Ustad (Bukan) SelebritasHusein Ja’far Al Hadar ; Pendiri Islamic Cultural Academy (ICA) Jakarta |
TEMPO.CO, 22 Februari 2014
Ada sederet ayat Al-Quran yang memuliakan ustad, guru, syekh, habib, kiai, ulama, atau apalah gelarnya. Nabi pun berkali-kali memuliakan mereka dalam sabdanya, dengan salah satu yang paling populer, yakni menyebut mereka sebagai ahli waris para nabi. Karena itu, seperti dikemukakan Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid (2001), dalam tradisi Islam Indonesia, akan ditemukan ragam bentuk penghormatan yang cenderung bersifat sosio-kultural pada mereka. Dulunya, menurut Kuntowijoyo, bias modernisme masih cenderung tak ada dalam rekrutmen dan penobatan mereka, sehingga umat selalu mendapat dan disuguhi sosok pendakwah yang berkualifikasi dan teladan. Maka, beragam bentuk penghormatan sosio-kultural juga tak pernah menyilaukan mereka. Terjadi relasi sosio-kultural yang berbalut nilai teologis-religius yang kuat antara umat dan ustad. Namun, di zaman modern, apalagi saat ini, mengacu pada Kuntowijoyo, rekrutmen ustad (apalagi yang dilakukan oleh media) biasanya terjadi secara segmental atau bahkan sporadis. Maka, tak jarang umat disuguhkan sosok ustad yang tak memiliki kualifikasi keilmuan, apalagi keteladanan. Bahkan yang disyaratkan bukan lagi kualifikasi, melainkan kemampuan menghibur dalam kemasan berdakwah. Maka, ragam tradisi penghormatan yang bersifat sosio-kultural pun menjadi rentan disalahgunakan oleh ustad itu sendiri, karena ketidakmatangan yang berdampak pada kegagapan mereka dalam merespons euforia umat pada sosoknya. Misalnya ceramah atau doa dikomersialkan. Posisinya pun dipahami sebagai profesi dan umat sebagai komoditas, bukan lagi sebagai amanat suci yang penuh tanggung jawab kepada Allah. Alih-alih menjadi ahli waris para nabi yang penuh akhlak serta pelayan umat, justru mereka menjadi semacam tuan dengan melihat umat seperti budak yang dibodohi, dieksploitasi, dan dihinakan. Kultur modernisme yang memicu munculnya ustad-ustad baru di media seharusnya bisa dimaknai secara positif, yakni mendorong demokratisasi keagamaan dan sosialisasi nilai-nilai Islam dalam pola akulturasi yang lebih egaliter dan fenomenologis, serta cakupan dakwah yang lebih luas. Tanpa kualifikasi, yang muncul pada sosok para ustad selebritas itu justru kegagapan yang menyebabkan mereka tunduk dan diwarnai modernisme, bukan lagi mengendalikan dan mewarnai zaman. Bahkan yang mereka targetkan bukan lagi terdidiknya umat, melainkan terpuaskannya awak media (peringkat tinggi dan perolehan iklan banyak). Paling jauh, tuntunannya hanya menjadi tontonan. Malah, yang terjadi di layar kaca, para ustad itu seolah berdrama dengan akting saleh dan teladan. Tapi, begitu kamera tak menyorotnya, kesalehan dan keteladanan itu pun sirna, sehingga bahkan, di mimbar (tanpa sorot kamera), mereka menunjukkan sikap yang bukan lagi tak teladan, melainkan memprihatinkan. ● |
Post a Comment