Tunjuk Ajar Melayu : Bagaimana Memilih Pemimpin?

Tunjuk Ajar Melayu : Bagaimana Memilih Pemimpin?

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN,  25 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Pemimpin adalah orang yang dituakan, begitu menurut buku Tunjuk Ajar Melayu karya budayawan Riau, Tenas Effendy. Tunjuk Ajar Melayu yang tersusun dalam bentuk pantun indah ini berisi kumpulan petuah, amanah, suri teladan, dan nasihat yang membawa manusia ke jalan lurus yang diridhoi Allah serta berkah-Nya menyelamatkan manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat.

Hampir semua suku yang hidup di Nusantara mempunyai seni tari, musik, berpakaian, membangun rumah, dan memasak bentuk seni lainnya tetapi tidak banyak yang memiliki khasanah budaya syair sekental suku Melayu.

Menyadari pentingnya pemimpin dalam kehidupan manusia, berbangsa, bernegara, bermasyarakat, berumah tangga, dan sebagainya, orang Melayu berusaha mengangkat pemimpin yang lazim disebut “orang yang dituakan” oleh masyarakat dan kaumnya. Pemimpin diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun masyarakat dalam arti luas, dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Orang-orang tua Melayu mengatakan: Bertuah ayam ada induknya, Bertuah serai ada rumpunnya Bertuah rumah ada tuanya Bertuah negeri ada rajanya Bertuah imam ada jemaahnya.

Maksud ungkapan itu adalah, bila negeri tidak beraja, bila kampung tidak berpenghulu, bila rumah tidak bertuan, angin lalu tempias pun lalu, tuah hilang marwah terbuang, hidup celaka sengketa pun datang.

Dikarenakan pemimpin mengemban tugas mulia dan tanggung jawab berat, seorang pemimpin wajib memiliki kepribadian sempurna dan berusaha terus-menerus menyempurnakannya. Sifat dan perilaku diungkapkan, antara lain sebagai berikut:

Yang dikatakan pemimpin Berkata lidahnya masin Bercakap pintanya kabul Melenggang tangannya berisi Menyuruh sekali pergi Mengihimbau sekali datang Melarang sekali sudah.

Makna ungkapan ini sama dengan “sabdo pandito ratu, tan kena wola-wali” dalam bahasa Jawa, artinya raja dan pendeta berkata sekali jadi, tidak boleh ditarik lagi. Bila berjanji ditepati, tidak seperti lazimnya janji kampanye pemilu.

Jangan pilih karena duitnya!

Orang-orang tua Melayu menegaskan, kalau memilih pemimpin jangan karena memandang elok mukanya, tapi pandang elok hatinya atau pilih yang mulia budi pekertinya. Juga dikatakan jangan memilih karena suku, tetapi memilih karena laku. Lebih lanjut, ungkapan adat mengatakan:

Kalau hendak memilih pemimpin: Jangan dipilih karena duitnya Jangan dipilih karena kayanya Jangan dipilih karena sukunya Jangan dipilih karena pangkatnya.

Tunjuk Ajar Melayu

menganjurkan agar memilih pemimpin karena budinya, lakunya, budi bahasanya, adilnya, benarnya, taat setianya, petuah amanahnya, tenggang rasanya, tegur sapanya, ikhlas hatinya, mulia ilmunya, tanggung jawabnya, iman takwanya, lapang dadanya, bijak akalnya, sifat tuanya, dan cergas rajinnya.

Betul-betul “komplit-plit”. Kalau semua orang Melayu dan Indonesia mengamalkan Tunjuk Ajar Melayu, negeri ini sudah lama adil, makmur, dan sejahtera karena tidak ada korupsi. Pertanyaanya, ke mana harus mencari calon pemimpin dengan kriteria seperti itu di tengah gelombang transaksionalisme yang menggulung negeri ini?

Kalau tidak ditemukan calon seperti itu, apakah butir-butir budaya Melayu Riau itu hanya igauan atau mimpi di siang bolong, alias tidak ada gunanya? Tentu saja tidak.

Tunjuk Ajar Melayu dan “petitah-petitih” dari berbagai suku Nusantara, yang penuh nilai kearifan lokal, perlu dilestarikan karena dapat dipakai sebagai pedoman dalam membangun karakter bangsa.
Indeks Prestasi

Post a Comment