Bedakan lewat Brand Image

Bedakan lewat Brand Image

PJ Rahmat Susanta ;   Director Marketing Group
KORAN SINDO,  03 Maret 2014

                                                                                         
                                                      
Senin ini Kevin Lane Keller, pakar merek internasional, datang ke Indonesia untuk mengisi acara Indonesia Brand Summit. Mengapa Kevin Lane Keller begitu istimewa sudah dibahas oleh beberapa pakar pengisi rubrik ini beberapa hari lalu.

Kehebatan Keller dengan konsep Customer Based Brand Equity (CBBE) menurut saya mencipatakan kerangka kerja yang baik dan sistematis bagi pemasar dalam membangun merek. Salah satu pekerjaan yang harus dilakukan pemasar menurut kerangka kerjanya adalah menciptakan brandimage. Ketika merek Anda mulai dikenal tugas pemasar selanjutnya adalah menempelkan apa yang terkait merek tersebut di benak konsumen.

Keller kemudian mendefinisikan brand image sebagai persepsi konsumen tentang merek yang direfleksikan lewat asosiasi yang menempel di memori konsumen. Asosiasi ihwal yang terkait dengan merek tersebut. Sebagai contoh, asosiasi apa yang muncul di benak Anda ketika mendengar merek Sony? Anda mungkin akan mengaitkannya dengan ”Jepang”, ”kualitas”, dan ”tahan lama”.

Demikian halnya dengan merek Apple, orang bisa mengaitkannya dengan ”mudah dioperasikan”, ”kreatif”, ”kualitas”, atau ”desain yang bagus”. Asosiasiasosiasi inilah yang kemudian membentuk brand image. Tentu saja merek harus memiliki image yang positif agar merek tersebut berarti di mata konsumen. Merek yang memiliki image yang negatif di mata konsumen akan mengalami kesulitan untuk bersaing.

Anda masih ingat ketika merekmerek motor buatan China (mocin) masuk pasar Indonesia? Dengan upaya pemasaran yang demikian besarnya pun ternyata tidak mampu mendongkrak penjualan mocin saat itu. Image mocin saat itu sebagai motor yang ”murah”, ”kualitas jelek”, ”mudah rusak”, dan ”suku cadangnya susah” membuatnya sulit bersaing. Membuat merek menjadi terkenal membutuhkan upaya yang besar.

Karena itu, jangan sampai merek Anda jatuh karena image yang buruk. Dalam kasus perpolitikan di Indonesia, kita bisa melihat beberapa partai politik harus kehilangan elektabilitasnya setelah image partai memburuk akibat korupsi yang dilakukan pengurusnya.

Apa keuntungan merek yang memiliki image yang baik? Asosiasi yang kuat dari sebuah merek ternyata bisa menancapkan kesan yang bersifat jangka panjang dan ini bisa membantu merek bertahan dalam jangka waktu yang lama. Toyota Kijang bertahun-tahun dipersepsikan sebagai mobil keluarga. Kalau ada yang ingin membeli mobil keluarga, pilihan pertama mereka adalah Toyota Kijang.

Sementara sepeda motor Yamaha selama bertahun-tahun terkenal sebagai motor yang larinya kencang. Tak heran jika orang yang membutuhkan motor dengan tarikan dan lari yang kencang akan ingat Yamaha. Selain bertahan lama, asosiasi merek yang kuat akan mampu menciptakan perbedaan dari merek tersebut dibandingkan kompetitor. Mercedes dan BMW sama-sama mobil mewah. Namun, Mercedes punya asosiasi yang kuat sebagai mobil untuk kelompok orang kaya yang mapan dan mature.

Sementara BMW diasosiasikan sebagai mobil untuk kelompok orang kaya yang muda dan dinamis. Agar asosiasi merek bisa kuat menancap di benak konsumen, pemasar tentu perlu menjalankan strategi komunikasi yang tepat. Lampu Philips konsisten dengan slogan ”Terus terang Philips terang terus”. Dengan slogan ini Philips ingin mengomunikasikan bahwa produknya tahan lama.

Ketika Anda ingin mengomunikasikan asosiasi yang melekat pada merek Anda, Anda harus mengacu pada dua hal. Pertama, asosiasi tersebut haruslah dapat diterima oleh konsumen dan, kedua, haruslah unik di mata konsumen. ”Manjur” adalah asosiasi yang dapat diterima oleh konsumen untuk sebuah merek obat. Namun, manjur tidak bisa menjadi alat pembeda karena semua obat haruslah manjur.

Karena itu, syarat yang kedua adalah menciptakan keunikan atau diferensiasi. Sebuah merek obat misalnya mencoba mengomunikasikan mereknya sebagai obat yang dapat diminum sebelum makan. Yang lain mungkin akan mengomunikasikan sebagai obat yang punya banyak varian rasa. Keller dalam konsep brand equity modelnya banyak berbicara tentang brand image ketika menyentuh atribut performance dan imagery.

Performance produk Anda membuahkan pengalaman bagi konsumen dan ini bisa menciptakan asosiasi yang kuat di benak konsumen. Ada merek yang terkenal karena keandalannya, namun ada merek yang terkenal karena keefisienannya. Beberapa merek juga terkenal dengan layanan yang prima. Jika performancemerupakan hal yang terlihat, imagery merupakan sesuatu yang bersifat intangible.

Imagery ini bisa berupa status dari penggunanya, sejarah dari merek tersebut, atau nilai-nilai yang terkandung dalam merek tersebut. Sebuah bank yang sudah berdiri sejak zaman Belanda lekat dengan sejarahnya yang panjang. Supaya memiliki asosiasi yang berbeda, ada baiknya sebuah merek memetakan terlebih dahulu asosiasinya dibandingkan kompetitor. Hasil pemetaan dari asosiasi merek ini menjadi dasar bagi pengembangan brand positioning dan value.

Hati-hati jika merek Anda memiliki terlalu banyak asosiasi yang melekat di benak konsumen. Merek yang memiliki asosiasi yang terlalu banyak akan membuat konsumen menjadi bingung. Beberapa merek ingin terkenal dengan berbagai hal, namun akhirnya konsumen tidak bisa mengartikan merek tersebut dengan baik. Jadi posisi brand image dalam membangun ekuitas merek yang kuat adalah seperti mata angin yang akan membawa ke mana pikiran konsumen berlayar. Jika Anda salah mengarahkan mata angin, konsumen pun bisa kehilangan arah.

Brand image ini sekali lagi hanyalah sebagian dari pemaparan kerangka Customer Based Brand Equity dari Keller. Ada banyak sekali ihwal yang diungkap Keller membantu pemasar dalam pengembangan merek. Semoga saja kehadiran Keller ke Indonesia bisa memajukan merek di Indonesia.
Indeks Prestasi

Post a Comment