“The Feel Good Factor”

“The Feel Good Factor”

Budiarto Shambazy  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  22 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Tak terasa pemilu 9 April hanya sekitar 1,5 bulan lagi. Kita tak perlu merasa suasana menjelang pemilu sepi atau ramai, tak perlu heboh seolah ini gawe mahapenting yang mesti disambut gembira, seperti judul lagu ”Pemilihan Umum” versi Orde Baru.

Dan, jangan terpengaruh dengan pendapat yang disinyalir sejumlah pihak bahwa situasi ”tahun politik” 2014 ini akan memanas. Mungkin yang lebih tepat, pemilu kali ini membuat sejumlah pihak ”panas-dingin”.

Pemilu peristiwa berskala raksasa karena melibatkan 180-an juta pemilih di sekitar setengah juta TPS dan diamankan sekitar 1,4 juta personel. Itu belum termasuk ratusan ribu petugas penyelenggara sampai calon anggota legislatif.

Dalam sejarah kita, pemilu hampir tidak pernah meletupkan kerusuhan. Saya sempat menyaksikan satu-satunya kerusuhan pemilu, yakni di Lapangan Banteng, dalam kampanye Pemilu 1982 yang sempat melumpuhkan Jakarta Pusat.

Apakah mungkin kampanye terbuka dengan pengerahan massa dan melalui media massa 16 Maret-6 April membuat rakyat tertarik mencoblos? Masalahnya, citra partai politik telah lama terpuruk, terutama karena korupsi.

Sudah hampir setahun terakhir ini terjadi ”perang data” antarpartai tentang siapa partai yang jumlah koruptor/nilai korupsinya terbanyak. Bukan tak mungkin kampanye kelak lebih negatif diwarnai isu-isu korupsi.

Suatu fakta lain, lebih dari 90 persen anggota DPR saat ini kembali menjadi caleg di Pemilu 2014. Masyarakat cenderung pukul rata menganggap semua 560 anggota DPR RI ”ikut berdosa” akibat ulah segelintir koruptor.

Akankah muncul pertanyaan apakah DPR RI periode 2009-2014 sudah menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran demi kesejahteraan rakyat? Untuk urusan legislasi, mayoritas rakyat tampaknya kurang peduli.

Untuk fungsi pengawasan terhadap eksekutif, mayoritas rakyat menganggap itu sekadar urusan politics as usual. Maklum saja sistem politik kita ”parlemensial/ presidenter” (kalau parlemen merasa sial, presidennya gemeter).

Untuk fungsi anggaran, mayoritas rakyat cuma tahu anggaran jadi bancakan partai-partai saja. Alhasil, tampaknya kali ini para caleg mesti bekerja ekstra keras mengumbar janji bahwa kinerja mereka akan lebih baik lagi.

Mungkin saat kampanye caleg lebih fokus pada retail politics (politik eceran). Pemilih lebih suka caleg yang bicara tentang solusi berbagai masalah keseharian yang dihadapi warga, seperti perbaikan lingkungan, asuransi kesehatan, dan isu-isu yang down to earth.

Tetapi, tetap ada ”keuntungan” bagi caleg karena saat kampanye sebagian besar pemilih masih doyan duit, sembako, dan dangdut. Alhasil, kemenangan caleg amat ditentukan modal yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah.

Suka atau tidak, politik adalah uang. Tentu saja ada faktor-faktor lain yang ikut menentukan, seperti jaringan, popularitas (caleg artis atau komedian), atau kedinastian.

Masalahnya, kita mengalami trauma Pemilu-Pilpres 2009 yang kesuksesannya dianggap jauh dari sempurna. Seperti diketahui, hasil Pemilu-Pilpres 2009 disengketakan oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi.

Memang hasil Pemilu 2009 agak mencengangkan karena Partai Demokrat berhasil meningkatkan perolehan suara tiga kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2004. Ini preseden dalam sejarah dunia pemilu karena belum pernah terjadi sejak masa Yunani Kuno.

Terlebih lagi, terungkap pula skandal Century. Keputusan Opsi C yang dihasilkan Sidang Paripurna DPR 2010 menyebut dengan jelas perlunya dilakukan penyidikan terhadap dugaan keterkaitan antara bail out Bank Century dan partai/capres-cawapres tertentu.

Belum lagi banyaknya DPT bermasalah yang ditemukan di sejumlah dapil. Bukan rahasia, banyak sekali terjadi duplikasi data pemilih dan juga pemilih yang ternyata sudah meninggal dunia atau di bawah umur.

Pilpres tahun 2014 ini tidak lagi memilih petahana. Ini yang pertama kali terjadi sejak pemilihan presiden diadakan secara langsung.

Mungkin faktor ini yang menjelaskan mengapa Pilpres 2014 tanggal 9 Juli dianggap lebih menarik daripada Pemilu Legislatif 2014. Pesona figur dan kepemimpinan rupanya mendatangkan rasa optimisme dibandingkan dengan entitas partai.

Seolah seorang presiden, siapa pun yang terpilih, dianggap akan mampu menyelesaikan problem-problem bangsa ini. Padahal, model kepemimpinan kolektiflah yang amat dibutuhkan bangsa dan negara ini.

Kita mengetahui ada berbagai tantangan 2014-2019 yang bermuara pada kedaulatan kita: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kita menghendaki perubahan agar negara dan bangsa ini lebih berdaulat dan dihargai di mata dunia.

Harapan besar terhadap Pilpres 2014 menumbuhkan the feel good factor yang kita butuhkan. Dan, kita memiliki stok capres-capres memadai tanpa memandang latar belakang, pendidikan, usia, atau kelamin.

Janganlah the feel good factor ini dirusak kampanye hitam/negatif atau cara-cara tak demokratis lainnya. Jangan tunggu rakyat marah.
Indeks Prestasi

Post a Comment