Pendidikan Antikorupsi

Pendidikan Antikorupsi

Dodi Budiana  ;   Karikaturis dan Aktivis Sosial
KORAN JAKARTA,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Dari waktu ke waktu, korupsi negeri ini semakin memprihatinkan. Nyaris tak ada institusi yang bisa terbebas dari upaya-upaya meraup uang rakyat.

Contoh paling real dan paling mengerikan adalah korupsi massal seluruh anggota DPRD Papua Barat. Para wakil itu ramai-ramai merampas anggaran untuk menyejahterakan warganya yang masih banyak di bawah garis kemiskinan.

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) telah merajalela dan tumbuh subur di bumi Nusantara. Sederet kasus korupsi telah terungkap seperti megaskandal Bank Century yang menguras uang rakyat hingga 6,7 triliun rupiah. Selanjutnya, kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Olah Raga Hambalang, di Sentul, Bogor.

Ada juga kasus simulator SIM yang melibatkan petinggi kepolisian. Kasus korupsi lainnya yang relatif anyar melibatkan para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dan keluarga Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten. Sepertinya tidak ada lembaga tak terserang virus korupsi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Banyak pejabat (pusat dan daerah) dan anggota DPR/DPRD terjerat korupsi. Tahun 2004 hingga 2012, tercatat 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II terlibat kriminal. Pemerintah seolah tidak mampu memberantas korupsi. Institusi hukum dan aparat yang diharapkan dapat menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi malah banyak berkonspirasi dengan para koruptor.

Sudah tidak terhitung lagi aparat penegak hukum yang tertangkap tangan bekerja sama dengan para koruptor. Upaya remunerasi yang dicanangkan pemerintah di sejumlah kementerian juga tidak mampu menekan korupsi. Bahkan, lembaga-lembag eksektutif “bekerja sama” dengan para wakil rakyat untuk menilep anggaran.

Kasus SKK Migas yang tengah disidangkan bisa menjadi contoh. Memerangi korupsi tidak bisa hanya melalui pendekatan hukum, walau telah sukses menyeret banyak koruptor ke meja hijau dan menjebloskan ke penjara.

Hanya, pendekatan hukum gagal memberantas korupsi sampai akar-akarnya. Harus ada langkah simultan antara penegakan hukum dan memperkenalkan sedini mungkin cara hidup jujur kepada anak-anak melalui pendidikan antikorupsi mulai dari taman kanak-kanak. Harus ada langkah-langkah fundamental untuk memberantas dan mencegahnya. Salah satunya lewat pendidikan antikorupsi yang merupakan instrumen strategis dan efektif untuk menanamkan mental hidup bersih kepada peserta didik.

Pendidikan dapat membentuk kepribadian dan mindset antikorupsi sehingga perilaku koruptif yang telah “membudaya” dan mendarah-daging di Indonesia dapat direduksi. Antikorupsi dapat diajarkan di setiap institusi dan jenjang pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal. Antikorupsi akan berhasil bila didukung pendidik yang berkarakter jujur. Guru atau dosen pendidikan antikorupsi harus mampu merancang metode dan media pembelajaran yang tepat dan menarik supaya peserta didik menyenangi pelajara antikorupsi.

Dengan demikian, materi akan mudah dicerna dan terinternalisasi dalam diri siswa. Penggunaan metode dan media pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik. Pendidik dapat menggunakan dan mengelaborasikan berbagai metode pembelajaran, seperti ceramah, diskusi, dongeng, game, kuis, role playing (bermain peran), dan sebagainya. Sementara itu, terkait media pembelajaran, guru dapat menggunakan berbagai media seperti internet, poster, film, gambar, dan sebagainya.

Guru TK dan SD dapat memanfaatkan gambar dan buku cerita sebagai media pembelajaran di kelas. Selanjutnya, model pembelajaran antikorupsi tidak boleh hanya menekankan dimensi kognitif, namun juga mencakup afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain, dia tidak boleh hanya menekankan kemampuan intelektual, namun juga sikap dan perilaku.

Maka, guru tidak boleh hanya semata-mata mengajarkan kajian tentang korupsi, namun yang jauh lebih penting mendidik anak agar memiliki sikap dan prilaku jujur. Dalam konteks ini, guru dapat mengaplikasikan model pembelajaran learning by doing, dibarengi perbuatan nyata. Terkait ini, pengajar bersama sekolah/kampus dapat menginisiasi pendirian kantin kejujuran sebagaimana banyak dipraktikkan sejumlah sekolah.

Barang yang dipajang tanpa dijaga. Kotak uang disediakan untuk menampung hasil transaksi. Bila ada kembalian, peserta didik sendiri yang mengambil dan menghitung. Melalui kantin kejujuran, siswa diajari bersikap jujur kendati tidak ada yang melihat. Meskipun bukan gagasan baru, model pembelajaran semacam ini terbukti efektif membentuk karakter antikorupsi pada diri peserta didik.

Teladan Negeri ini semakin miskin atau kekurangan keteladanan. Contoh hidup yang baik semakin langka. Untuk itu, semakin penting orang dewasa sebagai teladan generasi yang lebih muda. Keteladanan menjadi faktor penting. Pengajar harus dapat menjadi teladan anak didik. Ucapan, sikap, dan tindakan harus mencerminkan nilainilai antikorupsi. Seorang pendidik harus menjauhi korupsi.

Dalam evaluasi pembelajaran, pengajar tidak boleh hanya mendasarkan diri pada kemampuan kognitif, namun harus melihat juga sikap dan perilaku anak didik. Nilai-nilai antikorupsi, seperti kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab harus menjadi pertimbangan utama penilaian. Dengan kata lain, pendidik dalam menilai anak tidak boleh hanya melihat kemampuan akademik. Lihat juga kesadaran siswa dalam mengaktualisasikan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari.

Bila semua itu dapat dilakukan, harapan untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai salah satu garda terdepan pemberantasan korupsi bisa terwujud. Dengan demikian, kelak akan lahir generasi bangsa berkarakter antikorupsi.
Indeks Prestasi

Post a Comment