LupaSarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia |
KORAN SINDO, 23 Februari 2014
Kata seorang khotib dalam suatu khotbah Jumat, ”Lupa itu karunia Allah. Cobalah kalau kita tidak punya lupa. Maka segala sesuatu akan terus diingat, termasuk bagaimana rasanya ketika kita sakit atau bagaimana sedihnya ketika ada kerabat yang berpulang, bahkan betapa banyaknya utang yang belum kita bayar. Bisa-bisa kita tidak bisa tidur dibuatnya.” Saya pikir benar juga khotbah khotib itu. Tengok saja betapa banyak orang yang sangat berusaha untuk melupakan sesuatu. Seorang teman wanita sangat aktif dan ceria ketika sehari-hari bekerja di kantor, tetapi langsung depresi. Dia juga menangis sepanjang malam ketika tiba di rumah dan berbaring di kamarnya, sendirian, karena teringat usia sendiri yang sudah mendekati menopause, tetapi masih jomblo. Terbayang kawan-kawan kuliahnya dulu sudah punya anak-anak yang SMA. Dia ingin melupakan semua itu, tetapi tidak bisa sehingga dia kurang tidur. Berbagai cara orang ingin memperoleh lupa, kalau perlu konsultasi ke psikolog dan membayar mahal. Tapi sekarang sudah ada teknik yang lebih singkat dan murah: hipnosisme. Dengan hipnosis seseorang yang fobia pada kucing bisa tiba-tiba tidak lagi takut pada kucing dan berani menggendong kucing, Teknik hipnosis bisa mengamnesiakan (melupakan) suatu hal tertentu tanpa melupakan hal-hal yang lain. Sangat berbeda dari amnesia karena trauma kepala (kepala terbentur benda keras) atau karena dementia senilis atau yang dalam percakapan awam disebut faktor U (usia). Amnesia karena trauma kepala atau karena faktor U bisa mengosongkan sebagian besar atau bahkan seluruh isi ingatan. Bahkan namanya sendiri atau nama keluarganya, dia bisa lupa. Tapi yang paling jelek adalah kalau mencari lupa dengan cara mabuk-mabukan atau menyalahgunakan narkoba. Dipandang dari sudut dunia akhirat pasti salah, deh! Meski begitu, karunia Allah ini bisa juga mengganggu. Saya sendiri mulai suka lupa pada nama orang, termasuk orang yang tiap hari ketemu. Ketika akan menyebut namanya tiba-tiba nama itu hilang dari ingatan sehingga saya harus menanyakan kepada orang lain, ”Nama bapak itu siapa, ya?” Atau kalau orang itu mahasiswa saya, akan saya tanya langsung saja, ”Hei, namamu siapa?” Biasanya kalau yang bertanya seperti itu dosen yang rambutnya sudah putih-keperakan semua, mahasiswa tidak akan marah. Saya juga suka lupa pada kata-kata atau istilah-istilah, terutama dalam bahasa Inggris. Untung sekarang ada Google sehingga saya tidak perlu khawatir. Sewaktu-waktu saya lupa pada istilah, nama orang, nama tempat, atau peristiwa, tinggal search di Google, dalam beberapa detik sudah muncul jawabannya. Tapi lupa nama dan istilah ini tidak lama, nanti tiba-tiba yang barusan dilupakan itu bisa muncul sendiri dalam ingatan kita, terkadang hanya dalam hitungan detik. Bahkan sebelum orang yang saya tanya atau Google menjawab, hal yang ditanyakan itu sudah teringat lagi. Jenis lupa yang lain masih banyak. Ada yang permanen seperti kasus-kasus dementia senilis di atas, yang harus senilis sampai wafat sehingga ketika seorang mbah yang baru wafat ditanya malaikat di dalam kubur, ”Tanggal berapa dan jam berapa kamu meninggal dunia,” almarhum mbah ini tidak bisa menjawab karena lupa. Ada juga yang temporer seperti seorang profesor yang sering marah-marah mencari kacamatanya, padahal benda itu dari tadi sudah nangkring di atas kepalanya dan beliau sendiri yang meletakkannya di situ. Namun, yang paling aneh adalah penduduk dan pemerintah Jakarta yang selalu lupa bahwa mereka pernah kebanjiran tahun yang lalu dan tahun yang lalunya lagi dan tahun yang lalunya lagi dan seterusnya. Begitu banjir surut, langsung lupa bahwa selama sebulan terakhir rumahnya terserang banjir beberapa kali, mengungsi, makan jatah bantuan masyarakat, buang air ditahantahan dan kalau sudah tak tahan dibuang saja di manamana. Diungsikan dengan perahu karet. Basah. Listrik mati dan sebagainya. Semuanya lupa. Nanti ingat lagi kalau sudah banjir lagi. Itulah sebabnya kita di DKI selalu mengalami masalah yang sama dari tahun ke tahun. Itulah sebabnya bangsa ini mengulangi KKN yang dulu marak di era Suharto, bahkan makin dahsyat. Kita tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu. Dalam bahasa Bung Karno, kita ini cepat sekali melupakan sejarah, padahal kata beliau, ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (jasmerah).” Dalam bahasa psikoanalisis, lupa itu adalah salah satu bentuk defense mechanism (mekanisme pertahanan diri) dari ego (aku, kesadaran) seseorang. Ego tidak senang pada pengalaman-pengalaman pahit, kisah-kisah duka, dan trauma-trauma masa lalu yang pernah dialami. Maka hal-hal yang tidak dikehendaki itu ditekan kuat-kuat sehingga masuk ke dalam alam ketidaksadaran. Dalam teori stress solution dari Lazarus, kecenderungan untuk lupa adalah salah satu bentuk dari reaksi emosional (tidak senang, maka kita menghindar saja) ketika kita mengalami stres. Padahal ada reaksi lain yang lebih cerdas, yaitu reaksi problem solving, yaitu kita tidak perlu cemas atau takut, kita hadapi saja masalahnya dan apa yang menjadi masalah kita selesaikan satu per satu sehingga masalah itu teratasi sampai tuntas sehingga banjir akan lenyap dari Jakarta dan KKN lenyap dari bumi Indonesia. Sikap berani menghadapi masalah dan langsung memecahkannya itulah yang masih sangat kurang di masyarakat bangsa Indonesia. Kita lebih senang ngomongin masalah sampai berbusa-busa sambil menyalah- nyalahkan orang lain atau sekadar hepi-hepi saja daripada bersusah-payah menyelesaikan masalah. Karena itu kita bukan hanya terus membuang kasur bekas ke kali sehingga membuntukan saluran air, tetapi juga sengaja tidak peduli pada jasmerah. ● |
Post a Comment