Kata-Kata Indah Menggugah

Kata-Kata Indah Menggugah

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
KATA KATA indah yang tercetus dari jiwa tulus dan diekspresikan dengan indah pasti menggugah. Politisi bijak menyadarinya. Namun, banyak juga yang tidak menyadari bahkan tidak peduli, sekalipun itu penting dalam hubungan dengan masyarakat. Perhatian mereka mungkin terfokus pada kepentingan politik praktis.

Sebenarnya kata-kata indah menggugah sejak lama dipilih dan digunakan para sastrawan di mana-mana, dengan tujuan lain. Para sastrawan mengutamakan ekspresi indah untuk melukiskan lagak-lagu kehidupan masyarakat dari tingkat bawah sampai atas, untuk sekadar mengurai kejadian-kejadian yang bisa berpengaruh atau bersinggungan dengan kehidupan pembaca. Tanpa tujuan atau niat terencana, ada pencerahan dan pembelajaran yang disampaikan. Apa manfaat akhirnya, pembacalah yang menentukan. Yang pasti, dengan ekspresi yang disusun dan disampaikan secara indah, pembaca menikmatinya.

Di Indonesia, jumlah sastrawan tidak terhitung banyaknya. Karya-karya sastra terhimpun sesuai dengan periodisasi. Menurut Ibu Simorangkir Simanjuntak, ada delapan periodisasi, yaitu ke susastraan masa lampau/purba, masa Hindu, masa Islam, masa Baru, masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, masa Balai Pustaka, masa Pujangga Baru, dan masa mutakhir sejak 1942 sampai sekarang (Angkatan 45, 50, 66, 70). Dengan membaca karya-karya itu, pembaca bisa merasakan dalam periode mana sastrawan-sastrawan itu berkarya. Pembaca bisa membayangkan bagaimana warna kehidupan masa itu. Masa Pujangga Lama, misalnya, antara lain bisa ditilik dari judul-judul karya sastra yang dibubuhi kata ‘hikayat’ (sejarah, roman fiktif) di depannya.

Masa Balai Pustaka memulai babak baru periodisasi. Dalam masa itu, bentuk syair dan hikayat mulai tergeser oleh novel, roman fiktif, cerita pendek, dan puisi yang diterbitkan Balai Pustaka. Setelah itu, datang masa Pujangga Baru. Dari masa Pujangga Baru, nama ataupun karyakarya sastrawan luar biasa Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dikenal umum, khususnya puluhan juta anak sekolah. Dalam novel Layar Terkembang (1936), misalnya, kita merasakan ada nuansa politik budaya ketika pemikiran baru, tidak tradisional, mulai menjangkiti tokoh-tokoh utama cerita. 

Pikiran modern mulai menyelip ke pemikiran tradisional. STA telah menulis sekitar enam novel, banyak kumpulan puisi, dan sejumlah buku tentang bahasa ataupun budaya. STA dikenal telah memodernisasi bahasa Indonesia sehingga menjadi bahasa nasional.

Penggemar sastra masa kini tentu lebih terbiasa menikmati karya-karya dari periode masa mutakhir, pascakemerdekaan. Masyarakat dapat merasakan sastra Indonesia berkembang pesat di masa ini. Karya-karya yang banyak berupa cerita pendek dan puisi, mencerminkan suasananya. Antara lain, ketika komunisme mulai dikenal masyarakat, muncullah sastrawan-sastrawan yang membawakan misi politik bernada realisme sosialis. Tokoh-tokoh penulis terkenal dari masa itu antara lain Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Mereka termasuk angkatan 1950-1960.

Angkatan 1970 dan Putu Wijaya

Tentu di luar kemampuan kami untuk mengupas kesusastraan Indonesia dan memaparkan semua sastrawan besarnya dalam kolom ini. Banyak yang mengagumkan, termasuk WS Rendra dan Goenawan Mohamad yang saya kenal pribadi. Rendra mendapat julukan `si Burung Merak', tapi saya menyebutnya `Burung Elang’ karena dia memandang orang dengan pandangan tajam, seakan menukik sanubari yang diajaknya bicara.

Begitu rupanya cara dia membaca isi hati manusia, untuk kemudian ditampilkan dalam puisinya. Goenawan Mohamad menciptakan kalimat-kalimat yang tajam menusuk, yang meluncur bak anak panah, sekaligus menjangkau makna luas. Kumpulan puisinya telah diterjemahkan ke dalam empat bahasa asing. Seperti angkatan mutakhir umumnya, karya-karya kedua sastrawan itu mengandung nuansa politik, bersifat sosial-politik, budaya, ataupun ekonomi.

Ciri yang tersebut terakhir itu juga ada pada karya-karya sastrawan Putu Wijaya. Putu pada April nanti genap berusia 70 tahun. Dia istimewa bagi kami. Dia sastrawan hebat yang meninggalkan rekam jejak di koran ini. Cikal bakal novel Putri ditulisnya di koran ini, yang kemudian melahirkan novel 1.000 halaman yang diterbitkan 2004. Keterkaitan Putu dengan koran ini bermula ketika lebih dari 10 tahun lalu pemimpin Media Group Surya Paloh ingin memperkaya koran ini dengan cerita bersambung. Pikiran saya langsung tertuju pada Putu.

Dia sastrawan besar yang menjiwai pers dari pengalaman kerja di Tempo. Dia memang memiliki pengalaman luas, antara lain dari pendidikan formal yang diperoleh di banyak tempat. Sampai selesai sekolah menengah dia menempuh pendidikan di Bali, kemudian pindah ke Yogyakarta (Fakultas Hukum UGM, ASRI, dan Asdrafi ), lalu ke LPPM di Jakarta. Dia bahkan tercatat sekolah di TK International Jokowi Ilahi Cahyanegara di Houston, Texas, AS (1953), dan International Writing Programme di Iowa, AS (1974). Dari berbagai pengalaman berkeliling ataupun pengalaman lain yang menyentuh nuraninya, dia menghasilkan 30 novel, 40 naskah drama, sekitar 1.000 cerpen, ratusan esai, artikel lepas, kritik drama, dan banyak skenario film dan sinetron.

Untuk karya-karyanya, I Gusti Ngurah Putu Wijaya, begitu nama lengkapnya, telah menerima lebih dari 20 tanda penghargaan, baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga seni budaya dan sastra, dalam dan luar negeri. Satyalencana Kebudayaan dari Presiden RI diterimanya pada 2004.

Rasanya tepat bahwa waktu itu kami meminta Putu menulis cerita bersambung di 
koran ini. Sikapnya yang ramah dan rendah hati, dan penuh empati, membuat kami tidak segan memintanya. Lahirlah Putri yang disampaikan sepenggal demi sepenggal di Media Indonesia. Putri memberikan wawasan kepada pembaca tentang apa yang sedang terjadi di panggung politik-ekonomi global sekarang ini, ketika ekonomi neoliberalisme berusaha merangkus ekonomi tradisional, yang di kita berlandaskan Pancasila. Sebagai akibatnya, terjadilah benturan nilai-nilai, tepat menggambarkan apa yang sedang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Dengan dibungkus dalam kata-kata dan kisah indah, Putri pasti menarik bagi pecinta karya sastra masa mutakhir.

Timbul pertanyaan, mungkinkah kita mengadakan rekayasa sosial lewat buah tangan para sastrawan masa kini?
Indeks Prestasi

Post a Comment