Belajar Ikhlas dari Kelapa

                       Belajar Ikhlas dari Kelapa

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  17 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
MUSIBAH, dukacita, dan kesedih an adalah tiga kata yang akrab dan tak akan pernah hilang dari kehidupan manusia. Selama manusia masih bernapas, lingkaran susah dan senang, sedih dan gembira, serta suka dan duka akan silih berganti bergelayut pada hati dan pikiran setiap manusia. Dalam siklus kehidupan seperti inilah seseorang akan ditempa oleh beragam cobaan sehingga perasaan sedih, dukacita, bahkan berakhir musibah akan senantiasa ada. Begitulah misalnya kita menyaksikan beragam bencana dari beragam urusan, mulai banjir hingga meletusnya Gunung Sinabung dan Kelud, menunjukkan betapa rentannya manusia dan semua isi bumi ini.

Mungkin di sinilah misteri sekaligus kebesaran Tuhan ditunjukkan, meskipun musibah datang bertubi dan silih berganti, manusia terus harus mencoba menerima semua cobaan itu secara pas dan bijak. Tidak sampai di situ, Tuhan bahkan memberikan mekanisme internal secara instingtif kepada setiap manusia untuk menemukan jawaban setiap persoalan hidup. Salah satu mekanisme internal yang dititipkan Tuhan dalam diri manusia ialah kesediaan untuk ikhlas menerima setiap ketentuan Tuhan, sambil tak lupa terus berusaha mengubah musibah menjadi hikmah. Hanya, mungkin, tak semua manusia pandai memanfaatkan mekanisme internal yang sudah ada tersebut secara maksimal.

Memaknai kata ikhlas, dengan demikian, memang merupakan tugas yang tidak ringan bagi setiap manusia, apalagi menyangkut tafsir dan maksud serta cara menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia pendidikan, sikap ikhlas sudah ditunjukkan secara personal oleh ribuan atau bahkan jutaan para guru yang selalu setia membangun nurani para siswa. Namun secara institusional, tak sedikit lembaga pendidikan yang gagal untuk tumbuh dan berkembang karena ketiadaan keikhlasan dari para pengelolanya. Jika mengaca pada apa yang dilakukan para ulama yang memiliki pesantren dan lembaga pendidikan ternama, jelas sekali kunci utama dalam membangun sebuah kesadaran baru bagi dunia pendidikan ialah rasa saling percaya dan ikhlas.

Banyak lembaga pendidikan di Indonesia yang masih bisa bertahan hingga saat ini karena unsur keikhlasan para pendirinya. Imam Zarkasi dengan tradisi Gontor-nya merupakan contoh sebuah determinasi keikhlasan dalam mengelola pendidikan.

Memaknai kata ikhlas

Secara personal, mungkin saya termasuk di antara jutaan manusia yang tak henti dirundung duka. Musibah datang silih berganti, baik menyangkut kehidupan pribadi, keluarga, maupun lembaga tempat saya bekerja. Meskipun besar dan beratnya musibah bagi setiap orang sangatlah relatif, ujian dan musibah yang pernah saya rasakan tergolong berat untuk kelanjutan kehidupan saya. Bahkan beberapa orang teman secara berkelakar sering bilang bahwa tidak mati berdiri saja saya sudah syukur mengingat seringnya musibah mampir pada kehidupan saya. Saya tetap yakin dan percaya kepada maksud Tuhan, karena bersikap baik sangka terhadap Tuhan adalah langkah awal untuk menjadi manusia yang bisa memaknai kata ikhlas. Selain itu, Tuhan pasti tak akan memberikan beban kepada seseorang jika tak mampu menerima dan menjalaninya.

Selain itu, bagi saya kata ikhlas harus menjadi manifestasi yang paling relevan bagi kebertauhidan kita terhadap Tuhan. Mengakui Tuhan Yang Maha Esa jelas harus ada re levansinya secara nyata, yaitu mencintai kehidupan dan semua makhluk ciptaan Tuhan tanpa secuil pun pembeda yang diskriminatif. Dalam pandangan saya, kebertauhidan baru bermakna jika kita selalu menganggap kehadiran setiap makhluk sebagai bagian dari cara kita berhubungan dengan Tuhan. Dalam bahasa agama yang saya yakini, hablun minallah sama sekali tak bermakna jika tak ada hablun minannas, demikian pula sebaliknya.

Dalam tradisi pesantren yang pernah saya jalani, ustaz saya selalu memberikan metafora kata ikhlas seperti, maaf, seseorang yang habis buang angin. Seberat apa pun beban, akhirnya angin tetap keluar dan kita, terima atau tidak terima, harus rela dan mengikhlaskannya untuk keluar. Tentu saja metafora kata ikhlas seperti ini sarat beban dan contohnya pun sangat naif. Dalam tradisi kultural kita di Indonesia, sebenarnya ada banyak contoh untuk be lajar menjelaskan kata ikhlas dan relevansinya, bahkan sangat ekstrem pemaknaannya. Salah satunya ialah bagaimana kita bisa belajar ikhlas dari kelapa. Kenapa kelapa?

Ingat kelapa, ingat nyanyian Rayuan Pulau Kelapa karangan Ismail Marzuki yang penuh dengan nuansa kedamaian karena di seluruh pelosok negeri kelapa bertumbuh bersama rakyat dan menjadi bagian dari urat nadi masyarakat pesisir di Indonesia. Akan tetapi, mari kita lihat beberapa fakta tentang kelapa, terutama dari cara kita `memperlakukan' kelapa. Tidak seperti buah lain seperti anggur, pisang, jeruk, dan apel, misalnya, yang ketika baru dipetik saja diperlakukan dengan sangat hati-hati dan istimewa. Tapi kelapa? Dia dipetik dengan cara dipelintir, diparang, dibacok, dan digebuk layaknya maling. Kelapa berjatuhan dari pohonnya sebagaimana hukum alam soal grativasi bumi dengan suara gedebakgedebuk.

Setelah dipetik, buah lain dicuci dan dibersihkan kemudian dipajang di etalase toko buah yang cantik, atau kalau di rumah disediakan tempat yang cantik dan kalau perlu di lemari pendingin. Sementara kelapa, kebanyakan ditaruh di dapur, bahkan sudut dapur yang orang pun enggan untuk meliriknya. Ketika akan dimakan, buah lainnya ditimang dan disanjung dengan pujian, sedangkan kelapa harus dikampak dan dipecahkan agar bisa diambil buahnya. Barulah kemudian yang muda dijadikan es kelapa, sedangkan yang tua masih harus diparut dan diperas agar keluar santannya. Sungguh sial kelapa, ketika santan telah dicampur dengan daging, ikan, dan sayuran lainnya, yang muncul adalah nama-nama rendang, gulai, lodeh, tongseng, dan sebagainya, dan tak ada yang menyebutnya sayur santan.

Meskipun diperlakukan sedemikian rupa, apakah kelapa protes dan ingin nama baiknya dipulihkan? Tentu tidak sama sekali. Kelapa tetaplah kelapa yang penuh dengan perlambang keikhlasan, tanpa pamrih, dan tetap memberi manfaat bagi semua orang. Kita bisa memastikan bahwa hanya pohon kelapa sajalah yang dari akar, batang, daun, batok, dan buahnya tak ada yang terbuang. Seandainya manusia bisa belajar keikhlasan laksana kelapa. Wallahu a'lam bi al-shawab.
Indeks Prestasi

Post a Comment