Babu : Bangsa BudakArswendo Atmowiloto ; Budayawan |
KORAN JAKARTA, 15 Februari 2014
Banyak pilihan akhir pekan ini: merayakan Hari Kasih Sayang, Valentine’s Day, atau berduka dan prihatin atas meletusnya Gunung Kelud, Jawa Timur. Sebenarnya selalu begitu. Setiap seminggu selalu ada peristiwa yang lebih menarik perhatian dari peristiwa lainnya. Tidak berarti satu peristiwa lebih penting dari yang lain, melainkan karena unsur waktu, timing, lebih pas dibicarakan segera. Ada yang dinamai aktualitas waktu, dan ada aktualitas tema. Yang kedua inilah saya menemukan keprihatinan, juga kecemasan kenapalah harga diri bangsa ini makin direndahkan oleh bangsa lain, bangsa tetangga. Pemberian nama kapal Usman- Harun diprotes oleh Singapura. Seakan Singapura memunyai hak untuk memberi nama kapal. Padahal, dua anggota KKO—Korps Komando Angkatan Laut, adalah pahlawan nasional, yang gagah berani dan mengorbankan nyawanya dalam konfrontasi saat itu. Saya mengalami saat-saat heroik dan dengan seragam sekolah berpawai di jalanan. Sebelum itu, ada peristiwa kapal nelayan kita ditembaki oleh pasukan Papua New Guinea, Papua Nugini, PNG. Australia bahkan mengacak-acak, menyadap sistem komunikasi, dan mengembalikan para pengungsi sejak berada di laut. Malaysia? Oh. Selalu ada alasan bagi negeri serumpun ini untuk tidak memperhitungkan harga diri negeri tetangga dekat ini. Mereka—tentu tidak semua, memunyai sebutan “Indon” untuk rakyat Indonesia, semacam perendahan martabat, sebagai dulu istilah Negro dipakai untuk mereka yang berkulit hitam di Amerika. Terakhir—bukan yang penghabisan, seorang Tenaga Kerja Wanita, dimasukkan ke peti dan dibuang di laut. Terasa betul atmosfer pembabuan, pembudakan, perendahan harkat kemanusiaan bangsa kita ini. Seakan bangsa kita ini tak memiliki kedaulatan sama sekali. Seakan gambaran negeri ini adalah negeri para babu, para budak belian yang bisa diperlakukan seenak majikan—yang merasa berhak melakukan karena telah membeli. Saya menjadi emosi—tanpa harus emosional. Saya tersulut berapiapi, tanpa harus terbakar diri, terutama karena seolah pemerintah berdiam diri atas penghinaan martabat suatu bangsa. Kecintaan pada bangsa dan negara, sikap nasionalisme, seakan telah luntur sama sekali. Saya cemas karena selama setahun lebih melalui radio yang direlai ke 20 kota, mencoba berbicara tentang nasionalisme. Bersama para tokoh, para seniman, wakil rakyat, politisi, kenalan, kami menyoba dan merumuskan apa itu pengertian kedaulatan sebagai bangsa, termasuk mengajak generasi muda. Saya tak sedang menyalahkan pemerintah, dan atau negeri tetangga saja. Barangkali ini sudah saatnya dan perlu bergegas, berefleksi untuk memperbaiki kekeliruan kita sendiri. Citra budak, citra babu dengan maraknya Tenaga Kerja Indonesia, bagian terdepan dari gambaran yang mewujud dalam melihat bangsa Indonesia. Tak ada salah dengan itu, dan para TKI/TKW tak bisa disalahkan. Bagaimana memperlakukan mereka ini, melindungi, menyiapkan bekal kerja, yang tak pernah becus, dan tak pernah diurus, tak pernah ditangani dengan serius. Dengan tenang malah menyalahkan sebagai tenaga ilegal. Sungguh ironi yang menyebalkan karena ternyata kita gagal dalam banyak hal: tak mampu menyediakan lapangan kerja dan tak mampu membekali – bahkan hanya dengan surat-surat resmi. Yang terdengar salah-menyalahkan, adanya pungutan liar, sampai yang terlihat mata ketika para pahlawan devisa ini tiba di Tanah Air. Ini yang harus segera, segera, segera banget dibereskan. Sebelum selalu menjadi kambing hitam tempat melempar kesalahan. Maraknya reaksi keras atas keberakatan Singapura pada penamaan kapal, paling tidak memperlihatkan bahwa harga diri suatu bangsa masih besar dan berakar. Demikian juga ketika Australia melakukan penyadapan. Namun untuk kasus “tenaga budak”, tidak bisa hanya berteriak semata. Harus ada tindakan nyata, jelas, terukur. Di sinilah emosi menemukan bentuk nyata yang produktif, yaitu memperbaiki diri untuk suatu kebanggaan nilai kemanusiaan. Sungguh tak masuk akal dan mengkhianati perjuangan nenek moyang kita yang dulu berjuang membebaskan belenggu penjajahan, perbudakan, dan kini kita malah mencitrakan diri bisa diperlakukan sebagai budak. Oh! ● |
Post a Comment