Curhat Presiden tentang Pers

Curhat Presiden tentang Pers

Agus Sudibyo  ;   Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KOMPAS,  17 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
”Pers sering sinis dan kurang bersahabat terhadap saya. Ibaratnya, tiada hari tanpa kritik dan gunjingan tentang saya dan keluarga.”

Begitulah penggalan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hari Pers Nasional di Bengkulu, 10 Februari 2014.

Bukan sekali ini saja Presiden SBY gundah terhadap pers. Belakangan ini Presiden SBY cukup sering menyatakan kekecewaannya terhadap pers secara terbuka.
Namun, kali ini curhat Presiden diikuti dengan pujian.

”Pers juga berjasa kepada diri saya. Kritik dan sinisme pers telah membuat saya lebih kuat sehingga mampu bertahan 10 tahun memimpin negeri ini. Kritik pers telah membuat saya tahan godaan, tidak ceroboh, dan tidak gegabah dalam melangkah.”
”Ke Jatibarang jangan lupa beli tahu, hati orang kita tidak pernah tahu”. Sulit untuk menebak bagaimana persisnya perasaan Presiden SBY saat mengungkapkan pendapatnya karena itu adalah pernyataan yang mendua.

Namun, satu hal yang pasti, pernyataan itu sama sekali tidak mencerminkan sosok kekuasaan yang mengancam tatanan kebebasan pers.

Pernyataan itu justru mencerminkan sosok kekuasaan yang tidak dapat berbuat banyak dan terpaksa bersikap realistis menghadapi iklim kebebasan pers yang semakin kuat dan melembaga.

Zaman berubah

Kita dapat menyaksikan bagaimana seorang presiden yang merasa terus-menerus dikritisi pers, hanya bisa ”curhat”, hanya bisa berwacana sebagai public figure.
Sekesal-kesalnya Presiden SBY, dia tidak bertindak drastis: mencabut izin siaran, memenjarakan wartawan, menyerukan penghentian iklan pemerintah di media massa ”nakal”, menghentikan dana untuk Dewan Pers atau KPI, dan seterusnya.

Presiden SBY tampaknya sadar, pendekatan kekuasaan ini tidak mungkin lagi dilakukan. Maka ia pun hanya sebatas mengkritik, mengimbau, sambil diam-diam menerima keadaan.

Dalam relasinya dengan pemerintah hari ini, jelas sekali kedudukan pers Indonesia sangat kuat.

Oleh karena itu, tidak seharusnya komunitas pers sedikit-sedikit merasa terancam, lalu bersikap reaktif-apriori terhadap kritik. Sejauh Presiden dan para menteri tidak menerapkan pendekatan kekuasaan, kebebasan pers tidak terancam.

Pers dan masyarakat tidak dirugikan oleh pernyataan Presiden di atas. Kalaupun ada yang berpotensi dirugikan, tak lain adalah Presiden sendiri. Saya membayangkan, pernyataan itu memicu sinisme baru sejumlah kalangan melalui media sosial.

Apa boleh buat, kita tidak dapat memaksa Presiden SBY untuk bersikap dan berkata-kata sesuai keinginan kita. Setiap orang mempunyai kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi.

Sebagian dari kita mungkin mengidam-idamkan presiden yang tidak gampang curhat dan tidak banyak mengeluh. Namun, sebagaimana kita semua, presiden juga berhak membela diri dan mengekspresikan perasaan kecewanya.

”Respek terhadap lawan bicara, berargumentasi secara bertanggung jawab, serta bersikap rileks menghadapi kritik dan perbedaan pendapat”. Inilah prinsip-prinsip yang perlu kita tumbuhkan di ruang publik kita.

Sebagai tukang kritik, tidak semestinya pers bersikap reaktif terhadap kritik. Mungkin saja sebagian dari substansi kritik Presiden SBY benar adanya bahwa ada media yang menghakimi subyek berita atau menyebarkan informasi berbau fitnah. Yang diperlukan adalah verifikasi dan pembuktian.

Jangan apriori

Namun, semestinya Presiden SBY juga tidak bersikap apriori terhadap pers. Misalnya saja Presiden SBY perlu membedakan antara media massa dan media sosial.

Pergunjingan tentang Presiden dan ibu negara sesungguhnya lebih banyak terjadi di media sosial. Media sosial bukan bagian dari media massa, tidak terikat pada Kode Etik Jurnalistik. Karena itu, kritik terhadap media sosial harus dipisahkan dari kritik terhadap media massa.

Lebih dari itu, di dalam kritiknya Presiden SBY juga tidak secara spesifik menunjukkan media mana yang telah merugikan dirinya. Ini ciri khas kritik Presiden SBY terhadap pers sejak dulu, tidak jelas arah dan tujuannya.

Mungkin maksud Presiden baik: tidak ingin menyinggung perasaan pemimpin media tertentu. Namun, dampaknya justru negatif.

Pernyataan ”Pers sering sinis dan kurang bersahabat terhadap presiden” adalah pernyataan yang menggeneralisir seakan-akan semua pers telah bersikap sinis dan kurang bersahabat terhadap Presiden.

Padahal, kenyataannya, tidak semua pers Indonesia demikian. Banyak pers bersikap netral dan proporsional terhadap presiden dan pemerintah. Ada juga pers yang setiap hari memuji-muji presiden.

Karena itu, semestinya semua kritik terhadap pers merujuk kepada media yang jelas. Kritik yang menggeneralisir seperti yang disampaikan Presiden di atas sulit diverifikasi dan dapat memicu debat kusir ataupun serangan balik yang masif terhadap Presiden.

Padahal, mungkin saja apa yang dikatakan Presiden benar: ada media yang suka memfitnah, melakukan black campaign, dan seterusnya.

Pers berhak, bahkan harus mengkritik presiden sejauh disampaikan secara etis, proporsional, dan akurat.

Sebaliknya, presiden juga berhak mengkritik pers sejauh kritik tersebut dapat diverifikasi.

Dalam urusan kritik-mengkritik ini, yang harus ditekankan sekali lagi adalah sikap respek terhadap lawan bicara dan keterbukaan untuk dikoreksi. Sikap kita menyampaikan dan menghadapi kritik adalah cerminan kedewasaan kita dalam berdemokrasi.
Indeks Prestasi

Post a Comment