Pemilu Legislatif dan KeagenanHerry Tjahjono ; Terapis Budaya Perusahaan |
KOMPAS, 24 Februari 2014
PEMILU 2014 untuk badan legislatif dan presiden sudah di depan mata. Bangsa ini tak lama lagi segera memilih para pemimpinnya. Kepada para pemimpin itu, rakyat hendak menitipkan kuasanya. Namun, pengalaman sejak era Reformasi bergulir sampai sekarang, bangsa ini lebih sering terpeleset dalam menitipkan kuasanya. Tingkat keterpelesetan itu sedemikian besar sehingga kita tidak mendapatkan para pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang diharapkan, tetapi para pemimpin yang hanya memiliki keagenan (dealership) yang memprihatinkan. Keagenan secara kontekstual ternyata memang berhubungan dengan kepemimpinan. Namun, ini bukan cuma soal otak-atik kata pemimpin menjadi agen. Secara substansial memang bisa dianalisis: pemimpin yang tak mau dan tak mampu menunjukkan tipikal (dan kualitas) kepemimpinannya, maka ia hanya akan menjadi pemimpin dengan tipikal (dan kualitas) agen. Berikut akan diuraikan beda keduanya sehingga kita bisa melihat dengan jelas bahwa selama ini kita hanya dipimpin oleh pemimpin tipikal agen yang menyedihkan. Menjual kekuasaan Secara semantik, dealership is an authorized seller – seseorang atau badan yang mendapat otorisasi untuk mendistribusikan atau menjual barang/jasa di daerah tertentu. Pengertian ”dagang atau bisnis” itulah yang terjadi pada para pemimpin bangsa selama ini. Mereka menerima otorisasi kekuasaan dari rakyat pemilihnya dan mereka menjual kekuasaan itu seenaknya. Keagenan para pemimpin itu mengejawantah dalam beberapa gejala kekuasaan berikut. Pertama, filosofi kepemimpinan para pemimpin dengan tipikal agen dimulai dengan pertanyaan kepemimpinan: ”apa untungnya buat saya?”; ”apa manfaatnya buat saya?” Konsekuensinya ialah yang kedua berikut ini. Kedua, mereka akan memimpin dengan prinsip kerja transaksional! Semuanya dijalankan berdasarkan transaksi tertentu yang tujuannya jelas: ambil untung bagi diri sendiri. Prinsip kerja ini bahkan memelesetkan makna hidup, bahwa kehidupan, pekerjaan, mandat justru harus bisa memberikan makna (manfaat) bagi dirinya selaku pemimpin. Itu sebabnya, para pemimpin yang berkualitas agen ini tak lebih dari parasit kehidupan. Berbagai kasus korupsi para pemimpin, penyelewengan kekuasaan, ketidakmampuan memimpin, adalah refleksi dari para pemimpin yang bersifat agen, yang orientasi kepemimpinannya hanya pada kepentingan diri sendiri. Ketiga, hatinya dipenuhi kepalsuan! Mengadaptasi pemikiran H Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, dalam pemaparannya (Beberapa Prinsip Dasar Kepemimpinan), bahwa pemimpin yang menjalankan peran sebagai broker (baca: agen) hanya dipenuhi oleh kepalsuan. Dengan gamblang kita bisa menatap dan sekaligus merasakan demikian banyak pemimpin berhati palsu yang hanya bisa berkoar-koar, cari muka, penuh janji tak berdasar, omong doang, mengumbar pencitraan, populis di berbagai pemberitaan cetak maupun televisi. Keempat, akibat dari kepalsuan hati itu, para pemimpin tipikal agen selalu memerlukan sistem pengawasan sebab jika tidak, dia semakin liar dan membabi buta menjalankan peran brokernya, menjual habis kekuasaan yang dititipkan rakyat kepadanya. Itu yang terjadi di negeri ini. Itu sebabnya, KPK didirikan. Namun, jika mayoritas pemimpin kita bertipikal agen, berapa banyak badan pengawasan harus didirikan. Betapa tak efisien republik ini dijalankan. Tak boleh lagi Di sisi lain, Pemilu 2014 jelas tak boleh lagi menghasilkan output pemimpin dengan tipikal agen seperti selama ini. Untuk itu, kita perlu sekali lagi menyegarkan batin kita tentang perlunya kita memilih pemimpin yang memang memiliki tipikal ”pemimpin” dengan gejala kekuasaan berikut. Pertama, filosofi kepemimpinan para pemimpin dengan tipikal pemimpin dimulai dengan pertanyaan kepemimpinan: ”apa yang bisa kuberikan (bagi negaraku)?; apa yang bisa kulakukan (bagi negeriku)?” (John F Kennedy). Maka, konsekuensinya yang kedua berikut ini. Kedua, para pemimpin dengan tipikal pemimpin akan memberi makna kekuasaan yang dipercayakan sebagai amanah. Dengan demikian, mereka akan memimpin dengan prinsip transendental. Mereka bahkan bukan memimpin ”hanya” untuk kemaslahatan bangsa, rakyat, dan negara, melainkan demi memuliakan Tuhan. Semua kemaslahatan yang terjadi sebagai output tak lebih dari konsekuensi logis dari upaya kepemimpinannya memuliakan Tuhan. Maka, mereka memimpin sama sekali bukan untuk mengeruk untung, melainkan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi yang dipimpinnya dan, dengan demikian, Tuhan akan dimuliakan melalui kepemimpinannya. Mereka memberi makna pada kehidupan dan kepemimpinannya. Mereka bukan parasit, melainkan sumber. Ketiga, hatinya dipenuhi ketulusan (keikhlasan). Mereka bukan broker atau agen yang memperdagangkan atau menjual kekuasaan. Mereka memperlakukan diri sebagai pembawa kekuasaan, pembawa amanah, dan karena itu mereka memanfaatkan kekuasaan itu untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Dalam bahasa kepemimpinan, mereka mentransformasikan kekuasaan agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi yang dipimpin. Keempat, ketulusan hati dalam memimpin itu tak terlalu memerlukan lagi sistem pengawasan—sebab para pemimpin tipikal pemimpin yang transendental ini takut akan pencipta-Nya. Ketakutan itu membuatnya selalu yakin, ada mata tak kasatmata yang selalu mengawasi kepemimpinannya. Itu sebabnya, para pemimpin ini sangat efisien karena mereka tak memerlukan sistem pengawasan yang berlebihan. Pesta demokrasi itu sudah di depan mata. Kita tahu betapa sulit mendeteksi dan memilih para pemimpin dengan tipikal pemimpin seperti diuraikan. Namun, setidaknya, uraian ini diharapkan bisa memberi bekal agar kita tidak memilih seadanya, minimalis, asal-asalan, sebab itu sama saja memilih tanpa tanggung jawab. Bagi para calon pemimpin yang tengah haus kekuasaan, kalau hanya mau jadi pemimpin tipikal agen, lebih baik sekalian jadi pemimpin bisnis atau pedagang saja. Titik! ● |
Post a Comment