Orang Jawa Melihat Gunung KeludBambang Pranowo ; Guru Besar Sosiologi Agama di UIN Ciputat/Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten |
KORAN SINDO, 21 Februari 2014
Meletusnya Gunung Kelud (yang terletak di perbatasan Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang) yang dahsyat dan menimbulkan bencana hujan abu di hampir seluruh Pulau Jawa (Kamis, 13/2/14), bagi orang Jawa yang berbudaya tradisional tak lepas dari mitologi dan legenda yang melatarbelakangi keberadaan gunung tersebut. Bagi orang Jawa tradisional, khususnya yang tinggal di sekitar Kelud, ia tak hanya merupakan entitas gunung yang muncul akibat tekanan magma dari dalam bumi ring of fire, tapi juga entitas yang hidup yang selalu menunjukkan siapa dirinya dan menjaga eksistensinya. Bagi orangJawa, keberadaan mitologi dan legenda gunung merupakan symbol kultural yang melekat dalam tradisi kehidupannya. Mitos dan legenda telah memperkaya khasanah tradisi kehidupan orang Jawa sehingga banyak memunculkan kearifan lokal yang berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan serta mewaspadai setiap gejala anomalis yang muncul di alam sekitarnya. Hal ini terjadi karena kebudayaan tradisional—pinjam pendapat Redfield—akan hadir di tengah kelompok orangorang yang menjalani kehidupan dengan latar belakang mitologi dan legenda di sekitarnya. Dengan demikian, mitologi dan legenda adalah bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan peradaban manusia, sejak zaman tradisional sampai zaman modern. Di Jawa Tengah, misalnya, mitologi Gunung Merapi yang dikaitkan dengan Kerajaan Mataram hingga Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sampai saat ini masih kental dalam tradisi masyarakat tradisional di Kesultanan tersebut. Mitologi kesinambungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gunung Merapi misalnya, terlihat pada “jalan poros pandang” dari keraton melalui Jalan Malioboro, Mangkubumi, dan seterusnya yang membujur dari selatan-utara menuju Gunung Merapi. Tanpa kesinambungan Keraton- Gunung Merapi, eksistensi kesultanan kehilangan pamor dan wibawanya yang penuh mitologi dan legenda. Keduanya merupakan dua faktor penting dalam “pembentukan Kerajaan Jawa” tempo dulu. Ini terjadi karena gunung dalam mitologi Jawa adalah “paku buwono” ataupakubumi. Karena itu, banyak raja Mataram yang mendaulat namanya dengan gelar Paku Buwono. Gunung Kelud juga tak lepas dari mitologi yang mengiringi keberadaannya. Meletusnya Gunung Kelud merupakan bentuk “kemarahannya” terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya. Munculnya kawah Gunug Kelud misalnya, dipercayai orang Jawa tradisional sebagai “tragedi” pengkhianatan cinta. Menurut legenda dan kitab Pararatonyang diceritakan turun-temurun masyarakat tradisional sekitar Gunung Kelud, fenomena meletusnya gunung tersebut adalah akibat perbuatan Putri dari Kerajaan Jenggala (meliputi daerahKediri, Blitar, danTulungagung) yang bernama Dewi Kili Suci. Sang Dewi yang amat cantik ini, konon, dilamar dua raja siluman sakti bernama Mahesa Suro (manusia berkepala kerbau) dan Lembu Suro (berkepala sapi). Tentu saja Sang Dewi tak bisa menolak lamaran kedua raja itu. Namun, gadis cantik ini punya akal agar tak bisa dinikahi kedua raja siluman tersebut. Ia menerima pinangan keduanya asal memenuhi sarat yang dimintanya; yaitu kedua raja harus membuat sumur di puncak Gunung Kelud. Sumurnya yang pertama harus berbau amis dan kedua berbau wangi. Batas waktunya hanya satu malam, mulai terbenam matahari sampai ayam berkokok. Merasa punya kesaktian yang hebat, kedua raja siluman tersebut siap memenuhi sarat sang dewi. Keduanya membuat sumur yang diminta. Tapi ketika kedua raja siluman itu berada di dasar sumur, Sang Putri Raja Jenggala memerintahkan prajurit kerajaan untuk menutup sumur itu dengan batu-batuan. Akibatnya kedua raja siluman itu pun tewas. Tapi sebelum mengembuskan napas terakhir, Lembu Suro bersumpah akan membalas dendam. Suatu ketika ia akan keluar sumur dan menyebarkan api dan batu. Lembu Suro menyatakan: ”Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung.” (Ya, Kerajaan Jenggala di Kediri akan menerima balasanku. Kediri akan jadi sungai, Blitar jadi daratan, dan Tulungagung jadi danau). Untuk meredam kemarahan (menolak bala) Lembu Suro, tiap tanggal 23 Suro (awal tahun kalender Jawa), masyarakat tradisional sekitar Kelud melakukan ritual melarung sesajen di kawah Gunung Kelud tersebut. Salah satu sarat utama dalam larung sesajen itu, antara lain, ada jenang (dodol) sengkala. Sarat ini pernah dilanggar pada 2007. Akibatnya, menurut penduduk setempat, Gunung Kelud marah dan meletus. Danau di kawah Gunung Kelud juga berubah warnanya, dari hijau menjadi hitam. Dan akhirnya, kawah yang berisi air itu hilang dan berganti kawah yang berisi kerikil. Selain itu, kata masyarakat sekitar, Gunung Kelud selalu meletus pada hari pasaran Wage atau hari keempat dalam penanggalan Jawa. Letusan Gunung Kelud hari Kamis malam (13/2) lalu, misalnya, dalam kalender Jawa sudah masuk dalam Jumat Wage. Orang Jawa percaya setiap Gunung Kelud meletus, niscaya ada peristiwa besar di Jawa (sekarang pengertiannya peristiwa nasional). Letusan Kelud pada tahun 1951, misalnya, memperingatkan adanya peristiwa nasional “pemberontakan PKI” di Madiun. Lalu letusan tahun 1966, memberikan “informasi” adanya perubahan besar-besaran dalam pemerintahan, dari Orde Lama ke Orde Baru. Sedangkan letusan tahun 2014, dua bulan menjelang pemilu, tampaknya mengindikasikan adanya “suatu perubahan” radikal lagi dalam sistem pemerintahan mendatang pasca-SBY. Orang Jawa tradisional yang hidupnya akrab dengan simbol-simbol tersebut, niscaya mempercayai akan ada peristiwa besar di tahun 2014 dan seterusnya—bukan sekadar adanya pemilu dan pilpres, tapi ada peristiwa lain yang mengguncangkan jagat Indonesia. Peristiwa apakah itu? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu! Namun satu hal jelas, mitosmitos yang—menurut Van Peursen—tidak rasional dan tidak ilmiah itu kini sedang “dibangun” dunia perpolitikan nasional. Para pendukung calon-calon presiden tertentu, misalnya, sedang berusaha membangun mitologi untuk memasarkan capres pilihannya. Mampukah mitologi yang tumbuh di masyarakat tradisional dimodifikasi untuk masyarakat modern? Berhasilkah para pendukung caprescapres tertentu yang memitoskan calon presiden pilihannya di era cybermatika saat ini? Letusan Gunung Kelud kali ini boleh jadi justru akan membongkar mitos-mitos orang besar yang kini tengah dilegendakan para pengikutnya. Seperti halnya nama “Kelud” yang dalam bahasa Jawa berarti “sapu yang digunakan untuk pembersih tempat tidur, meja, dan kursi”—maka meletusnya Gunung Kelud ini, papar seorang ahli Javanologi, juga dalam rangka “pembersihan meja dan kursi kekuasaan”. Pimpinan partai antikorupsi yang ternyata korup dan dipenjara sudah cukup membuktikan bahwa mitologisasi di era modern, jika “substansinya” buruk dan tidak sesuai dengan tema mitologinya, niscaya akan gagal. Sebaliknya orang baik, jujur, dan bersih mitologisasinya akan berjalan dengan sendirinya. Alam yang akan memitoskannya, tanpa rekayasa dan tanpa politik transaksional! ● |
Post a Comment