Menandingi Budaya Korupsi Aminuddin ; Staf Peneliti Sosial Politik Bulaksumur Empat , Yogyakarta |
HALUAN, 22 Februari 2014
Korupsi bukan lagi kata asing di masyarakat negeri ini. Ini terjadi karena hampir setiap hari media disibukkan dengan pemberitaan korupsi. Ini jelas menjadi fenomena memprihatinkan bagi bangsa ini. Bangsa yang luhur, beretika, bermoral ketimuran kini mulai luntur seiring menghegimoninya praktik korupsi. Memasuki pergantian tahun baru 2014, masyarakat Indonesia dihadiahi kado pahit dengan ditahannya Anas Urbaningrum. Ini jelas menjadi awal yang baik dalam memberantas korupsi. Bangsa Indonesia masih punya rasa optimis terhadap pemberantasan korupsi. Korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai perilaku menyimpang individu atau pun orang per orang. Melainkan sudah menggejala ke berbagai institusi, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif hanya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Tindakan Korupsi di sini dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Selain itu tindakan korupsi tersebut juga dapat diartikan sebagai pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott; 1985). Korupsi yang sudah menyebar luas ke berbagai daerah di negeri ini menunjukkan bahwa belum ada obat yang mampu menangkalnya. Ini dibuktikan dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sepanjang tahun 2004 hingga 2012, tercatat 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. Kasus korupsi merupakan kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, terdapat 155 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Angka tersebut jelas menjadi pukulan telak bagi kita semua. Sekali lagi kita harus menelan pil pahit atas apa yang terjadi terhadap wakil rakyat. Anehnya lagi, para pejabat yang tersangkut korupsi masih bisa tersenyum seolah-olah tidak ada beban moral yang dipikulnya. Hal itu mungkin dapat dimaklumi mengingat mereka setelah keluar dari jeruji besi masih bisa menikmati uang haram yang dirampasnya. Harta yang di korupsinya masih bisa dinikmati bersama keluarganya. Memang benar adanya ketika memerangi korupsi, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan hukum. Ini sangat dibenarkan mengingat negara kita adalah negara hukum. Namun, hukum masih saja dicari kelemahannya untuk lepas dari jeratan hukum. Penafsiran bahasa hukum pun didefinisikan dengan berbeda-beda sehingga bahasa hukum terkesan disesatkan. Ini tidak lepas dari banyaknya para penyelenggara negara yang tersandera korupsi sehingga sengaja menyembunyikan amunisi perkara hukumnya. Tidak heran jika transaksi dan negosiasi hukum masih marak terjadi. Sebagaimana para pejabat yang tersandera korupsi, itu berawal dari krisis moral dan etika. Krisis moral para pemimpin menuntunnya kepada praktik-praktik yang diharamkan oleh hukum maupun agama. Jabatan yang di embannya dijadikan ladang untuk mengeruk uang negara. Pada akhirnya, ada suatu ketimpangan dalam menjalankan proses kepemimpinan. Hak-hak rakyat kecil tergadaikan, sementara kepentingan individu dan kelompoknya dinomorsatukan. Dan kepentingan rakyat dinomor sekiankan. Negeri surga koruptor, mungkin adagium ini benar adanya mengingat kasus korupsi masih belum bisa terselesaikan. Hukum sebagai panglima masih saja jauh dari harapan. Jika memang hukum dijalankan sesuai dengan kaidahnya, tidak akan ada praktik-praktik korupsi, kolusi maupun nepotisme tumbuh subur. Namun permasalahannya adalah para penegak hukumnya sendiri masih saja bermain-main. Di sinilah letak permasalahannya. Para penegak hukum masih saja bermain mata dengan para pelanggar hukum. Hukum dijadikan alat barter untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Core hukum tidak lagi dikedepankan. Akibatnya, timbul gejala pesimisme dari publik terhadap penegak hukum. Dari sini dimulai bangunan kekhawatiran supremasi dan kedaulatan hukum semakin terancam. Sejatinya, masih banyak penegak hukum yang masih mempunyai moral dan etika yang mampu menerjemahkan hukum sebagaimana mestinya. Namun yang menjadi problema adalah tidak mampunya mereka dalam menembus birokrasi untuk menegakkan hukum. Di lain pihak, mereka memang sengaja disingkirkan dan diasingkan agar para pelanggar hukum tidak terbongkar. Maka, timbullah kepincangan dalam membangun kedaulatan dan keadilan hukum di negeri ini. Terlepas dari itu semua, semestinya para politisi dan penegak hukum harus merekonstruksi moral dan etikanya untuk membangun bangsa ini. Ada beberapa tawaran untuk menandingi budaya korupsi yang marak terjadi dewasa ini. Pertama adalah membangun moral para politisi penegak hukum. Itu mungkin sulit tercapai mengingat mereka sudah digerogoti oleh nafsu keserakahan. Namun apa boleh buat, ini masih bisa dilakukan jika memang mereka punya kesadaran untuk memajukan negeri ini. Kedua, membangun budaya struktural terkait dengan etika dan moral. Disini partai politik dinantikan perannya. Artinya, partai politik harus mempunyai kriteria untuk menyaring kader-kader yang akan masuk ke partai politiknya. Jika menemukan kader-kader yang berpotensi melakukan tindakan korupsi, maka diberhentikan. Jika memang perlu bisa saja di-black list untuk tidak menjadi kader partai politik bersangkutan selamanya. Sebenarnya, praktik seperti itu hampir sama dengan kasus yang melanda Djoko Susilo dimana dia divonis tidak ikut serta lagi dalam proses politik, baik sebagai pemilih maupun dipilih. Tidak ada salahnya jika hal itu dipraktikkan dalam organisasi maupun partai politik. Tawaran ketiga adalah membangun budaya kultural. Artinya, pemerintah dan masyarakat melembagakan budaya anti korupsi dari aras lokal. Pemerintah dapat memulai dengan memasukkan pelajaran wajib anti korupsi bagi anak didik sedini mungkin. Sedangkan masyarakat dapat melakukannya dengan memperkenalkan budaya kejujuran di lingkungan keluarga, dan masyarakat sekitar. ● |
Post a Comment