Tri Rismaharini

                               Tri Rismaharini

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  16 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Saya tidak kenal dengan Ibu Wali Kota Surabaya yang kondang ini. Bertemu langsung juga belum pernah, walau hanya dari kejauhan. Saya hanya mengenalnya dari media massa yang memang sering memberitakan kegiatan-kegiatannya dalam membangun kota metropolitan nomor dua se-Indonesia itu. 

Tetapi saya sangat terkesan dengan wawancara Ibu Risma dengan Najwa Shihab dalam acara ”Mata Najwa” yang ditayangkan pada 12 Februari 2014. Kebetulan saya menonton acara itu dari televisi mobil saya. Persis satu jam 30 menit saya di perjalanan, bersama sopir, di tengah kemacetan (walaupun tidak hujan). Jadi saya bisa fokus betul mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya dan mengamati setiap gerak tubuhnya dan mimik wajahnya, bahkan tetesan airmatanya. 

Kesimpulan saya: Tri Rismaharini adalah sebuah fenomena luar biasa! Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dari tampak luarnya. Tubuhnya tidak tinggi semampai seperti Sophia Latjuba (yang belakangan dikabarkan comeback ke Indonesia dan langsung membuat heboh infotainment), tidak juga secantik Ibu Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany. 

Tubuh Risma kekar berbalut jilbab dan jarinya tidak lentik bak penari, melainkan bulat-kuat seperti jari-jemari ibu-ibu petani yang biasa memegang pacul (ini saya perhatikan ketika Ibu Risma menghapus air matanya). Dia juga tidak pandai bersilat lidah seperti Farhat Abbas, bahkan tidak pandai bicara (apalagi bicara diplomatis) seperti anggota DPR. Dia bukan politisi, atau pengacara. 

Dia hanya seorang arsitek dan mantan Kepala Dinas Pertanaman dan Kebersihan di Kota Surabaya (tipikal PNS dan birokrat yang kebetulan mengurus taman dan sampah Surabaya). Tetapi dia tahu betul apa yang dikatakannya dan bisa mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Inilah contoh konkret dari ”satunya kata dengan perbuatan”. 

Dari ceritanya kepada Najwa, saya mengambil kesimpulan bahwa Risma sangat religius. Religiositasnya sangat berbeda dari religiositas Wali Kota Bengkulu Helmi Harun, yang menjanjikan umrah dan haji gratis serta hadiah mobil Kijang Innova dan Honda CRV buat masyarakat yang paling rajin salat subuh berjamaah di masjid. Spontan keesokan harinya masjid dipenuhi oleh calon-calon peserta umrah/haji bermental matre (apalagi buat PNS diwajibkan datang, dicatat kehadirannya dan kena sanksi kalau tidak hadir). 

Religiositas Risma nampak dari intuisinya yang kuat, yang menurut Risma sendiri merupakan petunjuk Tuhannya. Tuhan setiap hari memberitahu kemana dia harus pergi hari itu, ke barat atau ke utara, maka dia pun pergi ke arah itu, dan selalu dia menemukan warganya yang sedang bermasalah, seperti anak telantar di pinggir jalan yang membutuhkan bantuan Dinas Sosial, pelacur berumur 60 tahun yang masih praktek dengan langganan anak-anak SD (karena ia mau menerima bayaran Rp1.000-2.000), atau banjir yang ketika ditelusuri penyebabnya adalah pagar orang yang membuat air mampat (maka spontan dia suruh bongkar pagar itu). 

Maka ketika dia ditanya oleh Najwa, ”Masih tegakah Ibu mengundurkan diri sebagai wali kota, walaupun sudah menerima 51 penghargaan dan calon wali kota terbaik dunia? Apa yang saya harus katakan kepada warga Surabaya?” Pecahlah tangis Risma. Dia kasihan kepada jutaan warga Surabaya yang masih perlu bantuannya. Tetapi dia juga tidak mau, sebagai wali kota, mengetahui adanya warganya yang masih menderita dan dia tidak berbuat apa-apa. 

”Nanti kalau saya dipanggil dan ditanya Tuhan (dia lebih banyak menggunakan istilah ‘Tuhan’ daripada ‘Allah’) dan saya tidak bisa menjawab, saya tidak akan masuk surga. Saya tidak mau tidak masuk surga!” Alangkah religiusnya, walaupun tidak sepotong ayat pun keluar dari bibirnya. Risma (yang hanya ibu rumah tangga dan senang keluar makan malam dengan suami dan anak-anaknya) jelas jauh religius daripada ustaz-ustaz kondang yang memasang tarif jutaan rupiah sekali taushiah, yang menolak hadir jika tarifnya tidak disepakati, dan punya rumah mewah dan motor gede dan sering masuk infotainment.  

Berita-berita yang saya ikuti belakangan banyak yang membantah isu tentang keinginan Risma untuk mundur. Menteri Dalam Negeri pun membantah bahwa Wali Kota Risma akan mundur. Bahkan sejumlah ormas dan LSM demo di depan rumah Risma, menuntut agar dia tidak mundur, tetap sebagai wali kota Surabaya (suatu fenomena yang luar biasa, ditengah-tengah maraknya tuntutan mundur pada banyak kepala daerah). 

Tetapi ketika acara ”Mata Najwa” direkam, tampaknya tekanan untuk tidak mundur belum terlalu kuat, dan ketika ditanya oleh Najwa Shihab, Risma masih jelas-jelas menyatakan bahwa dia tidak berani untuk berjanji kepada rakyat Surabaya untuk tidak mundur. Mengapa begitu? Risma sendiri menyatakan bahwa dalam bekerja dia selalu melibatkan emosinya. 

Capek sekali memang, tetapi itulah yang bisa membuatnya berempati pada kesusahan orang lain dan karenanya ia bisa merespons sampai tuntas, tas. Di sisi lain, pelibatan emosi inilah yang juga menyebabkannya tidak kuat menghadapi persoalannya dengan Wakil Wali Kota, Wisnu Sakti Buana, yang baru-baru ini dilantik tanpa kehadiran Risma (dengan alasan sakit). 

Saya tidak jelas apa penyebab yang sesungguhnya, tetapi dari yang saya ketahui melalui media massa, Wisnu Sakti Buana adalah salah satu anggota DPRD yang ikut memakzulkan Risma dari jabatan wali kota, hanya beberapa saat setelah Risma dilantik sebagai wali kota (2010), gara-gara Risma menaikkan pajak reklame di jalan-jalan protokol Surabaya. Risma tidak mau jalan-jalan protokol Surabaya jadi jelek karena baliho-baliho reklame segede-gede raksasa. 

Maka marahlah anggota-anggota DPR itu (dari semua fraksi, kecuali fraksi PKS), termasuk Wisnu yang sama-sama dari fraksi PDIP bersama Risma. Anggota-anggota DPRD itu kemudian meminta Risma mundur dari jabatan wali kota. 

Kalau berita yang saya baca itu benar, bisa dibayangkan bagaimana perasaan Risma (yang biasa melibatkan emosi sepenuhnya ketika bertugas) ketika ternyata Wisnu menjadi wakilnya. Memang susah kalau bekerja terlalu emosi, tetapi kalau terlalu acuh tak acuh salah juga, kan?
Indeks Prestasi

Post a Comment