Mengukur   “Jokowi Effect”A Prasetyantoko  ;     Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta  |  
KOMPAS,  16 Maret 2014
|    PASAR   merespons positif, bahkan cenderung berlebihan, menyusul penetapan Joko   Widodo sebagai calon presiden. Setelah ditutup menurun pada sesi pagi, Indeks   Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia langsung melejit pada sesi   siang, Jumat (14/3), naik 3,2 persen mencapai 4.878, level tertinggi tahun   ini. Nilai   rupiah juga menguat pada Rp 11.355 per dollar AS atau naik 0,2 persen   mencapai nilai terendah tahun ini. Begitupun imbal hasil obligasi pemerintah   bertenor 10 tahun turun 4,1 bps menjadi 7,9 persen. Pendek kata, pencapresan   Jokowi mampu mendorong masuknya modal asing sehingga menimbulkan sedikit   pelonggaran likuiditas di pasar domestik yang pada 2014 ini diproyeksikan   masih akan ketat. Pertanyaannya, sampai kapan ”Jokowi effect” ini dan sejauh   mana pelonggaran likuiditas ditimbulkan? Jauh   sebelum pengumuman itu, analis bank asing sudah secara eksplisit melihat efek   positif figur Jokowi. Malayan Banking Bhd (Maybank) membuat skenario jika   Jokowi menjadi presiden, rupiah akan menguat mencapai Rp 11.300 per dollar   AS; sementara jika presidennya bukan Jokowi, rupiah sebesar Rp   11.700 per dollar AS. Menurut   Bank OCBC, jika Jokowi presiden, nilai tukar menjadi Rp 12.000 per dollar AS;   jika bukan, nilai tukar Rp 12.600 per dollar AS. Waktu itu, rupiah berada   pada kisaran Rp 12.200 per dollar AS. Beberapa bank asing lain punya prediksi   sama. Rabobank International memproyeksikan rupiah akan menguat menjadi Rp   11.750 per dollar AS; sedangkan Morgan Stanley Rp 11.800 jika Jokowi terpilih   sebagai presiden (Bloomberg, 10/2/2014). Mengapa   investor asing pro Jokowi? Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya alasan mereka   cukup rasional, bahkan pragmatis. Selama ini, investor asing masih memandang   Indonesia sebagai salah satu destinasi investasi paling menarik. Prospek   jangka panjangnya tak terbantahkan, terutama karena faktor bonus demografi   yang begitu besar. Selain akan mendorong konsumsi, bonus demografi juga bisa   memacu produktivitas perekonomian. Sayangnya,   selama ini ada semacam kemandekan dalam transformasi ekonomi, khususnya   terkait dengan pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan perilaku   korupsi. Ketiganya masih menjadi persoalan yang secara akut membebani   perekonomian domestik. Lambatnya reformasi struktural terjadi karena sistem   politiknya tidak mendukung. Tak ada kekuatan dominan di parlemen dan kabinet   diwarnai koalisi pelangi yang tak efektif. Dari   kacamata investor, perekonomian Indonesia akan melaju kencang jika proses   politik lebih sederhana. Ada kekuatan politik cukup dominan di parlemen dan   birokrasi diisi oleh orang yang kompeten dan solid. Dari berbagai survei,   potensi itu mungkin terjadi jika Jokowi dicalonkan. Pertama, partai pendukung   Jokowi diperkirakan akan meraup kursi cukup banyak di parlemen sehingga jika   harus berkoalisi cukup dengan satu atau dua partai. Kedua, pemilihan presiden   bisa satu putaran sehingga kepastian akan segera tercipta. Begitulah   skenario optimistis yang dibayangkan investor sehingga mereka sangat antusias   begitu Jokowi dicalonkan. Bahkan, lebih jauh, investor sudah mengantisipasi   aneka sektor dalam perekonomian yang diproyeksikan akan melaju dengan   pemerintahan lebih efektif, di antaranya sektor infrastruktur, properti,   perbankan, dan otomotif. Dengan kata lain, peluang bisnis dan proyeksi   keuntungan bagi para pelaku usaha begitu besar jika skenario optimistis tersebut   terjadi. Tentu ini alasan fundamentalnya. Ada pula alasan jangka pendek   sebagai aksi spekulasi mendapatkan keuntungan sesaat dalam perubahan   konstelasi yang begitu cepat. Hal itu   perlu disadari mengingat konstelasi politik juga bisa berubah dengan cepat   sehingga sentimen pun bisa berbalik arah seketika. Kalaupun proses politik   lancar, pertanyaan dari sisi fundamental, siapa wakil presidennya dan   bagaimana komposisi kabinet. Jika beberapa posisi kunci kementerian, seperti   Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,   ditempati orang kompeten, kepercayaan investor kembali meningkat. Kepercayaan   investor dan masuknya modal asing hanyalah sebagian cerita terkait dengan   dinamika jangka pendek. Kuncinya tetap terletak pada transformasi fundamental   yang bersifat jangka panjang. Pemerintahan baru nanti harus mampu   mempertemukan dilema yang selalu muncul dalam upaya memitigasi dinamika   perekonomian jangka pendek serta pencapaian target jangka panjang. Tahun   2015, kita akan masuk dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN sehingga presiden baru   harus langsung berhadapan dengan begitu banyak persoalan yang akan muncul.   Dalam skala global, pertengahan 2015 diperkirakan menjadi momentum kenaikan   suku bunga di negara maju sebagai akhir dari era likuiditas longgar secara   global. Berbagai tantangan itu tentu akan berdampak pada dinamika domestik. Harus   diakui, ada banyak keraguan terkait kompetensi dan kapabilitas Jokowi,   apalagi terkait dengan diplomasi luar negeri. Namun, jika menteri luar   negerinya sangat kompeten, keraguan itu bisa diatasi. Tentang keraguan akan   visi jangka panjang, sebenarnya juga bisa ditopang dengan peran partai   politik dan lembaga pendukung lainnya. Kuncinya kemampuan memimpin birokrasi.   Sebab, pada dasarnya tak mungkin figur sehebat apa pun mampu mengatasi   persoalan yang begitu kompleks tanpa dukungan tim yang solid. Satu   faktor lagi, Jokowi mendapat dukungan cukup luas di kalangan masyarakat   sipil. Bahkan, sosoknya diidentifikasi sebagai simbol perjuangan masyarakat   sipil. Baru kali ini kepentingan investor (asing) sejajar dengan kepentingan   masyarakat sipil dalam hal calon presiden. Namun, semakin tinggi ekspektasi,   risiko terjadinya pembalikan dukungan juga besar karena sulit melayani semua   kepentingan secara bersamaan. Tantangan   berat bagi parpol pemenang pemilu nanti adalah membangun infrastruktur   kelembagaan yang memadai. Khususnya bagi partai pendukung Jokowi harus mampu   merealisasikan harapan banyak pihak. Jika tidak, antusiasme pencapresan   Jokowi akan berubah dengan cepat menjadi buih yang siap meletus sebagai ”Jokowi bubble” belaka. ●  | 

Post a Comment