ini memicu stratifikasi sosial dalam   masyarakat, terutama kaya dan miskin. Implikasi   lain dari proses pertumbuhan ekonomi, menurut Anwar, adalah terjadinya urban   bias, terserapnya sumber daya ekonomi pedesaan ke wilayah perkotaan sehingga   bukannya menghasilkan trickle-down   effect, tetapi malah tereksploitasinya sumber daya (backwash effect) dari desa ke kota. Ditambah dengan kendala lain   semisal adanya kegiatan rent-seeking, korupsi, dan sebagainya, maka kebijakan   pertumbuhan ekonomi menimbulkan kesenjangan yang besar dalam perekonomian   Indonesia. Masih banyak soal Dengan   beberapa contoh di atas, pernyataan Iwan J Aziz memang perlu diperhatikan:   peningkatan produktivitas belum merupakan syarat cukup agar Indonesia masuk   menjadi negara berpendapatan menengah-atas; banyak permasalahan lain yang   harus diselesaikan guna memacu peningkatan produktivitas. Namun,   dari itu semua, ada hal lain yang penting untuk dipertimbangkan agar   Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas. Pertanyaannya,   mengapa harus memaksakan diri masuk negara berpendapatan menengah-atas?   Apakah perlunya Indonesia masuk kategori itu? Permasalahan   pokok dari suatu sistem produksi adalah untuk siapa sebenarnya produksi yang   dihasilkan (yang diukur dengan tolok ukur PDB) itu dilakukan? Apakah dengan   produksi tersebut seluruh rakyat sudah dapat terpenuhi kebutuhannya? Dengan   PDB Indonesia Rp 8.241,9 triliun tahun 2012, berapa kenaikan PDB yang   dibutuhkan oleh Indonesia? Jika permasalahan pokok ekonomi adalah untuk   memenuhi kebutuhan masyarakat, dalam hal ini memenuhi kebutuhan penduduk   miskin, maka perhitungannya menjadi sebagai berikut. Menurut   BPS, jumlah penduduk miskin tahun 2012 adalah 28 juta (11,37 persen dari   total penduduk) dengan garis kemiskinan Rp 271.626 per bulan. Misalnya garis   kemiskinan dibuat menjadi Rp 300.000 per bulan, banyaknya orang miskin dibuat   menjadi 30 juta orang, dan selisih garis kemiskinan Rp 300.000 dengan   rata-rata pendapatan penduduk miskin Rp 100.000 per bulan, maka kebutuhan   kenaikan PDB, misalnya tahun 2013, untuk memenuhi kebutuhan penduduk miskin   adalah Rp 294 triliun dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 245 juta jiwa. Dengan demikian, PDB Indonesia tahun 2013 menjadi Rp 8.535,9 triliun,   atau pertumbuhan 3,5 persen saja. Kenaikan PDB Rp 294 triliun untuk memenuhi   kebutuhan hidup penduduk miskin dirinci menurut komoditas atau produk yang   dibutuhkan, seperti makanan, pakaian, dan transportasi. Kalau kenaikan PDB   diperlukan untuk kebutuhan lain, bisa saja PDB dinaikkan lagi, tetapi tidak   perlu jadi 14,8 persen per tahun karena pertumbuhan ekonomi yang sekarang   saja sudah menyebabkan eksploitasi sumber daya alam, kerusakan lingkungan,   kesenjangan, dan hilangnya modal sosial seperti gotong royong. ●  | 

Post a Comment