Masa Depan Industri GulaAdig Suwandi ; Praktisi Agribisnis; Senior Advisor Asosiasi Gula Indonesia |
KOMPAS, 17 Februari 2014
APAKAH gula masih merupakan komoditas strategis dalam ekonomi pangan Indonesia untuk periode 5-10 tahun mendatang? Pertanyaan tersebut muncul secara spontan setelah menyiasati kenyataan faktual minimnya tingkat kesiapan industri gula nasional saat merespons datangnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang berlaku efektif 31 Desember 2015. Desakan Thailand agar Indonesia meliberalisasikan pasar gula makin mengemuka sehingga memerlukan pemikiran komprehensif ihwal langkah konkret yang mesti dilakukan meskipun bisa saja perlindungan untuk petani melalui pemberlakuan tarif bea masuk maksimal 5 persen masih dimungkinkan. Industri gula mencatat perjalanan sangat panjang, tetapi tidak mungkin bagi kita kembali ke masa lalu. Selain lanskap bisnis telah mengalami perubahan secara frontal, juga arsitektur kebijakan publik untuk menopang bekerjanya sistem tak lagi sebangun. Satu keniscayaan di masa mendatang adalah gelombang liberalisasi perdagangan yang bakal menyapu semua sistem ekonomi dunia. Akan sangat bergantung pada negara apakah gula harus diproduksi di dalam negeri dengan segala konsekuensinya ataukah cukup membeli dari pasar global, plus berbagai kemungkinan harga berfluktuasi. Komitmen mengembangkan kompetensi industri gula sendiri sangat dipengaruhi opsi tersebut. Persepsi seputar eksistensi tebu rakyat sebagai pemasok bahan baku menjadi kata kunci. Berbagai upaya telah dilakukan terkait peningkatan daya saing dan komitmen mewujudkan swasembada gula, baik dari sisi budidaya, pabrik, maupun tata niaga. Sayang semuanya tenggelam ditelan prahara perubahan iklim, yang merontokkan produksi dan ketidaksesuaian harga antara keinginan petani dan realitas terbentuknya sesuai mekanisme pasar. Produksi gula yang sudah berada di titik nadir pada posisi 1,67 juta ton (1999) kembali terangkat menjadi 2,66 juta ton (2008). Namun, setelah periode tersebut, anjlok kembali hingga 2,19 juta ton (2010) dan naik lagi ke posisi 2,66 juta ton (2013). Angka-angka tersebut menggambarkan kapabilitas industri gula, sekaligus dukungan petani dalam menyediakan gula untuk konsumsi langsung, belum terwujud sesuai desain berikut ragam kompleksitas pada tataran eksekusi. Di luar domain tadi, industri gula rafinasi berbahan baku gula kristal mentah impor terus melaju. Konflik tak terhindarkan ketika diketahui sebagian gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk melayani segmen industri makanan/minuman masuk ke pasar eceran, dengan harga jauh lebih murah, menstimulasi rontoknya harga gula lokal. Problematika yang selalu berulang terjadi setiap tahun tampaknya sengaja dibiarkan, khususnya jika muncul prediksi produksi gula lokal di bawah kebutuhan. Aturan yang banyak merujuk pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 527/MPP/Kpts/9/2003 menjadi makin tidak jelas, cenderung dilanggar, dan lemah dalam pengawasan. Kondisi tersebut diperparah banyaknya permintaan impor dan gula rafinasi bagi kawasan tertentu. Murahnya harga gula dunia makin menyulitkan posisi Indonesia dalam mendorong animo petani dan industri gula melakukan revitalisasi yang bermuara peningkatan efisiensi input produksi dan penurunan harga pokok (unit cost). Makin tak berdaya Ketidakberdayaan industri gula diperburuk oleh makin ketatnya penggunaan lahan sawah berpengairan teknis di Jawa. Selain konversi dan tingginya kompetisi dengan komoditas agribisnis lain, nilai sewa makin mahal, dan kelangkaan tenaga kerja menjadi hambatan struktural peningkatan daya saing. Inilah yang mendasari pemikiran apakah industri gula di Jawa masih diharapkan tetap beroperasi seluruhnya atau hanya sebagian dengan tahapan pengalihannya ke luar Jawa secara terprogram. Jika pilihan itu dilakukan, tentu amalgamasi dan peningkatan kinerja pabrik yang masih mungkin harus dilakukan secara simultan, diawali dari kajian kelayakannya sambil menyiapkan pembangunan pabrik baru secara terintegrasi di luar Jawa. Tentu, kalau direlokasi ke luar Jawa, negara wajib menjamin tersedianya lahan bebas permasalahan dan dukungan infrastruktur fisik. Persoalan klasik tak mudahnya mencari lahan pengembangan industri gula tidak bisa dibebankan kepada investor. Kemungkinan luputnya rencana swasembada gula dewasa ini antara lain juga akibat tidak tersedianya lahan bukaan baru seluas 350.000 hektar sebagaimana yang diproyeksikan. Kebijakan tentang industri gula rafinasi juga harus tegas: apakah berdiri sendiri (stand alone) dengan mengandalkan impor seperti sekarang ataukah terintegrasi dengan kebun tebu. Kita bisa belajar juga dari Uni Emirat Arab, Korea Selatan, dan Malaysia yang membangunnya secara stand alone. Kalau pilihan dimaksud ditindaklanjuti, hasil pengolahan raw sugar berupa gula rafinasi harus masuk ke segmen pasar industri makanan/minuman dan ekspor, tidak ada lagi yang merembes ke pasar eceran. Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan kebun tebu, bisa saja pabrik yang ada sekarang direlokasi atau dibangun pabrik baru di dekat kebun dengan hasil olahan berupa raw sugar, kemudian dibawa ke existing pabrik. Semua pihak hendaknya melihat persoalan gula secara realistis dan tidak terjebak dalam kepentingan sesaat. Alam Indonesia menyediakan keunggulan kompetitif bagi pengembangan industri gula berdaya saing kuat. Fluktuasi harga komoditas di pasar global yang berpotensi menyeret pembengkakan defisit transaksi berjalan hanya dapat diatasi dengan keseriusan mereduksi impor pangan, termasuk gula. Swasembada gula juga jelas bukan sekadar persoalan prestise, melainkan lebih dari itu, upaya merekonstruksi arah perwujudan kedaulatan pangan secara terstruktur, apalagi dari tebu dapat dikembangkan beragam produk bernilai tambah tinggi, termasuk biofuel. Tidak ada alasan untuk mengabaikan pengembangan industri gula di bumi Indonesia. Namun, harus muncul kesadaran kolektif, untuk sampai ke sana diperlukan sebuah kebijakan pergulaan terintegrasi. Konsekuensi logisnya, sejumlah kebijakan kontraproduktif dan bertentangan dengan semangat pemberdayaan industri domestik mesti direvisi. ● |
Post a Comment