Etika dan Monopoli Politik Kuasa Joko Wahyono ; Analis Politik pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
KORAN JAKARTA, 22 Februari 2014
Pemilu legislatif 2014 sudah di depan mata. Wajah pemburu kekuasaan kian bertebaran di mana-mana. Ruang publik milik "masyarakat sipil" (zivilgesellschaft) sesak dijejali oleh polah tingkah dan gerak-gerik mereka. Membanjirnya poster, spanduk, baliho di jalanan, atau ramainya acara blusukan, safari politik ke masyarakat kiranya cukup mengonfirmasi fakta itu. Mereka bertarung lewat visualisasi citra secara masif untuk memperebutkan ingatan kolektif masyarakat yang diharapkan akan memberikan dukungan suara saat hajatan demokrasi elektoral itu digelar. Sebuah gambaran bagaimana demokrasi dirayakan dengan kegaduhan pencitraan di tengah ketiadaan responsibilitas publik. Selain muncul wajah-wajah baru, wajah-wajah lama yang kini masih menjabat di Parlemen juga kembali, bahkan memonopoli politik kuasa. Bertenggernya wajah-wajah lama dalam bursa calon anggota legislatif 2014 ini menjadi bukti bahwa jabatan memiliki daya pesona yang memikat siapa saja, tak terkecuali mereka. Pesona jabatan dan kekuasaan membuat mereka tampil seperti manusia-manusia "kemaruk" (bahasa Jawa); rakus, selalu merasa kurang, dan tidak pernah puas dengan apa yang telah didapatkan. Sebuah jabatan menjadi batu loncatan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, prestisius atau minimal sebagai batu penopang langgengnya status sosial mereka di masyarakat. Menurutnya, jabatan dan kekuasaan adalah segala-galanya. Menjadi pejabat, meminjam perspektif Abraham Maslow, diletakkan pada hierarki tertinggi dari keseluruhan kebutuhan manusia. Menjabat seakan menjadi satu-satunya tafsir atas aktualisasi dan kebermaknaan hidup. Tidak heran jika mereka sering kali tak bergeming dan tetap melaju menunggangi kursi jabatannya, meski nyata-nyata telah mengalami kekacauan peran, gagal mandat dan tanggung jawab, bahkan terindikasi korupsi sekalipun. Hasrat Kuasa Kenyataan ini semakin memperkuat tesis purba filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None (1892) bahwa kekuasaan dan kekuatan adalah eksistensi hasrat manusia sebenarnya. Hasrat berkuasa (the will to power) bagi Nietzsche adalah cermin dari manusia bermental tuan (ubermensch) yang selalu ingin dilayani, bukan mentalitas budak yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk melayani. Padahal, khitah demokrasi sejatinya menempatkan rakyat sebagai tuan. Rakyat di negara demokrasi adalah raja pada tataran massa. Dengan kedaulatannya, rakyat adalah pemberi kuasa kepada pejabat. Sementara itu, pejabat dengan kuasa yang diberikan seharusnya diperuntukkan untuk mengabdi (baca: melayani) kepada rakyat. Sayangnya, kerja politik dan kekuasaan selama ini bukan ditundukkan pada apa yang semestinya (das sollen) itu. Realitas politik diejawantahkan hanya sebatas pertarungan kepentingan dan perebutan kekuasaan an sich, dengan kecenderungannya menghalalkan segala cara. Terbukti, untuk memenuhi hasrat kuasa itu, mereka rela mengeluarkan jutaan, bahkan miliaran rupiah. Sebuah angka nominal yang jika dikalkulasi dengan pendapatan resmi sebagai pejabat publik terkadang tidak masuk akal. Seakan memang tidak ada yang gratis dalam politik; nothing is free in politics. Persoalan cara mengembalikan modal politik (political cost) itu tampaknya sudah diperhitungkan secermat mungkin dari awal. Terlebih, panggung politik menyediakan berbagai macam sumber daya (resources) yang berlimpah untuk bisa diperebutkan dan dikuasai. Anthony Giddens dalam The Constitusion of Society (1984) mengungkapkan bahwa ada dua sumber daya yang membentuk struktur dominasi, yakni sumber daya alokatif dan otoritatif. Sumber daya alokatif menyangkut penguasaan barang-barang yang bersifat materiil atau ekonomi, sementara sumber daya otoritatif berkaitan dengan penguasaan terhadap individual (rakyat) atau institusional (lembaga pemerintahan) secara politis. Hasrat berkuasa seseorang cenderung didorong oleh libido untuk menguasai kedua sumber daya tersebut. Tak hanya itu, Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991) juga menyebutkan bahwa kekuasaan adalah simbol. Artinya, hasrat berkuasa menjadi pejabat publik atau politisi tidak gerakkan oleh penguasaan barang-barang ekonomi atau politis, melainkan nafsu libidinal imateriil, seperti kepuasan, pencitraan atau gengsi yang secara simbolik untuk menstrukturisasi kelas masyarakat. Etika dan Tanggung Jawab Jika sudah demikian, tujuan politik (kekuasaan) seperti yang diidam-idamkan oleh Aristoteles, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama (sejahtera) hanya akan menjadi utopia belaka. Karena kegiatan politik yang seharusnya digerakkan oleh manusia-manusia agung dan bijaksana yang dibimbing oleh etika, kesadaran nurani dan akal budinya (homo sapiens), kini dihuni oleh manusia-manusia bebas pemuja hasrat kuasa (homo desiderare). Bahkan, kepekatan nafsu untuk berkuasa ini telah meruntuhkan batas-batas moralitas dan imoralitas. Bisa dilihat bagaimana pencapaian kepentingan egoistik kekuasaan ditempatkan di atas nilai-nilai tanggung jawab publik. Maka, timbullah gejala "civic schizophrenia", dengan kecenderungannya meminggirkan segala yang "civic" dan "public". Padahal, orientasi demokrasi menghendaki tanggung jawab publik (public accountability) diletakkan sebagai entitas tertinggi di atas tanggung jawab politik (political accountability). Bung Hatta mengatakan bahwa demokrasi tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya rasa tanggung jawab. Demokrasi dan tanggung jawab ibarat dua sisi keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana hak dan kewajiban. Pemerintahan demokratis dan tanggung jawab publik adalah dua segi timbal balik sebagai tuntutan moral-etika. Moral-etika adalah landasan legitimasi kekuasaan. Pemisahan moral-etika, tanggung jawab dengan kekuasaan niscaya akan menggerogoti kekuasaan itu sendiri dari dalam. Jabatan dan kekuasaan memang memiliki kekuatan yang menggoda, namun mantan Presiden Cekoslowakia, Vaclav Havel (1991), memperingatkan bahwa semua itu delusif, palsu, dan sangat berbahaya. Jika seorang penggenggam kekuasaan tidak mampu menaklukkannya di bawah bimbingan etika, kesadaran nurani dan akal budi, ia akan terbutakan olehnya. Akhirnya, penjara menjadi pelabuhan terakhir bagi manusia-manusia pemuja hasrat kuasa. ● |
Post a Comment