BAHASA IBU
Jati Diri Kita, Ungkapan Budaya KitaBayu Susetyo ; Mahasiswa Program Doktoral Université de Picardie Prancis |
HALUAN, 27 Februari 2014
Salah satu keuntungan yang saya dapatkan karena belajar di Perancis adalah mengenal budaya-budaya dunia salah satunya budaya Afrika yang mewarnai keseharian dunia pelajar di Perancis. Dalam sebuah kesempatan, saya mendapat undangan menghadiri diskusi dari seorang teman yang menjadi Ketua Asosiasi Pelajar Gabon. Dalam diskusi tersebut para pelajar Gabon mendiskusikan pentingnya mempertahankan bahasa ibu dalam diaspora Gabon di Perancis. Saya sungguh tercengang mendapati kenyataan bahwa saat ini mereka tidak memiliki bahasa nasional. Semua kegiatan pendidikan dan administrasi pemerintahan dilakukan dalam bahasa Perancis, bahkan sekolah-sekolah negeri tidak mengajarkan bahasa daerah/lokal dalam kurikulumnya. Puncak keheranan saya adalah ketika dalam diskusi tersebut terungkap bahwa tidak lebih dari separuh peserta yang memahami dan mempraktekkan bahasa ibu mereka. Mayoritas dari peserta diskusi hanya menguasai satu bahasa yaitu bahasa Perancis. Sebagai gambaran, Gabon yang mendapatkan kemerdekaan dari Perancis pada tanggal 17 Agustus 1960 adalah salah satu negara di Afrika Tengah yang berlimpah dengan kekayaan alam terutama minyak bumi. Berbeda dengan bayangan mengenai negara-negara Afrika yang kering dan penuh konflik, Gabon memiliki alam yang indah khas khatulistiwa. Dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 1,6 juta jiwa dan GDP 16 000 USD pada tahun 2011 menjadikan Gabon negara yang memiliki indeks kesejahteraan paling tinggi di antara negara-negara Afrika Sub Sahara. Berkenaan dengan bahasa nasional, apa yang ada dalam diskusi tadi menambah kekaguman saya akan kejeniusan dan kerendahan hati para pemuda Indonesia yang ketika pada 28 Oktober 1928 mengikrarkan satu bahasa persatuan. Bangsa kita yang sangat besar, dengan ratusan bahasa ibu mampu memilih satu bahasa persatuan. Bandingkan dengan Gabon yang hanya berpenduduk 1,6 juta jiwa tetapi sampai saat ini tidak memiliki bahasa nasional. Dalam diskusi mengenai bahasa ibu tersebut terungkap beberapa sebab mengenai mulai tidak dikenalnya bahasa ibu mereka. Seperti akibat tidak dimasukkannya bahasa ibu (daerah) dalam pendidikan formal, perkawinan antar suku dan salah satu ukuran kemodernan bagi mereka adalah ketika dalam keseharian mereka berbahasa Perancis. Di Indonesia sendiri kita memiliki permasalahan dalam pelestarian bahasa ibu. Kementerian Pendidikan Nasional pernah memperkirakan bahwa dari 746 bahasa daerah di Indonesia kemungkinan akan tinggal 75. Penyebab utama punahnya bahasa-bahasa tersebut adalah urbanisasi dan perkawinan antar etnis. Ketika melihat generasi Indonesia pada tahun 1990 an, saya menemukan bahwa mulai banyak keluarga yang tidak mengajarkan bahasa ibu. Banyak hal yang menjadi alasan mengapa sebuah keluarga yang bahkan baik ayah dan ibu berasal dari satu suku dan tinggal daerah namun mereka hanya mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya. Hal tersebut sangat disayangkan karena salah satu warisan kekayaan Indonesia adalah bahasa dan budaya kita. Keragaman yang kita miliki telah mewarnai perjalanan hidup berbangsa di bumi nusantara ini. Begitu pula bahasa dan budaya yang menunjukkan jati diri bangsa Indonesia. Sungguh hal yang memprihatinkan jika pada suatu saat kita mengalami bahwa penutur bahasa ibu di Indonesia menjadi semakin berkurang. Hal yang sangat menyedihkan apabila suatu saat kita kehilangan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia ataupun sebagai salah satu suku bangsa di nusantara. Bagi saya yang lahir di pada tahun 1970 an, saya merasakan keuntungan bisa menguasai bahasa ibu (daerah) sekaligus bahasa Indonesia. Sebagai salah satu unsur budaya, bahasa dan sastra turut serta membentuk adat istiadat, tradisi, tata nilai dan juga cara berpikir yang kemudian dianut oleh seseorang. Salah satu arti penting pemahaman bahasa ibu sebagai pembentuk budaya adalah ketika orang tua menanamkan nilai-nilai dengan latar belakang budaya masing-masing, semisal melalui kisah-kisah rakyat. Maka nilai-nilai tersebut akan dipahami seutuhnya hanya apabila seseorang mengenal dengan baik bahasa dan budayanya. Sebagai contohnya, dalam sebuah cerita pewayangan, nilai budaya yang menjadi latar belakang dan logika berpikir salah satu tokoh tidak akan bisa dipahami seutuhnya apabila kisah tersebut disampaikan dalam bahasa Jerman. Pemahaman bahasa dan budaya mau tidak mau harus berangkat dalam keluarga. Ayah atau Ibu dalam suatu keluarga yang saat ini masih menuturkan bahasa ibu (daerah) memiliki kewajiban moral untuk mewariskan bahasa tersebut kepada anak-anaknya. Dalam dunia pendidikan nasional, sebenarnya pemerintah telah cukup mendukung penggunaan bahasa daerah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Namun demikian ada baiknya jika Kementerian Pendidikan Nasional harus menerapkan kewajiban kepada setiap pelajar di Indonesia untuk menguasai setidaknya satu bahasa daerah. Hal tersebut dimaksudkan agar bahasa daerah tidak punah. Menyadari pentingnya pelestarian bahasa ibu tersebut, UNESCO sebagai salah satu organ PBB telah mencanangkan setiap tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional, karena menurut UNESCO unsur terbesar dalam kebudayaan adalah bahasa sebagai penopang tradisi lisan yang dapat mentranformasikan kesejarahan, pengetahuan dan peradaban secara turun temurun. Walaupun telah ada upaya-upaya dari institusi dunia maupun negara, namun keluarga sebagai unit terkecil dalam suatu negara mau tidak mau harus menjadi ujung tombak pelestarian bahasa ibu agar kita tidak kehilangan jati diri yang pada akhirnya kita tercabut dari akar budaya nusantara yang adi luhung. Selamat hari bahasa ibu. ● |
Post a Comment