Bantu Satinah dengan Iuran dan ZakatRopingi El Ishaq ; Dosen Komunikasi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri |
JAWA POS, 27 Maret 2014
SATINAH, tenaga kerja asal Semarang yang menghadapi hukuman pancung di Arab Saudi karena dituduh membunuh majikannya, mungkin bisa sedikit bersyukur lantaran akan bisa dibebaskan jika sanggup membayar denda (diat) yang diminta keluarga korban. Meski, hal tersebut cukup sulit dipenuhi karena mahalnya tebusan yang diminta. Satinah masih relatif beruntung karena permasalahannya direspons pemerintah pusat dalam bentuk bantuan dana dan bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan cara urunan. Gerakan urunan tersebut diinisiasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Meski, dana yang diperoleh dari urunan tersebut masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan, yakni Rp 21,2 miliar. Agak berbeda dengan nasib Zainab dari Bangkalan yang menghadapi permasalahan yang sama. Zainab yang juga dituduh membunuh majikannya telah dipenjara di Saudi selama 15 tahun dan kini dimintai diat Rp 90 miliar. Nasib Zainab belum jelas apakah bisa dibantu pemerintah atau tidak (JP, 25/3/2014). Gerakan iuran masyarakat Jawa Tengah tersebut tentu merupakan fenomena menarik. Tentu tidak mudah bagi pemerintah jika harus membantu dalam bentuk pemberian diat sebagaimana dua kasus tersebut. Banyak persoalan yang harus dipertimbangkan. Pertama, jika pemerintah membantu secara penuh, akan muncul kasus-kasus serupa di kemudian hari. Saat ini TKI di luar negeri tidak sedikit, sangat banyak dan banyak yang bermasalah. Jika membantu satu per satu, pemerintah akan kehabisan energi, terutama dari sisi anggaran. Berapa banyak anggaran yang tersedot ke sana. Anggaran itu pun tidak mungkin bisa dianggarkan begitu saja. Jika bisa dianggarkan, lalu bagaimana dengan anggaran untuk bidang-bidang yang lain yang tidak kalah penting? Kedua, kadang TKI yang sudah diselamatkan, setelah sampai di rumah, lupa kepada pihak yang menyelamatkan. Melindungi TKI memang tugas pemerintah dan lembaga terkait. Namun, sebagaimana yang pernah terjadi, saat banyak masyarakat yang simpati dan kemudian rela mengumpulkan rupiah dan menyumbangkannya agar TKI yang bermasalah bisa keluar dari kasus yang membelit, setelah keluar dari permasalahan, TKI tersebut justru cenderung hidup berfoya-foya dengan hasil bantuan. Hal tersebut tentu menyakitkan bagi orang yang dengan rasa empati telah menyisihkan dana. Fenomena tersebut membuat orang berpikir ulang jika diminta ikut membantu TKI yang terjerat kasus yang sama di luar negeri. Iuran Wajib dan Zakat Gerakan iuran masyarakat Jawa Tengah membantu TKI bermasalah di luar negeri merupakan hal yang menarik, meski hasilnya masih relatif kecil. Artinya, masyarakat masih memiliki nilai-nilai empati. Dengan demikian, gagasan itu harus dikembangkan sedemikian rupa. Antara lain, pertama, pemerintah mengeluarkan instruksi, mungkin instruksi presiden (inpres), agar setiap warga negara yang telah dewasa membayar iuran wajib untuk membantu menyelesaikan kasus TKI (Satinah dan Zainab, misalnya). Jika satu orang diwajibkan membayar iuran Rp 2 ribu saja, dikalikan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta jiwa, tentu banyak dana yang bisa dikumpulkan dan bisa dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tersebut. Langkah itu jelas dapat dilakukan. Apalagi indikasi bangsa ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik. Tingkat kemakmuran hidup masyarakat meningkat, meski sering disebutkan bahwa angka kemiskinan di negeri ini masih tinggi. Tetapi, indikator ekonomi bangsa ini menunjukkan kenaikan. Misalnya, tingkat konsumsi dan gaya hidup yang terus meningkat. Dalam konteks ini, iuran wajib tidak akan mengganggu APBN dan bakal membesarkan hati para TKI yang terkena masalah karena mereka dibantu dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi. Dengan demikian, gelar pahlawan devisa pun bukan isapan jempol belaka. Di sisi lain, masyarakat harus ikhlas melakukan iuran karena itulah sarana untuk berempati terhadap TKI, sarana untuk mengungkapkan atau mengekspresikan rasa nasionalisme dan akan menjaga kedekatan psikologis bangsa. Persaudaraan antarsuku bangsa dapat ditumbuhkembangkan. Dengan demikian, integrasi bangsa bisa dijaga. Kedua, memanfaatkan sebagian dana zakat umat muslim yang telah terkumpul setiap tahun. TKI yang bermasalah seperti Satinah dan Zainab tentu termasuk orang yang bisa dikategorikan mustahiq zakat. Karena itu, tidak masalah jika penyelesaian masalah mereka diambilkan dari dana zakat yang belum tersalur. Pemahaman itu mungkin memang masih bisa diperdebatkan. Namun, permasalahan menyangkut TKI harus segera diselesaikan. Karena itu, pemahaman lama tentang mustahiq zakat perlu dikembangkan agar dapat dijadikan sarana menyelesaikan problematika sosial yang berkembang. Ketiga, untuk mengantisipasi pemberian bantuan yang berlebih dan kemudian dimanfaatkan TKI yang bersangkutan setelah terbebas dari masalah yang dihadapi, sebagaimana pernah terjadi pada waktu lalu, pemerintah perlu membentuk tim yang bertugas menangani kasus-kasus TKI di luar negeri. Dana-dana yang disumbangkan masyarakat luas dikelola tim itu. Dana tersebut tidak begitu saja diserahkan kepada TKI yang bermasalah secara keseluruhan, tetapi diberikan sebatas kebutuhan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan advokasi setiap ada permasalahan dengan TKI di luar negeri. Tentu, cara tersebut bukan satu-satunya jalan yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan TKI. Pemerintah perlu menertibkan para PJTKI, meningkatkan kualitas sumber daya manusia TKI yang akan dikirim ke luar negeri, serta menertibkan administrasi mereka. Sebab, sumber masalah TKI ada di sana. Ada PJTKI yang nakal dan tidak bertanggung jawab. Ada pula kualitas TKI yang tidak memenuhi syarat sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan akhirnya tidak dapat menjalankan tugas dengan baik di tempat kerja. Akibatnya, majikan marah-marah. Ada pula TKI yang bekerja ke luar negeri melalui jalur keluarga sehingga tidak terdeteksi pemerintah. Selain itu, komunikasi dan negosiasi politik pemerintah harus lebih dimaksimalkan. ● |
Post a Comment