Mas Itok dan Pejabat LainMoh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi |
KORAN SINDO, 22 Februari 2014
Berita itu sungguh mengejutkan. Anggito Abimanyu, guru besar Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, menyatakan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru besar di UGM. Berita itu saya baca melalui SMS dan Twitter, saat saya sedang duduk di Kereta Api Cirebon Ekspres, dari Jakarta menuju Cirebon, Senin sore, awal pekan ini. Sangat mengejutkan karena mundurnya Anggito itu bukan lantaran kesibukannya sebagai direktur jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Kementerian Agama, melainkan karena plagiarisme. Ya, Anggito Abimanyu menyatakan mundur dari UGM sebagai pertanggungjawaban moralnya setelah diketahui dan menyadari dirinya melakukan plagiarisme, yakni memublikasikan tulisan orang lain di media massa nasional yang dijadikannya sebagai tulisannya sendiri. Saya sangat terkejut karena saya mengenal Anggito sebagai kolega saya di UGM sejak lama. Saya dan kawan-kawan memanggilnya Mas Itok. Dia dikenal sebagai intelektual yang sangat populer, cerdas, dan berintegritas. Menjelang reformasi tahun 1998, saya sering bertemu dalam berbagai forum ilmiah dengan Anggito. Dia ikut aktif dalam diskusi-diskusi menjelang dan awal-awal reformasi. Saya sangat mengagumi kecerdasan, kebersahabatan, dan sikapnya yang antikorupsi. Orangnya supel, sopan, dan tawadhu’. Tiba-tiba dia diberitakan mundur karena plagiarisme. Saya shocked. Saya minta Asmai Ishak, direktur International Program di UII Yogya, untuk mengecek, apa benar yang diberitakan itu Anggito yang kita kenal. Ternyata benar. Saya sedih, tetapi juga sedikit bangga. Sedih karena dunia akademik kembali tercoreng oleh plagiarisme, apalagi oleh orang yang secara akademis dibanggakan orang banyak. Harus saya akui untuk menaikkan gengsi di dunia akademik saya sering menyebut diri sebagai kawan dari orang-orang yang punya reputasi tinggi di dunia akademik, antara lain Anggito Abimanyu itu. Tapi ternyata Mas Itok terperangkap dalam plagiarisme. Untuk apa itu Anda lakukan, Mas Itok? Meski begitu, ada sedikit kebanggaan di hati karena Mas Itok tidak berkilah dengan alasan yang dicari-cari. Dia langsung mengakui kesalahannya dan menyatakan mundur sebagai guru besar dari UGM. Dengan begitu, di lubuk hatinya yang dalam, Mas Itok masih menjaga kesucian dunia akademik. Di dunia perguruan tinggi, plagiarisme menjadi semacam penyakit yang menjijikkan, seperti penyakit kusta yang penderitanya harus dijauhi. Itulah sebabnya banyak akademisi yang menjadi sangat malu, runtuh martabatnya, saat diketahui telah melakukan plagiarisme. Di Bandung, beberapa waktu yang lalu ada dosen yang dicopot dari jabatan guru besarnya karena memublikasikan karya orang lain yang diklaim sebagai karyanya sendiri. Jauh sebelum itu ada ijazah doktor yang juga dicabut dari seseorang yang ketahuan melakukan plagiarisme. Ada juga seorang calon doktor yang hanya tinggal selangkah menjadi doktor terpaksa harus angkat kaki alias dipecat karena plagiarisme. Bahkan, beberapa waktu yang lalu seorang menteri pertahanan dari sebuah negara besar di Eropa mengundurkan diri setelah dewan akademik menemukan sebagian isi disertasinya mengutip karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Plagiarisme sampai sekarang dianggap penyakit yang menjijikkan di dunia akademis. Begitu seseorang ketahuan melakukan plagiarisme atau pelacuran intelektual, rohnya sebagai akademisi pasti habis dan di kampus takkan berharga lagi. Menurut saya, orang yang melakukan plagiarisme berarti orang yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Orang yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri pastilah tidak jujur terhadap masyarakat sehingga tidak layak ikut mengurus kepentingan masyarakat. Saya berpendapat, orang yang berani melakukan plagiarisme atau pelacuran intelektual akan berani melakukan korupsi. Belakangan ini muncul gejala penodaan terhadap dunia akademik dalam corak yang mirip dengan plagiarisme atau bentuk pelacuran intelektual lainnya. Banyak orang, termasuk para pejabat, yang tergila-gila pada gelar doktor sehingga menulis disertasinya tanpa standar dan prosedur akademik yang benar. Ada yang menjiplak karya orang lain dengan hanya mengganti nama objek penelitian. Ada pejabat yang mengikuti program doktor secara instan tanpa ikut perkuliahan atau penelitian yang sungguh-sungguh. Ada juga pejabat yang disertasinya dibuat asal-asalan dan promotornya meloloskan hanya karena dia pejabat. Bahkan, ada juga pejabat yang disertasinya dituliskan oleh staf khususnya atau oleh kepala bagian penerbitan di kantornya. Celakanya, banyak dosen di perguruan tinggi yang mengistimewakan pelayanan akademis terhadap mahasiswa kelas eksekutif yang dibuka khusus untuk pejabat. Kalau para pejabat yang datang berkonsultasi atau mau kuliah langsung dilayani dengan segala kehormatan, tapi kalau yang mau berkonsultasi mahasiswa reguler tidak diacuhkan; sang dosen pun sering bolos dari jadwal kuliah di kelas reguler. Mungkin tak salah kalau ada yang berpikir, maraknya kesewenang-wenangan dan korupsi di negeri ini karena di perguruan tinggi banyak plagiarisme dan pelacuran intelektual. Banyak pejabat yang lahir dari plagiarisme dan proses akademis yang menipu. Pikiran seperti ini bisa benar, sebab plagiarisme dan pelacuran intelektual itu adalah ketidakjujuran pada diri sendiri; sedangkan orang yang tak jujur pada dirinya sendiri tentulah tak takut untuk tak jujur kepada rakyat sehingga mudah melakukan korupsi dan berbagai kolusi. ● |
Post a Comment