Kau yang Berjanji, Kau yang Mengingkari

Kau yang Berjanji, Kau yang Mengingkari

Ardi Winangun ;   Pegiat Komunitas Penulis Lapak Isu
OKEZONENEWS,  27 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                      
Kemesraan PDIP dan Partai Gerindra yang demikian manisnya pada tahun 2009, saat kedua partai itu mengusung Megawati dan Prabowo Subianto dalam Pilpres; dan di tahun 2012 ketika mereka mengusung Jokowi dan Ahok dalam Pilkada Jakarta, sepertinya berakhir sudah. Usainya masa yang manis itu disebut oleh Partai Gerindra karena PDIP ingkar janji terkait Perjanjian Batu Tulis.

Mengapa PDIP ingkar janji? Perjanjian yang dibuat di Istana Presiden Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, itu salah satu point-nya menyatakan partai berlambang banteng moncong putih itu akan mendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014. Fakta PDIP ingkar janji memang benar sebab pada Pilpres tahun ini, Jokowi, kadernya sendiri yang diusung bukan mendukung Prabowo menjadi capres. Prabowo yang ingin menjadi presiden tentu tak akan mau bila dicawapreskan lagi dalam Pilpres kali ini bila hendak tetap mendapat dukungan PDIP.

Pastinya sikap PDIP yang demikian membuat kubu Gerindra berang. Bahkan Prabowo menyebut PDIP mencla-mencle. Bila dalam parlement threshold, kedua partai itu mempunyai perolehan suara yang signifikans, tentu Pilpres yang terjadi akan seru, rivalitas dari partai yang pernah berjuang bersama.

Menjadi pertanyaan apakah sikap PDIP itu sebagai sebuah sikap yang curang, mencla-mencle, dan tak bertanggung jawab? Dalam dunia politik itu ada dua kemungkinan. Pertama, semua serba tidak pasti, dunia ini adalah dunia yang sangat dinamis, dari waktu ke waktu bisa mengalami perubahan demikian cepatnya mengikuti dinamika masyarakat yang terjadi. Kedua, dinamika itu akan dihitung oleh partai politik sejauh mana ia menguntungkan atau merugikan.

Dengan demikian, dalam ketidakpastian dunia politik, ikatan bukan semua harga mati yang harus dilaksanakan. Ilmu politik adalah ilmu sosial bukan ilmu pasti. Ilmu sosial seperti karet, bisa melar dan mengeras sesuai dengan suhu di sekelilingnya. Ikatan itu dilakukan atau tidak itu tergantung pada dua teori kemungkinan tadi.

PDIP tak menepati janji sesuai dengan Perjanjian Batu Tulis, dalam dunia politik itu biasa dan wajar. Sudah banyak cerita dan tragedi politik yang disebabkan tak adanya kesetiaan dan pengkhianat. Meski demikian cerita politik terus berjalan. Dengan mengacu dua teori kemungkinan di atas, PDIP akan selalu mencari keuntungan. Dinamika di masyarakat membuktikan, berdasarkan banyak survei, bahwa masyarakat menginginkan Jokowi sebagai presiden. Tingginya survei ini dibaca oleh PDI sebagai sebuah hal yang menguntungkan. Ini merupakan peluang untuk merebut kekuasaan. Peluang ini akhirnya digunakan PDIP dengan mengusung Jokowi sebagai Presiden. Sangat bodoh bila PDIP tidak menggunakan dinamika di masyarakat untuk bisa merebut kekuasaan.

Teori kebalikan dari  dua kemungkinan di atas juga bisa digunakan oleh PDIP. PDIP akan mengiyakan Perjanjian Batu Tulis bila dinamika yang terjadi di masyarakat tidak mendukung keberadaan partainya dan calon presiden yang diusung. Bila dinamika di masyarakat tidak mendukung maka hal demikian tidak menguntungkan sehingga PDIP akan mencari patron yang lebih kuat untuk bisa menikmati kekuasaan. Bila PDIP lemah dan Gerindra kuat maka PDIP akan setia dan menagih janji dari isi Perjanjian Batu Tulis.

Akankah deklarasi pencapresan Jokowi oleh PDIP itu sudah final? Dan apakah pencapresan Prabowo juga sudah harga mati dari Partai Gerindra? Jawabannya, belum. Selama ini masyarakat hanya termakan oleh survei-survei yang ada padahal keberadaan survei itu bisa jadi tak jujur. Seolah-olah dengan membaca survei itu akan hanya dua capres, yakni Jokowi dan Prabowo padahal pemilu legislatif belum dilakukan sehingga semua bisa terjadi.

Jadi dengan dua teori kemungkinan di atas maka pencapresan Jokowi dan Prabowo bisa batal, bisa pula lanjut, dan nasib Perjanjian Batu Tulis bisa berubah, bisa saja nanti PDIP yang akan menagih perjanjian itu. Bisa pula perjanjian itu dikesampingkan begitu saja oleh PDIP dan Partai Gerindra karena hasil pemilu legislatif sama-sama tak menguntungkan kedua partai itu.

Dalam dunia politik tak ada kawan dan lawan abadi. Tak ada kawan yang setia dan tak ada musuh yang kekal. Semua berlandaskan pada bagaimana keuntungan itu diraih sehingga bila kawan tak menguntungkan maka kawan itu ditinggalkan. Begitu sebaliknya, bila lawan menguntungkan maka ia didekati atau ditemani.

Perjanjian dalam dunia politik itu sebuah hal yang sangat naif. Tahu politik itu menghalalkan segala cara, masih saja percaya pada sesuatu yang tak pasti. Janji dalam politik ditepati atau tidak dilihat dari menguntungkan atau enggak. Jadi jangan suka berjanji dalam berpolitik apalagi untuk jangka panjang.

Tiada Teman Abadi dalam Politik

Tiada Teman Abadi dalam Politik

Yuli Tirtariandi  ;   Pengajar di Universitas Terbuka
TEMPO.CO,  25 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                      
Sekali lagi adagium populer "tiada musuh atau teman yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan" terbukti. Keberatan Partai Gerindra atas majunya Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) dari PDI Perjuangan (PDIP) seolah menguji keampuhan adagium tersebut.

Kesepakatan Batu Tulis yang menurut versi Gerindra dilanggar oleh PDIP memang menarik untuk dikaji dalam perspektif etika politik. Hal ini menyangkut seberapa kuat kontrak politik yang dibuat oleh elite politik. Argumen versi PDIP bahwa kontrak politik itu berakhir setelah gagalnya duet Megawati-Prabowo dalam pemilihan presiden 2009 juga ada benarnya. Dengan demikian, tidak ada keharusan PDIP untuk mendukung Prabowo dalam pemilihan presiden 2014.

Semua pihak sudah mahfum bahwa politik adalah urusan siapa mendapatkan kekuasaan, kapan waktunya, dan bagaimana caranya. Ketika sudah berbicara tentang kapan dan bagaimana caranya, di sini masalah etika politik perlu dipertimbangkan kembali. Faktor efek Jokowi sudah banyak dibicarakan orang. Selepas peresmian Jokowi sebagai calon presiden PDIP, pasar langsung merespons positif dengan menguatnya rupiah, sinyal bahwa Jokowi memang diinginkan pelaku usaha sebagai pemimpin Indonesia berikutnya. Momentum pemilihan presiden 2014 dirasakan adalah saat tepat bagi PDIP untuk kembali meraih kursi RI-1. Jika Jokowi tidak maju sekarang, situasi lima tahun mendatang belum tentu menempatkan Jokowi di atas angin.

Sebagai seorang kader partai yang baik, Jokowi tentu saja tidak bisa disalahkan. Ia harus mematuhi perintah dari petinggi partai. Tak bijak juga rasanya ketika banyak pihak menyerang Jokowi dan mengatakan ia ingkar janji. Belum tuntas memimpin Jakarta, tapi ia malah mengincar kursi presiden. Terlalu dini juga kalau kita mencap Jokowi tidak amanah mengemban tugas sebagai gubernur. Siapa yang bisa menjamin kalau Jokowi pasti menang dalam pemilihan Juli nanti? Waktu tiga bulan mendatang dapat mengubah peta politik yang ada.

Agar Jokowi tetap memperoleh nilai plus dari segi etika politik, Jokowi tidak perlu mundur dari jabatan Gubernur DKI. Hal ini sudah diatur dalam UU Pilpres. Ia cukup mengajukan cuti panjang. Dengan demikian, ketika tidak terpilih, ia bisa kembali menjalankan amanah memimpin Jakarta. Tidak ada janji politik yang ia cederai. Hal ini pun bukannya tanpa dilema politik. Jokowi akan dianggap tidak serius mencalonkan diri menjadi presiden, karena enggan melepaskan jabatan gubernur.

Kembali lagi, ini hanyalah masalah etika politik. Tinggal mana yang dipilih oleh Jokowi, apakah lebih memikirkan etika atau mengedepankan kepentingan kekuasaan. Bukankah selama ini juga kita tidak melihat ada elite politik yang sukarela melepaskan jabatan yang sedang disandangnya demi ambisi mengejar kekuasaan lainnya? Barangkali hanya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mundur dari jabatan Bupati Belitung Timur karena bertarung dalam pemilihan Gubernur Babel pada 2007, meskipun kalah.

Jiwa besar diperlukan oleh seorang pemimpin untuk bisa mengedepankan etika alih-alih kepentingan politik sesaat, terlebih lagi memenuhi janji politik yang dibuat. Kita hanya bisa berharap keputusan Jokowi nyapres adalah hal mulia dan sejalan dengan perkataan Aristoteles bahwa tujuan asli pemerintahan adalah menciptakan kehidupan yang makmur dan bahagia.
                



t� H n a (D[ ��[ iberikan selamanya?

                



e � f r (D[ ��[ -family:"Times New Roman";mso-bidi-font-weight:bold'>Tanpa sentuhan revolusi, usaha tani kedelai di Indonesia menjadi periferal. Produktivitas kedelai memang meningkat 95 persen dari 0,7 ton/ha (1970) menjadi 1,4 ton/ha (2013). Tetapi, luas panen merosot dari 694,732 ha menjadi 571,564 ha, pertanda minat petani semakin rendah. Alasannya rugi karena produktivitas rendah, biaya usaha tani tinggi, dan harga jual kalah dari kedelai impor.


Tetapi, mana yang benar, impor kedelai tinggi karena produksi domestik rendah atau sebaliknya, produksi domestik merosot karena kalah oleh impor? Jawabannya pragmatis, impor menjadi benar karena murah dan bermutu.

Jadi, daripada sibuk berpolemik, lebih baik memikirkan cara memproduksi kedelai bermutu secara masal dan murah. Di sinilah letak relevansi gagasan revolusi kedelai.

Pertama, unsur benih unggul sudah tersedia, hasil riset panjang dan mendalam dari berbagai lembaga riset. Kementerian Pertanian telah melepas 8 varietas unggul kedelai dengan produktivitas lebih dari 3,0 ton/ha. Tiga teratas berturut-turut adalah Kipas Merah Bireun (3,5 ton); Detam 1 (345 ton); dan Grobogan (4,4 ton) ditambah 11 varietas dengan produktivitas 2,0-3,0 ton/ha. Rilis terbaru (2013) adalah kedelai varietas super genjah (67 hari) Gamasugen dengan produktivitas 2,5 ton/ha yang dihasilkan Batan melalui teknik radiasi.

Kedua, unsur pupuk sudah ditemukan Tjandramukti/Widjaya dari Grobogan, yaitu pupuk pemanen fotosintensis berbasis kotoran sapi. Misalnya aplikasi teknologi itu secara masal (nasional) menghasilkan rata-rata 3,0 ton/ha, berarti untuk mencapai swasembada kedelai (10,2 kg/kapita) pada 2014 serta surplus (500.000 ton), cukup disediakan lahan 1,0 juta ha.

Ketiga, unsur lahan yang sesuai untuk kedelai sudah diidentifikasi Kementan. Luasnya 1,0 juta ha, mayoritas persawahan, sehingga perlu pengaturan pergiliran tanaman.

Keempat, khusus unsur penggerak revolusi, harus menunjuk pada Kementerian BUMN. Bukan karena Dahlan begitu bersemangat dengan kedelai, tetapi karena kementerian itu memiliki semua kekuatan modal, teknologi, dan organisasi yang dibutuhkan untuk menggerakkan revolusi kedelai. Unsur itulah yang selama ini alpa.

Kekuatan BUMN sudah dimanifestasikan dalam konsorsium Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) sejak 2011. Tinggal kemauan politik untuk menugaskan konsorsium GP3K (PT PIHC, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Bulog, dan PT Inhutani) sebagai penggerak revolusi kedelai. PT Perkebunan Nusantara bisa pula ditambahkan sebagai peternak sapi untuk produksi pupuk.

Untuk pembagian kerja, PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani bisa memproduksi benih unggul dengan memilih varietas-varietas yang telah dirilis Kementan. Pupuk pemanen fotosintesis, bekerja sama dengan Tjandramukti/Widjaya, dapat diproduksi PT PIHC (grup pupuk). Kotoran sapi untuk bahan baku dapat dihasilkan PTPN dari peternakan sapi mereka. Berdasar rumus penemunya, untuk 1,0 juta ha kedelai, diperlukan 50.000 ekor sapi sebagai sumber bahan baku pupuk.

Areal kedelai 1,0 juta ha dapat dicapai melalui koordinasi dengan Kementan. Sebagian dapat disediakan PT Inhutani dan PTPN. Dengan hitung-hitungan usaha tani kedelai model Tjandramukti/Widjaya, petani akan berebut menjadi pasukan revolusi.

Kedaulatan kedelai adalah harga mati. Manufacturing Hope has to become true. Setelah Kementan menjadi penggerak revolusi padi dan swasta menjadi penggerak utama revolusi jagung, kini saatnya BUMN menuliskan sejarahnya sebagai penggerak revolusi kedelai.