“Bapak Bangsa”

“Bapak Bangsa”

Daoed Joesoef  ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS,  19 Maret 2014
                            
                                                                                         
                                                                                                             
POPULIS orisinal Amerika, Andrew Jackson, mengatakan, ”Any American could fill any office.” Bapak revolusi Rusia, Lenin, berujar, ”Any cook can run the state.”  Kalau di Indonesia kelihatannya setiap politikus kepartaian punya voorecht, diutamakan lebih dahulu untuk menduduki kursi di jajaran trias-politica (sic).

Padahal, semua parpol mengesankan tidak lagi dipandu oleh ide politis, tetapi opini kondisional yang sama sekali tidak mengikat orang yang mengatakannya. Baik sidang kabinet maupun parlemen tidak lagi berupa diskusi serius dari ide-ide politik, yaitu pembahasan tentang bagaimana manusia berperilaku, bukan bagaimana pasar berperilaku.

Adapun semua dokumen asli kelahiran negara-bangsa Indonesia, terutama Konstitusi-45 dan diktum Pancasila, merupakan an immensely intricate judgement mengenai bagaimana seharusnya tingkah laku warga negara Indonesia, berdasarkan kondisi saat dokumen-dokumen itu ditulis. Berhubung diskusi ide-ide politik dielakkan di sidang-sidang tersebut tadi, menjadi sungguh tidak jelas apakah semua ketentuan dokumen kemerdekaan itu masih berlaku, berdasarkan kondisi kekinian yang ada.

Perlu spesialis

Suatu negara besar tidak mungkin diurus secara amatiran. Ada alam ide dan ada alam praktis. Universitas adalah contoh dari keberadaan alam ide. Adapun suasana tertentu di masyarakat, biasanya komunitas bisnis, yang berupa alam praktis. Namun, pemerintah tidak pantas menjadi salah satu dari kedua penampilan alami tadi. Ide, terutama ide politik, punya konsekuensi dan kontemplasi ide adalah suatu usaha yang betul-betul praktis.

Administrasi pemerintahan semakin intensif dan diniscayakan dikelola para spesialis. Progres memang memerlukan spesialisasi. Namun, menurut George F Will, guru besar filosofi politik, spesialisasi mengandung pengabaian banyak hal yang diniscayakan. Kekurangan ini membahayakan progres dan, akhirnya, mengganggu peradaban. Maka, perlu adanya kesadaran tentang bumi intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah kontemporer.

Bagi sebagian orang, ide adalah penyuluh dunia (hidup dan kehidupan). Bagi yang lain, ia sekadar refleksi dari keadaan sesaat bermasyarakat. Kearifan mencari kebenaran di pertengahan kedua pendapat tersebut. Ide adalah unsur budaya dan budaya merupakan suatu fakta human, tak terpisahkan dari manusianya. Maka, ia tidak luput dari pengaruh milieu di mana tergolong makhluk penghayatannya.

Namun, pemikiran bukanlah produk dari konsumsi banal, buah dari suatu organisme sosial tertentu, disesuaikan pada tuntutan organisme ini. Jika budaya, di satu saat dari evolusi humanitas, memang tergantung pada evolusi tersebut, ia merupakan, melalui vokasi dan reaksi, sebuah ragi dari evolusi (baca revolusi). Berpikir adalah memberikan pertimbangan (judgement), bukan menerima begitu saja situasi yang mencetuskan pemikiran itu. Budaya bertujuan alami untuk mempertimbangkannya dan, sebagai konsekuensi, menyiapkan perubahan.

Tidak ada budaya yang tidak mempertanyakan ide dan pemikiran yang diterimanya. Berarti para intelektual menurut pembawaannya merupakan penentang. Pertarungan sengit memang sering terjadi atas nama pemikiran atau konsepsi lain dari budaya. Maka, orang-orang yang merasa terpanggil untuk menjadi ”penyambung lidah rakyat” dan, karena itu, merasa berhak berbicara ”atas nama rakyat”, harus mampu menjelaskan destiny yang pantas bagi hidup dan kehidupan rakyat di alam kemerdekaan bangsa.

Menjelang pileg dan pilpres, para caleg dan capres rata-rata bermaksud mengadakan perubahan dalam pembangunan ekonomi. Berdasarkan pokok-pokok uraian mereka ternyata yang dimaksudkan dengan ”perubahan” itu adalah mengubah angka pertumbuhan menjadi di atas 5 persen sambil meningkatkan pemerataan. Aspirasi ini senada dengan pendapat para pakar ekonomi asing.

Cara memicu pertumbuhan juga tetap seperti dulu, yaitu melalui konsep pembangunan ekonomiko-teknokratis yang sejalan dengan pikiran para pemodal internasional, Bank Dunia dan IMF. Kita ini menderita imbasnya, berupa kehancuran ekologis, polusi, penggundulan hutan, dan rayahan sumber daya alam oleh pebisnis asing. GDP yang menjadi ukuran pertumbuhan memang naik, di zaman Orba bahkan hingga 8 persen, tapi rakyat lokal hanya menjadi ”penonton” dan kita sebagai bangsa menjadi debitor besar di pasar modal/finansial internasional.

Tekno-nasionalisme

Para pakar nasional, selaku murid manis dari guru asingnya, tidak mau tahu bahwa yang kita perlukan adalah pembangunan nasional dan ia tidak identik dengan pembangunan ekonomi. Yang menjadi taruhan pembangunan bukan ekonomi, melainkan eksistensi negara-bangsa Indonesia. Tahun 60-an abad lalu para pakar ekonomi asing itu dan para ekonom-teknokrat kita mengejek gaya pembangunan RRC dan India yang tidak mau mengikuti ”nasihat” IMF dan Bank Dunia. Kedua negara ini, yang dulu membangun sesuai konsep kenasionalan masing-masing, kini tampil sebagai raksasa ekonomi dunia dengan ketahanan nasional relatif kuat. Mereka telah mampu mengembangkan tekno-nasionalisme.

Manusia berjangka hidup terbatas. Rakyat, sebaliknya, adalah abadi. Dalam dimensi waktu yang bergulir, keabadian rakyat terdiri atas generasi. Berarti, kita yang hidup sekarang secara fungsional bukan pewaris, bukan mewarisi kekayaan alam dari nenek moyang, generasi pendahulu, melainkan peminjam dari anak cucu, generasi mendatang. Kita bersalah kalau sampai melenyapkan peluang potensial mereka membangun di zamannya. Sebagai debitor, seharusnya kita bisa mengembalikan apa yang kita pinjam paling sedikit berkondisi sama dengan saat kita pinjam.

Maka, pertanyaan krusial di ”musim pemilu” sekarang bukanlah tentang sistem produktivitas dan efisiensi, melainkan cara/jalan kinerja sistem yang menetapkan pertimbangan aksinya sendiri, menentukan alamnya sendiri, independen, dan lepas sama sekali dari kebutuhan rakyat yang hidup dalam alam itu karena ketidaktahuannya. Jadi, dengan ”perubahan” di bidang pembangunan ini, di tengah-tengah maraknya kerusakan alam, para caleg dan capres seharusnya menanggapi maksud baiknya sebagai ”etika masa depan”.

Etika ini adalah etika yang harus dihayati sekarang untuk dan demi masa depan. Ia adalah yang diniscayakan memandu jalannya pembangunan nasional, bukan logika ekonomika pure and simple. Dengan kata lain, pembangunan tidak hanya bersifat futuristik, tetapi harus pula berpembawaan proaktif. Kita bukan anak-anak asing, justru di zaman globalisasi. Sumber daya alam bukan sesuatu suku, daerah, atau adat spesifik, melainkan milik rakyat, sebutan kolektif dari warga negara (citizen). Maka, mereka harus diajak bicara tentang paradigma pembangunan karena mereka yang akan menjadi penderita utama dari kerusakan lingkungan. Local wisdom mereka perlu didengar.

Orang yang merasa terpanggil untuk memimpin Indonesia, pemerintah yang dipilih untuk mengatur hidupnya, berkedudukan tak lain daripada juru kuasa yang menggunakan semua jenis sumber pembangunan. Adalah kewajiban mereka dalam fungsi tersebut bersikap selaku boni patres familias, selaku kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menyerahterimakan Tanah Air kepada generasi mendatang dalam keadaan yang sebisa mungkin masih berpotensi, terawat lebih baik. Bila tidak, kita, generasi sekarang yang masih berpeluang besar untuk membangun, akan dihadirkan di pengadilan sejarah bangsa sebagai tersangka penyalah guna kekuasaan. Di saat naas itu, penalaran economic’s textbook, yang dahulu mendorong kita untuk membuat kesalahan historis fatal tersebut, yakinlah, tidak akan mampu membela kita.

Lebih dari dua abad yang lalu, filosof politik Perancis, Alexis de Tocqueville, telah mengingatkan bahwa ”A democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources.”

Kebenaran dan Politik

Kebenaran dan Politik

Daoed Joesoef  ;   Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS,  04 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SEMAKIN mendekati hari pemilihan presiden, semakin ramai warga membicarakan kriteria pemimpin yang ideal. Dalam diskusi sekelompok pemuda terpelajar, sebagian tergolong pemilih pertama kali, ada diajukan aneka macam set kualitas (karakter) pemimpin yang mereka impikan.

Yang mencolok adalah bahwa pada setiap set tertentu ada ”kejujuran” sebagai kualitas yang diniscayakan. Ternyata mereka rata-rata sudah muak dengan perilaku politik para pemimpin kita selama ini yang tidak integer, koruptif, di semua bagian dari trias-politika. Konsultasi dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyimpulkan, ”jujur” dan ”kejujuran” adalah kata lain dari ”benar” dan ”kebenaran”, jadi dua sisi dari kebajikan yang sama. Bila demikian perlu dipertanyakan apakah harapan para pemuda tadi bisa terwujud. Sebab, praksis perpolitikan kita selama ini menunjukkan bahwa ”kebenaran” (truth) dan ”politik” (politics) bukan bagai ”lepat dengan daun”, tetapi mencolok bagai ”minyak dengan air”.

Kebenaran, walaupun tanpa kekuasaan dan selalu kalah bila langsung berhadapan dengan kekuatan apa pun yang berkuasa, punya satu kekuatan khas. Berupa apa pun kombinasi kekuasaan yang berlaku, ia tidak mampu menemukan atau menciptakan suatu kebenaran yang mumpuni. Tekanan kekuatan dan kekerasan bisa saja menghancurkan kebenaran, tetapi tidak akan mampu menggantikannya. Ini tidak hanya berlaku bagi kebenaran faktual yang begitu mencolok, tetapi juga bagi kebenaran rasional dan kebenaran nurani.

Kebenaran politik

Menanggapi politik dalam perspektif kebenaran berarti tegak di luar bidang politik. Posisi di luar bidang politik—di luar komunitas ideologis di mana kita tergolong dan di luar persekutuan kepentingan bersama—jelas ditandai sebagai salah satu cara berdiri sendirian. Yang eminen di antara cara-cara eksistensial ”mengatakan kebenaran” adalah kesendirian sang filosof, keterasingan para ilmuwan dan intelektual, imparsialitas hakim dan independensi penemu fakta dan kesaksian reporter; pendek kata, pada umumnya, sikap dari ”non-konformis”, yang bagai elang, berani terbang sendirian, tidak takut dilebur pasang setelah dengan sadar memilih hidup di tepi pantai.

Biasanya kita baru menyadari natur non-politik, bahkan kelihatan bagai anti politik dari kebenaran, bila terjadi konflik antara keduanya. Kita akan tersentak karena nurani menantang mulut untuk mengatakan: ”fiat veritas et pereat mundus”, biarkan kebenaran berlaku walaupun karena itu keseharian dunia runtuh! Lalu, apakah politik tak punya kebenarannya sendiri? Apa tak ada ”political truth” seperti halnya dengan ”scientific truth”?! Dewasa ini, sewaktu ilmu-ilmu sosial melaksanakan panggilannya dengan baik, ”the most modern communicable knowledge” ini memberitahukan keberadaan kompleksitas dan keniscayaan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mengenai hal ini, jurnalisme tak jarang turut membantu pemahaman publik tentang milieu di mana para politikus beroperasi, berbeda dengan ruang terbuka dari filosofi Newtonian.

Milieu operasional dari politik lebih mirip lumpur tebal yang melekat di mana Darwin mengukuhkan kesadaran human tentang yang serba kotor dan jorok ini memerlukan suatu pemerintahan, bukan dalam artian lembaga kolektif yang kerjanya ”memerintah”, tetapi entitas publik yang mengayomi, melayani, pembersih, pengatur, pengelola ”polity”. Maka ”kebenaran politik” adalah pemandu warga keluar dari kebuntuan intelektual dan politis, intellectual and political cul de sac. Kebenaran ini dimulai dengan pernyataan bahwa pemerintah, walaupun rakitan manusia, adalah ”alami”. Bagi manusia ia sama alaminya dengan pakaian dan tempat berteduh (shelter) karena ia melayani kebutuhan yang serba alami bagi manusia, bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

A well-governed polity memberikan kepada warganya ”pangan”, ”sandang”, dan ”papan”, melibatkannya dalam suatu jaringan hubungan kebiasaan dan perbuatan yang diadatkan—yang membentuk disposisinya, mengembangkan apa yang baik bagi dirinya menekan apa yang buruk.

Keragaman kapasitas human pada setiap saat di setiap masyarakat, menurut George F Will, terkondisi secara historis. Berarti, deretan dari bentuk asosiasi politik yang sesuai juga terkondisi. Filosofi politik ”for all seasons” harus berupa proposisi penting, tetapi umum. Filosofi politik yang cocok untuk satu polity partikular harus lebih spesifik, tetapi ada limit sejauh mana politikus atas nama rakyat boleh menjauhi proposisi umum ketika berusaha membuat bentuk yang paling memenuhi syarat dari asosiasi politis bagi polity pada umumnya.

Hal ini perlu disadari mengingat publik dari era reformasi di zaman pasca revolusi cenderung tidak lagi terikat satu sama lain oleh ”ide”, tetapi oleh ”kepentingan” yang serba primordial materialistik. Dewasa ini atmosfer politik kelihatan direduksi menjadi sejenis debu intelektual, tersebar ke segala penjuru, tak mampu mengumpulkan, tak sanggup menyatu-padukan.

Jadi ”politik”, betapapun megah kelihatan dengan ”kebenaran politiknya”, yang disanjung melangit sebagai ”the art of solving the impossibles”, mengenal limit, serba terbatas. Ia tidak meliputi semua tentang eksistensi human di dunia. Ia dibatasi oleh hal-hal yang tidak dapat diubah manusia begitu saja menurut seleranya. Dan hanya dengan menghormati batasan-batasannya sendiri, bidang di mana kita bebas bertindak dan bertransformasi bisa tetap utuh, mempertahankan integritas dan memenuhi janjinya. Maka yang kita namakan ”kebenaran”, secara konseptual, adalah apa yang tidak bisa kita ubah. Secara metaforis, ia adalah bumi tempat kita berpijak dan langit yang membentang di atas kita. Bak kata kearifan lokal, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung.

Walaupun begitu bukan berarti ia abadi. Biasanya perkembangan zaman menuntut perubahannya. Namun, yang mengubahnya bukan politik, melainkan ”Bildung”, sinergi simbiotis antara kebudayaan dan pendidikan. Walaupun begitu, politik tidak tinggal diam. Selaku kekuasaan negara yang berlaku, politiklah yang memutuskan wacana Building yang bersangkutan menjadi satu kebijakan pemerintahan tentang pembelajaran baru di bidang pendidikan nasional. Adalah Plato yang mula-mula berusaha menanggapi politik dalam perspektif kebenaran dan tegak di luar bidang politik. Platonisme ini di zamannya menjadi sangat berpengaruh selaku oposan gigih terhadap ”polis”, yaitu jagat politik dan pemerintahan negara-kota Yunani Purba. Impian Plato memang tidak terwujud: akademi yang dibentuknya tidak pernah menjadi ”counter-society”.

Kebenaran intelektual independen

Kebenaran Platonis itu mengilhami pembentukan lembaga-lembaga universiter. Walaupun lembaga-lembaga ini tak pernah merebut kekuasaan negeri, amfiteater serta ruang kuliahnya berkali-kali mengetengahkan kebenaran yang sangat tak diharapkan oleh sepak terjang politis tertentu yang berambisi tetap berkuasa at all costs. Maka lembaga semacam ini, seperti juga tempat-tempat pelarian lain dari kebenaran serupa, menjadi sasaran empuk aneka bahaya yang berasal dari kekuatan/kekuasaan sosial dan politik.

Peluang kebenaran untuk hidup di tengah-tengah masyarakat ternyata sangat diperbesar oleh kebenaran organisasi ilmuwan dan kehadiran intelektual independen, yang pada asasnya disinterested dalam sikap dan tindakannya. Orang tidak akan dapat membantah, paling sedikit di negeri-negeri yang dijalankan secara konstitusional, bahwa bidang politik akhirnya mengakui, meskipun di saat sedang berkonflik, sungguh berkepentingan akan eksistensi lembaga dan orang yang tidak dikuasainya dalam hal kebenaran.

Jadi apa yang tidak pernah diimpi-impikan oleh Plato justru terjadi, yaitu bahwa bidang politik akhirnya mengaku butuh lembaga dan personalitas eksterior selaku pelawan kekuasaan yang, dengan begitu, menambah imparsialitas atau kenetralan yang dituntut oleh dispensasi keadilan.

Misi Perguruan Tinggi Kita

Misi Perguruan Tinggi Kita

Daoed Joesoef  ;   Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS,  18 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Rekomendasi Forum Rektor Indonesia agar perguruan tinggi ditempatkan dalam yurisdiksi Kementerian Riset dan Teknologi sungguh mengejutkan.

Mengejutkan karena ide ini datang dari forum rektor, pimpinan universitas dan institut, bukan dari forum dosen yang adalah pengajar di situ. Namun, hal ini melegakan karena akhirnya ketahuan mengapa pendidikan tinggi di perguruan tinggi (PT) kacau selama ini. Ternyata PT dikelola menurut kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan dari PT.

Ada anggota Komisi X DPR yang sangat antusias, menganggap ide Forum Rektor Indonesia (FRI) itu begitu tepat, suatu terobosan, karena membuat hasil riset PT jadi sesuai kebutuhan masyarakat.

PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan sesuatu yang ”siap pakai” di bidang kehidupan apa pun, melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan manusia untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan kita begitu rupa hingga menguasai semakin banyak potensi tersembunyi dalam alam dan pergaulan (interaksi) human. Tanpa spirit begini orang tidak akan menjadi periset, sementara riset diperlukan demi perbaikan serta kemajuan hidup dan kehidupan.

Namun, riset bukanlah sembarang kerja karena ia bersyarat keilmuan serta latihan terbimbing dan terarah. Dengan kata lain, pendidikan berperan menentukan dalam menyiapkan periset, yang kelak setelah lulus, siap menjadi staf periset profesional di lembaga-lembaga riset, seperti BPPT, LIPI, Kementerian Ristek, atau lembaga-lembaga swasta di komunitas bisnis. Di lembaga-lembaga riset khusus itulah para periset alumni PT seharusnya bisa menghasilkan aneka invensi dan penemuan, sesuai dengan tugas lembaga riset yang mempekerjakan mereka.

Tugas perguruan tinggi

Tridharma PT di negeri kita cukup correct, sudah betul untuk tahap akademis Indonesia dewasa ini yang masih perlu ditingkatkan. Tugas PT pertama dan terutama adalah mendidik, baru riset, lalu pengabdian masyarakat. Dalam mendidik termasuk pendidikan tentang seluk-beluk riset. Kalau dalam proses pendidikan riset ini PT sampai menghasilkan biji jagung sebesar jempol kaki atau obat manjur serba guna, tentu terpuji. Namun, pujian ini tidak karena hasil yang menakjubkan tadi, tetapi berhubung sudah berprestasi ”melahirkan” periset andalan sementara masih dalam proses pendidikan. Prestasi ini sudah dianggap tergolong pengabdian masyarakat yang ideal.

Sejarah keilmuan, di luar sejarah kerja lembaga riset khusus, memang mencatat bahwa ilmu pengetahuan (IP) sarat invensi yang berguna. Teori-teori ilmiah kadang kala disusun oleh orang-orang yang imajinasinya diarahkan ke kegunaan yang sedang didambakan oleh zamannya. Newton, misalnya, wajar mengarahkan nalarnya ke astronomi karena hal ini adalah subyek pembicaraan harian zamannya. Ketika itu, ”menemukan jalan di laut” merupakan masalah masyarakat di mana dia dilahirkan. Faraday menghabiskan waktu hidupnya untuk mengaitkan elektrisitas dengan magnetisme karena ini yang diributkan oleh zamannya. Ketika itu masyarakat, seperti kita sekarang, sedang mencari sumber-sumber energi baru.

Maka, para rektor sebaiknya memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan PT yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan IP yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan demi perkembangan spirit ilmiah yang diperlukan untuk itu. Justru mengenai pelaksanaan misinya yang sejati ini, PT kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur dari IP.

IP bukanlah lanjutan otomatis dari pengetahuan di level pendidikan menengah sebelumnya. Ia adalah hasil dari suatu cara khas pembelajaran dan cara ini tidak muncul begitu saja bagai sebuah nova soliter yang muncul di langit hanya untuk segera lenyap atas kehendaknya sendiri. Sebaliknya, ia menjelma dalam konteks komunikasi antara mereka yang menulis dan mereka yang membaca, antara mereka yang memakai idiom keterpelajaran untuk mencatat observasinya dan mereka yang menganggap catatan itu menarik.

Spesies pembelajaran yang kini disebut ”ilmu pengetahuan” merupakan contoh yang paling tepat dari proposisi tadi sebab kerja dan karya dari ilmuwan kontemporer mengisyaratkan keberadaan suatu keseluruhan kompleks dari ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, memedulikan karya orang lain, diskusi interaktif. Apabila semua hal tersebut tidak ada, yang kita namakan ”kegiatan ilmiah” hanya berupa suatu fatamorgana karena nyaris tak terlaksana. Yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat.

Ilmu pengetahuan sebagai gejala sosial

Perlu kesadaran PT untuk memperlakukan IP yang menjadi urusan sejatinya sebagai suatu ”gejala sosial”, paling sedikit di lingkungannya sendiri. Ia dituntut berbuat demikian bukan karena anggapan menanggapi capaian intelektual khas adalah produk dari suatu masyarakat khas, melainkan karena cara pembelajaran khas yang membuat pengetahuan sebagai komunikasi, merupakan medium sosial di mana IP dipolakan, melalui mana ia dikembangkan dan dengan mana ia ditransmisikan di kalangan orang-orang yang sama-sama terlibat dalam penyelidikan yang serius. Maka, pengetahuan khas dan cara pembelajaran khas ini, yaitu IP, dinobatkan oleh zaman modern sebagai ”the most dominant contemporary form of communicable knowledge”.

Sejarah IP menampilkan lapisan-lapisan fakta dan kejadian. Inti dari lapisan ini adalah pembentukan teori ilmiah berupa tabel-tabel kronologis dan catatan tentang invensi serta penemuan. Inti ini langsung dilapisi oleh suatu dunia pemikiran yang melahirkan teori-teori tadi. Lalu, ada lapisan ketiga berupa lingkungan profesional di mana ilmuwan berkarya, yaitu kelompok riset tempat dia bergabung, asosiasi akademis di mana dia tergolong, PT di mana dia mendidik, turut membuat orang ”to be more”. Lapisan ini adalah infrastruktur akademis. Akhirnya, ada lapisan terluar, yaitu masyarakat luas.

Kita anggap remeh lapisan-lapisan perkembangan IP dan ilmuwan tersebut dalam upaya membangun sistem pembelajaran IP selama ini. Kita anggap ada hubungan langsung antara perkembangan teori dengan masyarakat luas dan mengabaikan unsur-unsur antaranya. Dengan begitu kita tidak menyadari bahwa perkembangan IP tidak dapat diwujudkan kecuali ada usaha partikular yang relevan untuk ”menghidupkan” unsur-unsur antara tadi, lebih-lebih infrastruktur akademis. 

Keseluruhan unsur itu adalah ”komunitas ilmiah” yang eksistensinya merupakan basis sosial determinatif, baik bagi penggeloraan spirit ilmiah di kalangan sivitas akademika kampus maupun bagi pemahaman yang benar dari masyarakat pengguna IP tentang makna/misi sejati kampus.

Belum komunitas ilmiah

Sejujurnya, kampus-kampus kita belum merupakan komunitas ilmiah yang worthy by the name. Maka, tugas mendesak para rektor adalah mewujudkannya karena diniscayakan.

Dari komunitas ini sudah lama ditunggu ide-ide pencerahan, solusi beberapa masalah yang kian memprihatinkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, antara lain (i) akibat sampingan buruk dari spesialisasi walaupun diperlukan, akhirnya bisa mengganggu kemajuan dan membahayakan peradaban; (ii) akibat pembangunan nasional ala ”the economics of development” membuatnya bukan pembangunan Indonesia, tetapi pembangunan di Indonesia dan terperangkap dalam ”a great economic system which is heartless”; (iii) ada beberapa IP yang ternyata bisa dibahas sebagai  ”scientific discipline” dan ”cultural discipline” dan karena itu pantas dikuliahkan secara pararel sekaligus, demi perluasan dan keseimbangan wawasan intelektual, seperti matematika, fisika, biologi, sejarah, arkeologi, dan filosofi.

Sebenarnya masih ada aneka masalah lain, tetapi tak bisa diketengahkan karena ruangan yang terbatas dari tulisan ini.

Ketika menemui Albert Einstein, Paul Valery bertanya: ”Master, what do you do to keep track of these ideas you keep generating?” Jawaban Einstein adalah, ”But I've only two ideas in my whole life”, yang ternyata ide tentang dari mana kita berangkat (titik awal) dan hendak ke mana kita menuju (titik final). Bukankah ini senada dengan ungkapan kearifan nenek moyang kita sangkan paraning dumadi. Maka, alangkah baiknya jika FRI mendatang dimanfaatkan untuk merenungi sangkan paraning dumadi di bidang pendidikan keilmuan kita.

Jika kebijakan FRI merupakan the geometry of motion, antara titik awal dan titik final bisa ditarik satu garis lurus yang terdiri atas titik-titik di mana setiap titik mewakili ide yang konstruktif tentang misi sejati PT. Dengan demikian, FRI tidak melontarkan ide rancu di bidang pendidikan yang sudah membingungkan.