Di Balik Kebangkrutan MerpatiChappy Hakim ; Mantan Kepala Staf TNI AU |
KOMPAS, 18 Februari 2014
Salah satu berita paling menarik belakangan ini adalah mengenai kebangkrutan maskapai penerbangan perintis Merpati Nusantara Airlines. Banyak sekali pertanyaan tentang bagaimana hal itu bisa terjadi? Perusahaan negara yang banyak memperoleh kemudahan dan bersubsidi bisa gagal total dalam berkiprah di lapangannya sendiri. Untuk dapat sampai kepada jawaban yang ”agak mendekati” kebenaran, kiranya perlu melihat lebih dahulu bagaimana peta dunia penerbangan kita secara keseluruhan hingga saat ini. Dulu, orang dapat melihat dengan jelas Garuda adalah maskapai ”Sang Pembawa Bendera” NKRI, duta bangsa yang menghubungkan kota-kota besar di dalam dan luar negeri. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa Garuda memang mengoperasikan pesawat terbang yang relatif besar ukurannya. Di sisi lain Merpati Nusantara Airlines (MNA) adalah maskapai yang menerbangi rute-rute terpencil di banyak daerah yang terisolasi di pelosok negeri ini dan tentu saja harus menggunakan pesawat berukuran kecil. Kedua maskapai dengan tugas yang sangat berbeda berkiprah dengan misi yang sangat mulia, yaitu menjaga keutuhan NKRI dengan jalan merajut jaring-jaring persatuan bangsa dengan menyelenggarakan fungsi pemerintahan di sektor jasa angkutan udara. Bergeser dari misi Kini, kita menyaksikan bagaimana Garuda yang telah go public mulai membeli pesawat terbang kecil untuk juga masuk ke rute-rute penerbangan ”perintis”. Sementara ”Sang Burung Merpati”, MNA ternyata sudah pula memiliki pesawat terbang berukuran relatif besar dan bahkan menerbangi rute penerbangan sampai jauh ke luar negeri. Merpati seolah telah meninggalkan daerah-daerah kumuh terpencil di pelosok negeri yang sangat menggantungkan kelangsungan hidupnya dari sektor jasa perhubungan udara. Sampai di sini kelihatan bahwa orientasi Garuda dan Merpati telah cukup jauh bergeser. Sudah menjadi rancu siapa yang berperan sebagai The Flag Carrier, duta bangsa, dan siapa pula yang seharusnya berperan sebagai ujung tombak ”pahlawan” penembus daerah terpencil di pelosok negeri kepulauan terbesar di dunia ini. Di sisi lain, ada hal sangat menarik dalam kancah dunia penerbangan nasional, yaitu untuk pertama kali dalam sejarah Republik, Garuda sudah ”dilewati” atau kalau tidak ”dikalahkan” oleh maskapai swasta, baik dari segi jumlah kepemilikan pesawat maupun jumlah penerbangan. Garuda—maskapai penerbangan milik pemerintah yang dapat banyak kemudahan dan subsidi serta telah meraih berbagai penghargaan sebagai indikasi berkualitas standar internasional dengan usia ”beda tipis” dengan usia pemerintahan RI—dikalahkan oleh maskapai yang baru lahir kemarin sore. Di balik tumbangnya banyak maskapai pemain lama, muncul pemain-pemain baru yang membawa darah segar dalam industri penerbangan nasional. Tak semua pemain baru cukup ”lihai” berakrobat dalam bisnis penerbangan yang terlihat glamor, mewah, dan seksi itu. Persaingan yang menjurus ke hal kurang sehat tak dapat dihindarkan sebagai akibat dari terbatasnya pengetahuan tentang dunia penerbangan, terutama masalah teknis para pengelolanya. Dari ”pergumulan” sepanjang 1-2 dekade terakhir, hasil akhir sementara adalah di sektor penerbangan perintis sudah tidak terlihat lagi MNA. Di rute-rute gemuk terlihat satu-dua maskapai yang sanggup tampil dengan gagah perkasa. Dan yang paling menonjol adalah ”prestasi” satu maskapai yang ternyata memperoleh izin agak istimewa untuk dapat mengelola tiga perusahaan penerbangan sekaligus yang dapat bermain di penerbangan perintis, penerbangan berbiaya murah, dan penerbangan premium yang tadinya seolah hanya milik Garuda. Meski demikian, seiring dengan itu, prestasi ini memunculkan banyak pertanyaan di media dan kalangan anggota DPR, terutama Komisi V, terkait dengan ”keberpihakan” dan pilih kasih pemerintah sebagai regulator kepada maskapai ini. Muncul kesan—mudah-mudahan jauh dari kebenaran—bahwa operator sudah bisa mengatur regulator. Apa sebenarnya yang terjadi dalam hubungan itu, kita tidak tahu. Ada yang salah Januari 2014, kita semua juga menyaksikan keramaian baru, yaitu diresmikannya kembali Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma—yang hanya memiliki satu runway dan tak memiliki taxiway—untuk melayani penerbangan komersial. Hal ini akibat Bandara Internasional Soekarno-Hatta kewalahan karena penerbangan di sana sudah tiga kali lipat dari kapasitas tampungnya. Seiring dengan itu, keluhan pemakai jasa penerbangan meningkat luar biasa akibat keterlambatan pesawat yang sudah lebih dari delapan jam. Selain itu, kinerja air traffic control (ATC) kita juga banyak bermasalah. Mulai dari peralatan di Jakarta yang sudah ketinggalan zaman, bahkan lebih tua dari peralatan yang sudah beroperasi di Makassar, hingga kualitas, jumlah, dan kesejahteraan SDM yang tak standar karena baru saja ada penggabungan dari berbagai institusi yang terpecah menjadi satu organisasi. Tidak itu saja, sudah jadi rahasia umum, dunia penerbangan Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah serius, yakni kekurangan pilot. Bukan hanya penumpang, para pilot dan controller ATC yang bertugas di Jakarta kini merasakan beban kerja cukup berat. Faktor keamanan terbang sudah sangat perlu perhatian serius untuk ditangani ”segera”. Lampu kuning dalam proses menuju lampu merah. Dari keseluruhan uraian tadi, sangat jelas ada yang ”salah” dalam manajemen penerbangan nasional. Penataan maskapai tak konsisten sehingga orientasi misi jadi tidak jelas, mana perintis dan mana yang untuk kota besar. Faktor pengawasan juga sangat lemah sehingga Bandara Soekarno-Hatta bisa bablas melayani sampai tiga kali lipat kapasitas dan pembinaan ATC jauh tertinggal dari perkembangan jumlah penerbangan. Dengan pengawasan regulator (Kementerian Perhubungan) terhadap operator (manajemen bandara dan maskapai) lemah, sulit berharap pengawasan internal di manajemen bandara dan maskapai dapat berjalan baik. Di sini sistem tak terbangun, apalagi berjalan. Pengalaman memperlihatkan, dalam operasi penerbangan, jika sistem tak berjalan, kesemrawutan akan sangat mudah terjadi. Kelebihan kapasitas dan keterlambatan terbang yang parah adalah contoh sederhana yang terlihat di permukaan. Dari gambaran itu, tidak sulit menebak penyebab bangkrutnya MNA. Penataan maskapai yang tak konsisten di tingkat pusat dan pengawasan yang lemah dihadapkan dengan medan juang MNA, yang notabene daerah terpencil (remote area). Tuntutan yang tinggi dari pasar angkutan udara berhadapan langsung dengan rendahnya pelayanan yang dapat di selenggarakan, mau tak mau telah membuka banyak peluang terjadinya salah urus. Semua itu mengakibatkan manajemen di tingkat pusat sulit dapat informasi yang benar tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, nun jauh di daerah terpencil. Bagaimana hubungan dan mekanisme kerja antara pilot dengan stasiun dan distrik manajer; hubungan antara para manajer di daerah terpencil dengan para calo barang dan penumpang. Pergantian yang begitu sering terjadi di jajaran direksi MNA 2-3 tahun terakhir, kapabilitas dan kompetensi para personelnya, paling tidak merefleksikan realita di lapangan. Ditambah lagi persaingan antarmaskapai yang tak hanya memperebutkan pasar, tetapi juga izin rute penerbangan terkait padatnya traffic. Tak sederhana memang masalah penerbangan nasional dan masalah yang dihadapi MNA. Sudah waktunya semua pemangku kepentingan lebih transparan dan duduk bersama mencari solusi tuntas. Mudah-mudahan tak ada korban lagi hanya karena salah urus. ● |
Post a Comment