Amandemen KUHP dan KUHAP

Amandemen KUHP dan KUHAP

Frans H Winarta  ;   Ketua Umum Peradin, Dosen Fakultas Hukum UPH
KOMPAS,  04 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
AKHIR-akhir ini menarik melihat dan mendengarkan polemik terbuka di media mengenai perlu tidaknya KUHP dan KUHAP diamandemen. Terlebih lagi hal itu juga mengundang reaksi pro dan kontra di antara pemerintah–DPR, pengamat, ahli hukum pidana, politisi, penegak hukum, dan LSM. Namun, jika melihat usia KUHP dan KUHAP saat ini yang diberlakukan masing-masing sejak tahun 1946 dan 1981, keduanya perlu diamandemen karena saat ini banyak bagian yang tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, perkembangan ilmu hukum cq hukum pidana dan hukum acara pidana di dunia termasuk di Indonesia. Pada umumnya, setiap lebih kurang 25 tahun, undang-undang memang perlu dianalisis dan ditinjau kembali agar sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum yang efisien dan efektif.

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai sikap pro dan kontra berbagai pihak di dalam masyarakat mengenai amandemen KUHP dan KUHAP, tetapi lebih kepada aspek das sollen dan das sein. Demikian pula ada beberapa aspek yang krusial untuk diperhatikan dan dipikirkan ulang agar nantinya tidak terjadi komplikasi dalam penegakan hukum di Indonesia.

Saat ini penegakan hukum di Indonesia sangat lemah dan tidak menutup kemungkinan terjadi kekacauan hukum (judicial disarray). Masalah ini dapat mengganggu cita-cita luhur negara hukum yang dijamin secara konstitusional dalam UUD 1945 dan menjadi gagasan awal para pendiri Republik Indonesia (founding fathers).

Kondisi riil

Di dalam keadaan normal, penyadapan telekomunikasi (telephone tapping) yang memerlukan izin dari hakim atau pengadilan sebagai sentra penegakan hukum patut diapresiasi karena hal itu menyangkut privasi dan hak asasi manusia seseorang yang perlu dijamin dan dilindungi hukum. Namun, saat ini, disyaratkannya izin hakim akan menyebabkan kebocoran niat menyadap pembicaraan per telepon si tersangka cq tersangka korupsi. Tentunya hal tersebut dapat menggagalkan program pemberantasan korupsi yang sedang digalakkan saat ini.

Kita masih ingat bagaimana sprindik KPK terhadap tersangka Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang dapat bocor. Ternyata lembaga seperti KPK sekalipun tidak bebas dari adanya ”permainan” membocorkan rahasia investigasi terhadap seorang tersangka.

Sebaliknya, melalui penyadapan telepon KPK berhasil membongkar kasus besar. Keadaan kita memang dalam keadaan tidak normal dan hal-hal yang normal di negara lain yang lebih mapan belum tentu dapat dilaksanakan di Indonesia.

Kaji ulang

Dengan demikian, para pembuat undang-undang (law makers) dan para pakar hukum pidana perlu mengkaji ulang aturan main penyadapan melalui telepon agar program pemberantasan korupsi tidak terganggu dan berantakan atau gagal karena peraturan yang maksudnya untuk melindungi privasi seseorang, termasuk tersangka korupsi dan melindungi hak asasi manusianya, ternyata berakibat fatal dan menghancurkan program pemberantasan korupsi yang tidak juga berkurang meski sudah ada KPK.

Begitu juga dengan ketentuan mengenai putusan bebas (vrijspraak) yang tidak dapat dikasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada dasarnya, ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan seorang terdakwa dalam perkara pidana. Namun, kenyataannya dalam praktik ketentuan tersebut tidak cocok dengan keadaan penegakan hukum di Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten) bahwa lembaga peradilan kita belum independen dan imparsial. Putusan sering kali dijatuhkan atas dasar transaksi dan bukan murni asas dasar fakta dan bukti.

Putusan pengadilan di bawah yang tidak berkualitas kalau tidak dapat dikasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia dan dikoreksi akan sangat mencekam dan tidak memberikan rasa adil dan perlindungan hukum bagi masyarakat.

Dampak fatal

Bayangkan jika seorang terdakwa korupsi merugikan negara ratusan miliar dibebaskan begitu saja (vrijspraak) tanpa ada upaya kasasi dari jaksa akan berakibat sangat serius dan fatal.

Sebaiknya selain menyesuaikan dengan asas-asas hukum pidana yang universal, amandemen KUHP dan KUHAP ini juga disesuaikan dengan kondisi riil di Indonesia saat ini. Keikutsertaan para praktisi hukum dan penegak hukum dalam amandemen KUHP dan KUHAP perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

Sebagai penanda tangan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Indonesia perlu bekerja sama dengan negara-negara lain untuk memberantas korupsi al dalam asset recovery atau pengembalian aset negara di luar negeri yang dikorupsi agar program pemberantasan korupsi tidak menjadi sia-sia.

Memiskinkan koruptor

Upaya pemiskinan ini mulai terlihat dalam kasus mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan suami Wali Kota Tangerang Selatan, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan). Kepada para koruptor perlu dikirim pesan dan dijelaskan bahwa hasil korupsi bersifat sementara dan akan lenyap dalam sekejap karena di dunia ini tidak ada yang abadi.

Mungkin pepatah dari penyair Percy Bysshe Shelley dalam ”The Flower That Smiles Today” dapat dijadikan pegangan untuk berhenti korupsi:

”The flower that smiles today, tomorrow dies;

All that we wish to stay, tempts and then flies;

What is this world’s delight?

Lightning, that mocks the night, briefs even as bright.”

Bagian akhir bait syair tersebut sungguh mengesankan karena sukacita keduniawian atau gaya hidup hedonis sifatnya hanya sementara dan akan hilang lenyap dalam sekejap bagaikan halilintar di tengah malam.

Semoga pesan itu dapat mengingatkan para koruptor untuk berhenti beraksi sebelum pada akhirnya hukuman berat yang menyengsarakan akan dijatuhkan kepadanya.
Indeks Prestasi

Post a Comment