Krisis ListrikNengah Sudja ; Mantan Kepala LMK-PLN |
KOMPAS, 25 Maret 2014
HARIAN Kompas akhir Februari mengangkat isu krisis listrik di sejumlah wilayah di Indonesia. Beberapa media massa nasional dan daerah juga mengangkat berita pemadaman. Masalah diulas dan solusi diungkapkan, tetapi sayangnya solusi yang diusulkan lebih banyak sekadar wacana dan instan. Akibat solusi yang serba instan, persoalan krisis dan pemadaman listrik tidak pernah tuntas terpecahkan. Tidak berapa lama, pemadaman kronis berulang kembali, kehebohan pun terjadi kembali. Untuk penyelesaian krisis listrik yang permanen, seyogianya perlu diketahui akar masalah krisis listrik, ditandai dengan adanya kekurangan pasokan dan kondisi darurat listrik. Apa solusi secara struktural dan menyeluruh ditinjau dari proses perencanaan sistem ketenagalistrikan? Pemadaman listrik terus terjadi di sejumlah wilayah, berlangsung pada berbagai rezim pemerintahan. Misalnya sejak 2001 pemadaman listrik terjadi di 24 wilayah, mulai dari Banda Aceh, Sumut, Sumbar, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Kenyataan ini merupakan bukti adanya kekurangan pasokan listrik. Hanya sistem Jawa-Bali yang relatif aman, memiliki cadangan pembangkitan 20-30 persen. Pemadaman yang terjadi jelas menghambat pertumbuhan ekonomi. Perlu dicatat, terdapat korelasi erat antara tingkat pemakaian tenaga listrik (TPTL) dalam satuan kWh per kapita dengan tingkat pendapatan domestik bruto (TPDB) dalam dollar AS per kapita. Data Bank Dunia (2006) atas 119 negara menunjukkan, semakin tinggi TPDB suatu negara semakin tinggi pula TPTL-nya. Indonesia dengan TPDB 1.635 dollar AS per kapita, TPTL 530 kWh per kapita, tetapi sudah berada pada keadaan krisis pasokan listrik. Bandingkan Indonesia dengan Vietnam (TPDB 711 dollar AS, TPTL 598 kWh) dan Mesir (1.367 dollar AS, 1.304 kWh), dengan TPDB yang lebih rendah, tetapi TPTL lebih tinggi. Sumber masalah Pemadaman listrik sering kali dipecahkan secara ad hoc, biasanya dengan sewa diesel. Solusi ini dapat memberikan hasil cepat. Hanya perlu 6-12 bulan pasokan listrik dapat dipulihkan. Namun, solusi ini tidak murah. Biaya pembangkitan dengan diesel Rp 3.500 per kWh, sehingga makin lama pembangkit diesel beroperasi semakin besar beban keuangan PLN dan subsidi negara. Solusi jangka panjang yang optimal adalah membangun pembangkit non-BBM, misalnya PLTU. Pembangunan PLTU saja butuh 4-5 tahun, tetapi biaya pembangkitannya Rp 700-Rp 800 per kWh, lebih murah daripada BBM. Penyediaan tenaga listrik merupakan usaha padat modal, teknologi tinggi, dan perlu waktu perencanaan dan pembangunan yang lama. Pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) perlu 3-4 tahun. Namun, kegiatan persiapan, seperti penyusunan studi kelayakan, membutuhkan waktu paling sedikit 1-2 tahun, perancangan dan proses lelang 2-3 tahun. Alhasil, proses pembangunan pembangkit butuh 6-9 tahun. Ketika pada 2005/2006 ancaman krisis listrik mendera, pemerintah memaksakan crash program pembangunan 10.000 MW PLTU batubara. Program dimulai 2006, diharapkan selesai dalam 3 tahun, dengan pembangkit seluruhnya dari China. Pemerintah sangat optimistis terhadap rencana ini. Fakta berbicara lain. Pembangunan PLTU terlambat lebih dari tiga tahun, hanya sedikit kapasitas yang terbangun dalam waktu lima tahun. Hal ini karena pembangunan 10.000 MW PLTU batubara tidak dipersiapkan dengan baik, ditinjau dari segi pilihan lokasi, teknologi, tingkat efisiensi pembangkit, pembiayaan, dan sensitivitas terhadap dampak lingkungan. Angan-angan membangun PLTU dalam tiga tahun juga tidak realistis. Sebab, untuk mengejar tenggat tersebut, proses dan tahapan yang harus diikuti untuk memberikan hasil yang baik dan berdampak jangka panjang diabaikan. Selain itu, kinerja pembangkit yang diselesaikan secara terburu-buru biayanya pun tidak murah karena melalui proses yang kurang wajar. Akibatnya, yang diwariskan adalah ketidakandalan pasokan listrik yang kini berujung pada pemadaman. Akar masalah terjadinya kekurangan pasokan listrik, pemadaman, dan tiadanya keamanan pasokan adalah rancangan tarif dasar listrik (TDL) yang tidak mencerminkan pengembalian biaya (cost recovery). Tingkat TDL yang rendah berdampak pada perolehan return on capital yang rendah. Keadaan ini sudah dibiarkan berlangsung sejak lama pada berbagai rezim pemerintahan Sebagai gambaran, tahun 2012 penjualan listrik PLN sebesar 174 GWh, dengan tarif rerata Rp 728/kWh. Jumlah total subsidi pemerintah Rp 103,3 triliun, berarti pemberian subsidi Rp 594/kWh. Dengan demikian, harga pokok penjualan sebenarnya adalah Rp 1.322/kWh. Pada tahun yang sama laba operasi PLN sebesar Rp 29,5 triliun. Adapun kebutuhan dana investasi Rp 45,4 triliun. Dengan demikian, untuk dapat menunjang rencana pembangunan 2012, PLN mengalami kekurangan dana Rp 15,9 triliun. Kebijakan pemerintah yang tidak menyesuaikan TDL dengan biaya pokok penyediaan (BPP) menyebabkan subsidi perlu diberikan. Subsidi selama 1999-2012 mencapai Rp 481,25 triliun atau sekitar 48,1 miliar dollar AS. Uang ini sebenarnya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan proyek listrik setara 37 GW, untuk pembangkitan, transmisi, distribusi. Sementara seluruh jumlah daya terpasang yang dimiliki PLN sampai 2012 hanya 32,901 GW. Sesungguhnya kebijakan subsidi yang salah telah menghilangkan kesempatan untuk mengamankan pasokan listrik di Tanah Air. Rendahnya TDL mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan PLN, akumulasi kemampuan pengumpulan modal jadi terbatas, akhirnya membuat kemampuan penyediaan pasokan terbatas. PLN menjadi tidak independen, mandiri, rentan intervensi dari pihak luar, dari politisi, birokrasi, subsidi, pinjaman luar negeri. Dengan demikian, PLN menjadi tidak bebas secara profesional dan manajerial. Usulan solusi Pertama perlu disadari, sudah menjadi kenyataan pemadaman listrik terus terjadi secara kronis. Analisis korelasi antara TPL dan TPDB menunjukkan secara makro adalah ekonomi Indonesia kekurangan pasokan listrik. Kedua, perlu disadari penyediaan energi listrik memang mahal. Karena itu, TDL harus mencerminkan BPP. Masyarakat jangan dimanjakan, tetapi perlu disadarkan penyediaan energi itu mahal. Budaya pemakaian listrik perlu efisien: matikan listrik saat tidak diperlukan, baru dinyalakan saat diperlukan. Hemat pemakaian listrik bukan saja menghemat pemakaian bahan bakar, melainkan juga menghemat biaya penambahan pembangkit baru, mengurangi biaya pemeliharaan, dan mengurangi pencemaran lingkungan. Subsidi hanya patut diberikan kepada yang tidak mampu. Dana subsidi sepatutnya digunakan untuk membiayai pembangunan, mencegah kekurangan pasokan, dan menghindari pemadaman. Untuk itu, taati disiplin jadwal pembangunan yang ditetapkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dengan kurun waktu 10 tahunan, yang disahkan Menteri ESDM untuk mendapatkan solusi perencanaan optimal (least cost solution), menghindari terjadinya pemadaman. Upaya penyediaan kelistrikan perlu teknologi canggih, karena itu serahkan kepada para profesional: PLN, konsultan, kontraktor. Sediakan dana investasi cukup, iklim usaha sehat agar mereka bisa bekerja secara profesional, tepat waktu. Jauhkan mereka dari campur tangan politik, amankan, berikan mereka kepastian hukum (penangkapan pegawai PLN oleh Kejaksaan Tinggi Medan) dan penyegelan pembangkit yang mengganggu jadwal pengoperasian. Penyediaan pelayanan tenaga listrik merupakan upaya padat modal. Menurut RUPTL 2012-2021, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 6,3-7,0 persen per tahun perlu kebutuhan pertumbuhan listrik 8,5 persen per tahun. Kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit selama 10 tahun: 57.250 MW. Keperluan dana investasi rerata 10,7 miliar dollar AS per tahun. Untuk tahun 2012, kebutuhan 7,517 miliar dollar AS, dana investasi PLN Rp 45,4 triliun, sisanya oleh swasta. Perlu disadari nilai gangguan listrik mahal, 3 dollar AS (sekitar 70 kali HPP), mengganggu pertumbuhan ekonomi, kenyamanan kehidupan sosial, politik dan ketahanan energi, regional/nasional. Jadikan PLN profesional, secara manajerial independen, mandiri, rentan intervensi dari luar, dari politisi, birokrasi, subsidi, pinjaman luar negeri. Bentuk public utility commission (PUC), badan regulator independen mengawasi PLN yang diwakili unsur perwakilan konsumen, perguruan tinggi, pemerintah, mengikuti keberhasilan penerapan PUC di negara maju. ● |
Post a Comment