Tontonan Shalat Jumat di Televisi

Tontonan Shalat Jumat di Televisi

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
"Apakah TVRI memang menginginkan ada sebaran misi ”mengenalkan” ibadah ke publik?"

JUMAT, imajinasi waktu sakral, dari masa lalu sampai sekarang. Umat Islam mengakui bahwa Jumat itu ”hari suci”, memiliki keutamaan ketimbang hari-hari lain. Selebrasi sakralitas diwujudkan dengan pelaksanaan shalat saat siang hari. Shalat dua rakaat secara berjamaah memberi penguatan iman, bukti dari keberserahan diri dalam ibadah.

Rutinitas ibadah shalat pada Jumat siang berlangsung di masjid-masjid. Orang-orang berdatangan ke masjid, memenuhi panggilan: duduk mendengarkan khotbah dan melaksanakan shalat. Kewajiban dilakukan demi iman dan takwa. Kita pun jeda dari pekerjaan atau kesibukan. Peristiwa shalat menjadi momentum besar, mengajak manusia berefleksi dan membeningkan diri untuk menjalani kehidupan.

Jumat sebagai hari suci mengajarkan tentang religiositas, meresapi peristiwa di dunia berbasis nilai-nilai lahiriah dan batiniah. Sekarang, Jumat menjadi milik TVRI. Shalat menjadi tontonan. Sakralitas dari ibadah telah menjadi sajian tontonan, tersaji sebagai acara atau program pada siang hari. TVRI mempersembahkan program berlabel agama ke publik: siaran langsung shalat Jumat di Masjid Istiqlal (Jakarta). Acara tak lazim, mengusik pikiran. Kita menganggap ada keganjilan.

Apa makna dan faedah siaran langsung shalat Jumat? Siapa penonton? Apakah stasiun televisi itu  ingin meraih klaim sebagai institusi siaran beramanat agama?

Kita tak bakal menjawab semua keganjilan. Program itu ada, berdurasi lama. Gejala membuat program-program agama di televisi sering menimbulkan ambiguitas. Shalat sebagai tontonan melengkapi dari persaingan pelbagai stasiun televisi menggarap acara pengajian, dari pagi sampai malam.

Lembaga penyiaran tersebut ingin publik ”beragama” dengan menonton televisi. Sambutan publik memang meriah, representasi kehendak mempelajari dan mengerti agama. Acara pengajian makin menjadi andalan, merangsang pembuat program menganut paham ganjil: ”Pengajian adalah tontonan, hiburan, sumber uang, pencitraan.” Misi religius sulit mengelak dari komersialitas dan popularitas.

Persaingan dalam suguhan acara pengajian mungkin diartikan oleh TVRI dengan sikap berlebihan, menganggap ibadah pantas menjadi tontonan publik. Perintah melaksanakan shalat ditujukan bagi kaum lelaki. Mereka bergerak ke masjid, berkeinginan mengalami ibadah dengan khusuk dan bermakna. Mereka meninggalkan pasar, kantor, rumah untuk beribadah. Adegan mereka ada di masjid justru bersaing dengan penghadiran gambaran jamaah dan suasana masjid melalui siaran TVRI.

Keputusan membuat siaran langsung menjadi aneh. Orang shalat disorot kamera, disajikan ke publik. Kamera memperlihatkan tubuh, pakaian, ekspresi wajah, sajadah, dan ruang. Penonton bisa ”menikmati” adegan imam dan makmum, menikmati suara iman. Sorotan kamera menjadi pengganti mata penonton: memasuki ruang masjid untuk menonton orang-orang shalat.

Menjadi Pembuktian

Penonton bisa melihat siaran langsung shalat Jumat sambil makan, tiduran, bercelana pendek, merokok, duduk. Televisi ada di kamar, ruang tamu, terminal, kantor, stasiun, mal, toko. Orang-orang tak perlu ”bersuci” sebelum menonton peristiwa ibadah. Di pelbagai tempat, orang bisa menjadi penonton.

Apakah TVRI memang menginginkan ada sebaran misi ”mengenalkan” ibadah ke publik? Apakah siaran langsung menjadi pembuktian bahwa lembaga penyiaran milik pemerintah itu adalah institusi berpihak ke acara-acara agama? Kita pun memiliki percabangan curiga: shalat sebagai tontonan dan siaran langsung sebagai klaim keberpihakan TVRI.

Kita merasa ada ketidakpatutan untuk menjadikan shalat sebagai tontonan, tak berbeda dari program berita, musik, gosip, atau sinetron. TVRI tampak ingin tampil sebagai “pemenang” dari gejala persaingan acara-acara agama di televisi. Publik dianggap sebagai penonton, memberi “keuntungan” bagi televisi.

Cara pengajian-pengajian di pelbagai stasiun televisi mulai memunculkan dilema. Jamaah harus berpakaian seragam dan tampil necis saat mengikuti pengambilan gambar di studio. Tubuh dan pakaian mereka sudah menjelaskan ada ketidaklaziman makna pengajian saat menjadi tontonan di televisi. Urusan pengajian justru ditambahi dengan kebijakan stasiun televisi menayangkan shalat Jumat.

Kita berharap para imam dan jamaah tak tergoda oleh kamera. Televisi memang fantastis, membentuk imajinasi tak terbatas. Kita tak bisa memberi pemakluman jika orang-orang saat menjalankan shalat berlagak aneh akibat sadar sedang disorot oleh kamera. Kesadaran bakal menjadi tontonan tentu bisa memengaruhi kekhusukan dalam beribadah.

Shalat rawan mengalami gangguan dan kerusakan. Hari Jumat sebagai hari suci pun bakal ambigu oleh sajian siaran langsung di TVRI. Shalat itu tontonan. Konklusi tak boleh baku dan langgeng. Kita pun memerlukan jawab dari pelbagai curiga atas keputusan TVRI menayangkan langsung shalat Jumat.
Indeks Prestasi

Post a Comment