Memahami Golput

Memahami Golput

Stefanno Reinard Sulaiman  ;   Mahasiswa Jurnalistik
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
HALUAN,  25 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Sebentar lagi kita akan memasuki pesta demokrasi yang berjarak 5 tahun sekali. Dimulai dengan pemilihan legislatif yang berlangsung 9 April nanti. Dilanjutkan tiga bulan kemudian dengan pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, 9 Juli 2014.

Keberhasilan pemilihan umum 2014 tentu me­libat­kan berbagai elemen, seperti pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Banwaslu), dan pemerintah daerah. Kemudian partai-partai politik beserta calon-calonnya.

Lalu yang paling terpenting adalah masyarakat Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya. Suara-suara masyarakat inilah yang akan menen­tukan wakil rakyat Indonesia selama 5 tahun ke depan.

Faktanya, banyak masyarakat Indonesia yang enggan menggunakan suara mereka untuk memilih alias golput. Pemberian nama golput untuk sebuah sikap tidak memilih, dimulai sejak pemilu tahun 1971. Walau begitu, angka ketidakhadiran pemilih dan suara tidak sah (yang nantinya akan diang­gap sebagai golput) sudah ada sejak pemilu pertama yaitu tahun 1955 dengan peserta partai politik yang mencapai 172 partai.

Pada tahun tersebut angka golput (tidak hadir dan suara tidak sah) men­capai 12,34% . Sempat menurun ketika pemilu tahun 1971 menjadi 8,40% dan di tahun ini pula istilah golput menjadi tenar. Sejak pemilu tahun 1977, angka golput kian meningkat hingga saat ini.

Sekilas Sejarah Golput

Gerakan ini bermula pada tanggal 3 Juni 1971 dari Balai Budaya Jakarta, tepat sebulan sebelum pemilu pertama di era Orde Baru. Tokoh terkenal yang memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman, seorang doktor lulusan Harvard dan dosen di Uni­versitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

Namun pemberian nama “golput”, dicetuskan oleh Imam Waluyo. Kenapa “putih”? Karena gerakan ini mengan­jurkan untuk mencoblos bagian putih di kertas suara, di luar gambar parpol. Pada era itu jarang orang yang berani untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), karena akan ditandai, dikira sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Soekarnois. Selain mereka ada pula, Julius Usman, Husin Umar, dan Asmara Nababan yang turut menjadi eksponen golput.

Arief Budiman kala itu berkata bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun. Lebih lanjut lagi menurut para eksponen golput ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Langsung saja gerakan ini mendapat respon dari pemerintah. Melalui Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Pangkopkamtibda) Djakarta, golput dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dengan segera segala atribut golput mesti dibersihkan.

Jadi bisa disimpulkan bahwa golput pada masa lahirnya adalah sebuah protes terhadap UU pemilu yang tidak demokratis. Dimana ada paksaan bagi masayarakat Indonesia untuk memilih partai yang diizinkan oleh pemerintah saja. Gerakan golput lahir karena pemerintah gagal memberikan demokrasi bagi warga negaranya.

Golput Masa Kini

Mari kita menengok angka presentase golput dari pemilu setelah 1971 hingga pemilu tahun 2009. Berdasarkan data Surat Kabar Kontan tahun 2009, pemilu 1977 golput sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pemilu Legislatif 2004), 23,47% (Pilpres 2004 pu­taran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih. Ada pun pada Pemilu Legislatif 2009 jumlah golput 30% bila dikalikan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sesuai dengan Perpu No. I/2009 sebesar 171.265.442 jiwa. Jadi, jumlah golput setara dengan 51.379.633 pemilih.

Bisa kita lihat bahwa pemilu di era reformasi pun, persentase golput meningkat. Bahkan pada tahun 2004, kenaikannya meningkat drastis 2 kali lipat. Padahal jika merujuk arti golput oleh Arief Budiman dkk, bahwa golput ada karena pemerintah tidak memberikan demokrasi, seharusnya golput tidak ada lagi di era reformasi. Jika begitu maka ada pergeseran makna dan tujuan dari golput era Orde Baru dengan era reformasi.
Indeks Prestasi

Post a Comment