Sekali   Lagi, Soal Kebebasan BeragamaZuly Qodir  ;     Sosiolog   Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;  Peneliti   Senior Maarif Institute  |  
KOMPAS,  03 Maret 2014
|    “SETIAP orang berhak atas kebebasan meyakini   kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” (UUD   1945, 28 E/2). Kutipan   di atas merupakan dasar kebebasan yang hakiki pada setiap warga negara atas   keyakinan yang dipilih, berdasarkan pikiran dan perilaku yang dilakukan   sesuai hati nuraninya. Hal itu menunjukkan tentang hak asasi manusia warga   negara Indonesia, yang telah dinyatakan dalam perundang-undangan tertinggi di   Indonesia. Oleh   karena itu, setiap orang sudah seharusnya membiarkan kepada warga negara yang   memilih keyakinan keagamaan berdasarkan pilihan akal sehat dan nuraninya.   Tidak dibenarkan baik tanpa sengaja apalagi disengaja untuk menundukkan warga   negara yang berbeda keyakinan dalam beragama dan beribadah menurut   keyakinannya. Melakukan penundukan dan pemaksaan agar meninggalkan keyakinan   yang dianutnya sama artinya dengan melanggar UUD tertinggi yang sah di   Indonesia. Namun,   yang terjadi di negeri kaum beragama ini malah sebaliknya. Banyak tindakan   melanggar UUD yang resmi dan sah mendapatkan pembenar bahkan dianggap   ”menyelamatkan keyakinan” warga negara. Hal ini tentu paradoks atas UUD yang   secara resmi telah disahkan MPR. Pelanggaran kebebasan beragama Laporan   tahunan The Wahid Institute (2014)   tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan menyatakan, selama Januari-Desember   2013, jumlah pelanggaran atau intoleransi keyakinan beragama tercatat 245   peristiwa. Terdiri atas 106 peristiwa (43 persen) yang melibatkan aktor   negara dan 139 peristiwa (57 persen) oleh aktor non-negara. Sementara total   jumlah tindakan kekerasan dan intoleransi mencapai 280 kasus, di mana 121   tindakan (43 persen) dilakukan aktor negara dan 159 tindakan (57 persen) oleh   aktor non-negara. Berdasarkan   fakta lapangan yang disampaikan The   Wahid Institute di atas, muncul pertanyaan fundamental yang harus dijawab   oleh setiap warga negara yang mengaku memiliki keyakinan keagamaan. Hal   apakah yang menyebabkan perilaku kekerasan dan tindakan melanggar UUD terkait   kebebasan beragama terus berlangsung? Bukankah kebebasan menganut keyakinan   keagamaan merupakan hak asasi yang tidak dapat tergantikan di Indonesia? Hal   paling krusial jika kita mendasarkan pada fakta lapangan yang ditemukan The   Wahid Institute, perilaku pelarangan dan tindakan kekerasan atas mereka yang   beragama dilakukan oleh aktor yang bernama negara, bukan sekadar warga   negara. Padahal, kita tahu, negara seharusnya berperan menjadi penjamin dan   pengayom kebebasan berkeyakinan di dalam menganut suatu keyakinan keagamaan   dan mengerjakan ibadah penganut agama sesuai keyakinannya. Di   sinilah kita patut mempertanyakan secara tegas, di manakah peran negara   selama ini terhadap pemeluk keyakinan keagamaan dan kebebasan mempraktikkan   ibadah kaum non-mainstream dan minoritas atas keyakinan yang dianutnya?   Bukankah jika kekerasan terus dilakukan oleh aktor bernama negara, hal itu   sama artinya bahwa negara selama ini memang absen (tidak hadir) dalam   memberikan ruang kepada kaum non-mainstream dan minoritas atas kebebasan   meyakini suatu kepercayaan dan melindungi warga negara yang melaksanakan   ibadah atas keyakinannya itu? Bukankah   negara sebenarnya telah mengarah pada apa yang dinamakan failed state dalam   melindungi warganya untuk berkeyakinan dan beribadah? Oleh karena itu, jika   suatu ketika negara ini dinyatakan sebagai negara gagal, terutama dalam hal   melindungi kebebasan berkeyakinan dan melaksanakan ibadah atas keyakinannya   tersebut, hal itu merupakan fakta yang nyaris tidak terbantahkan, terutama   atas mereka yang minoritas dan dianggap melanggar. Istilah   melanggar, yang kemudian mengarah pada istilah ”sesat”, dalam lima tahun   terakhir, nyaris tidak pernah absen di negeri ini. Inilah problem besar yang   perlu diperhatikan sebab akan sangat berbahaya jika warga negara yang   beragama sesuai keyakinannya dengan mudah disebut ”sesat dan kafir”. Hal itu   karena istilah sesat dan kafir sama artinya dengan keharusan membubarkan diri   secara paksa. Jika tidak berkenan harus dibubarkan paksa oleh negara dan oleh   sebagian warga negara yang beragama. Etika beragama Oleh   karena itu, hemat saya di negeri multi-agama (baik internal maupun eksternal)   perlu dikembangkan etika kaum beragama. Setiap warga negara yang beragama   harus berani merumuskan keyakinan dan peribadatan atas keyakinannya secara   publik. Etika agama secara publik merupakan cara beragama yang berani   menghadirkan paham keyakinannya di tengah masyarakat yang pluralis untuk   tidak menghakimi keyakinan dan peribadatan orang yang berbeda agama,   sebagaimana keyakinan dan peribadatan yang kita miliki. Jika   warga negara berani melakukan kritik atas keyakinan dan peribadatan keagamaan   yang selama ini telah dianut secara kritis, persoalan kebebasan beragama yang   merupakan hak asasi paling fundamental di Indonesia akan perlahan-lahan dapat   kita nikmati secara bersama. Selama ini kebebasan keyakinan beragama dan   beribadah sesuai keyakinan lebih tepat jika dialamatkan ke kaum mayoritas   alias kaum mainstream bukan non-mainstream. Akankah pada 2014 ini kebebasan memilih keyakinan beragama dan   beribadah menurut pilihan hati nurani tetap akan dilanggar, terutama oleh   aktor negara dan sebagian warga sipil yang merasa bertanggung jawab atas   keyakinan dan peribadatan warganya? Seharusnya tidak lagi terjadi kekerasan   atas nama ”pelurusan iman agama”  sebab konstitusi tertinggi kita telah jelas memberikan pedoman kepada warga   negara untuk menganut keyakinan dan beribadah sesuai dengan keyakinannya itu. ●  | 

Post a Comment