Membaca Prospek Kelautan 2014

Membaca Prospek Kelautan 2014

Muhamad Karim  ;   Universitas Trilogi, Jakarta;
 Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan & Peradaban Maritim (PK2PM)
MEDIA INDONESIA,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
DALAM memasuki 2014, pembangunan kelautan Indonesia mengalami pasang-surut. Pemerintah pun mengklaim mengalami kemajuan, mulai dari soal pengadaan kapal Inka Mina yang diklaim mendongkrak pendapatan nelayan hingga keberhasilan mengundangkan revisi UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Hanya, kemajuan itu menuai kontroversi dari pelbagai pihak. Ada yang menilai kemajuan itu semu.

Ada juga yang menilainya mengalami kemajuan, tapi tidak berarti. Pasalnya, kondisi makrostruktural sektor perikanan bak jalan di tem pat. Hal itu berimbas pada kian menurunnya kesejahteraan nelayan. Situasi inilah yang memperparah karut-marutnya jagat perikanan Indonesia. Menyangkut makrostruk tural ekonomi politik kelautan, terdapat pelbagai indikator yang mesti dicermati.

Pertama, penanaman modal asing (PMA) sektor perikanan semenjak 2010 hingga kuartal III 2013 didominasi asing. Nilai rataan kontribusinya hingga 99,5%, sedang kan penanaman modal dalam negeri (PMDN) cuma 1%. Umpamanya, kuartal III 2013 PMA nilai investa sinya US$17 juta (99,8%) ketim bang PMDN yang cuma US$20 ribu (0,45%) (baca: BKPM 2013). Situasi ini mencerminkan pemodal asing mendominasi sektor perikanan Indonesia. Padahal, Pasal 36 ayat (1) UU Pangan No 18 Tahun 2013 telah membatasi impor pangan. Pemerintah dapat mengimpor pangan bila produksi pangan dalam negeri tak mencukupi atau tak dapat diproduksinya. Ironisnya, Indonesia malah mengimpor jenis ikan yang diproduksi di Indonesia semisal udang, ikan patin, tuna, cakalang, dan tongkol.

Kedua, sejak 2007-2012 ekspor ikan dan produk perikanan melon jak signifikan. Sayangnya, lonjakan ekspor juga berbarengan dengan impornya. Data UN Comtrade (2013) mencatat volume rataan laju ekspor perikanan Indonesia mencapai 8,8%. Sementara itu, volume impornya dalam rentang waktu yang sama mencapai 24,69%. Nilai rataan laju ekspornya mencapai 11,39%, se dangkan impornya 39,47%. Dalam lima tahun terakhir impor ikan dan produk perikanan menyerbu Indone sia. Jenis ikan impor yaitu makerel, fillet, hingga sardin. Ironisnya, saat yang sama nelayan juga mengalami surplus produksi.

Meski volume dan ekspornya me ningkat, dunia perikanan Indonesia terkesan jauh panggang dari api mewujudkan ketahanan, kemandi rian, dan kedaulatan pangan. Di tambah lagi dengan kian maraknya ekspor ilegal. Terbukti, pada 2000 Indonesia diduga mengekspor ikan tuna albacore secara ilegal hingga 52% dari total volumenya ke Thailand. Volumenya mencapai 271.419 kg dengan nilai US$1.070.630. Pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna alba core ilegal ke Thailand kian mening kat hingga 69,20% dari total volume nya. Volumenya mencapai 2.352.724 kg dengan nilai US$8.326.839.

Ketiga, nilai tukar nelayan (NTN) dan pembudi daya ikan menurun, pada November 2013 senilai 102,04 turun menjadi 101,98 pada Desem ber 2013 (BPS, 2013). Perubahannya tercatat 0,05%. Meski, nyatanya NTN ini penurunannya tercatat semenjak September (105,21) hingga Oktober 2013 (104,94) (BPS 2014). Penurunan itu mengisyaratkan kesejahteraan nelayan Indonesia turun drastis. Penyebabnya, iklim dan cuaca yang tak menentu. Imbasnya, NTN semenjak era reformasi hingga kini tak pernah menyentuh angka 150.

Keempat, anomali iklim dan degradasi ekologis. Fenomena perubahan iklim, diakui atau tidak, telah melanda Indonesia. Hingga kini bencana banjir, rob, gelombang besar disertai badai, hingga curah hujan tinggi telah memorak-porandakan kota-kota pesisir. Fakta empiris yaitu banjir yang menyapu Kota Menado pada 15 Januari 2014. Celakanya, situasi tersebut berbarengan dengan bencana ekologis di wilayah pesisir dan pulau kecil. Setidaknya ada dua kasus menghebohkan pada 2012.

Kasus eksploitasi pasir laut di perairan Wakatobi untuk membangun infrastruktur perkantoran pascaterbentuknya Kabupaten Wakatobi, hingga pembangunan dam dan jalan lingkar di Kabupaten Kepulauan Seribu yang mengancam habitat penyu sisik. Ditambah lagi kasus-kasus yang berlangsung pada 2013 semisal pencemaran Teluk Ambon, Teluk Jakarta, hingga Teluk Menado. Situasi tersebut kian memperparah degradasi ekologis dan ekosistem pesisir di Indonesia meski DPR dan pemerintah telah merevisi UU PWP3K dan disahkan akhir tahun lalu. UU itu diharapkan menghentikan degradasi ekologis di pesisir hingga pulau kecil.

Kekuatan ekonomi baru

Pemilu 2014 tinggal menghitung hari. Sayangnya, problem mak rostruktural kelautan absen dari hiruk-pikuk perpolitikan nasional. Terkesan, soal kelautan bak peleng kap penderita. Celakanya lagi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) semenjak KIB I hingga II `gagal' memosisikan kelautan sebagai kekuatan ekonomi baru membangun Indonesia. KKP tak pernah beranjak dari kebijakan mengejar laju pertumbuhan ekspor ikan dan produk perikanan tinggi, hingga menebar belas kasih (charity) ala pengadaan kapal Inka Mina yang masih jauh untuk menyejahterakan nelayan. 
Ditambah lagi anomali iklim yang memproduksi beragam bencana hingga degradasi ekologis. Semuanya itu kian menyempurnakan problem makrostruktural kelautan Indonesia.

Hemat penulis, mestinya KKP mulai mengembangkan dan mendorong ekonomi lokal melalui de-growth sebagai perwujudan paradigma ekologi-ekonomi (ecological economic paradigm) dalam membangun kelautan Indonesia di masa datang (baca: Herman Daly). Pengembangan ekonomi lokal (local economics) mesti dibangun atas prinsip solidaritas (solidarity), semangat gotong royong, kekeluargaan, kemandirian, hingga social entrepreneurship. Umpamanya, bagaimana mengembangkan dan membudayakan industri rumah tangga keluarga nelayan (home industry of fisher folk house hold) melalui institusi koperasi? Jika hal itu absen pascaterbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2014, nasib kelautan Indonesia kian suram. ●
Indeks Prestasi

Post a Comment