Demokrasi Gigit Jari David Krisna Alka ; Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, Kader Muhammadiyah |
KOMPAS, 14 Maret 2014
Yang tampak dan yang terasa dalam terang dan gelap masalah politik Indonesia hari-hari ini adalah kemunculan kata-kata puji dan caci yang hanya ditentukan lewat ujung jari tangan penekan tombol abjad. Setiap kata menjadi berita yang melintas di layar komputer, telepon pintar, atau tablet. Kenyataannya, persoalan politik menjelang Pemilu 2014 memang banyak terkait dengan ujung jari. Pemilu yang tinggal menghitung hari, para calon anggota legislatif dan calon presiden yang bersiap menghitung biaya politik untuk meraih suara pemilih, semua lewat ujung jari. Kultur politik ujung jari semakin menjadi-jadi tatkala alam sadar rakyat terbuai oleh jari-jari tangan penguasa. Ada yang sekadar melambai dengan janji-janji. Ada yang lewat ujung jarinya menebar uang membeli suara. Namun, kembali semua tanpa bukti. Ujung jari tetap bersih menari-nari. Politik bukti Padahal, bukti menjadi kata kunci. Dengan bukti, kepercayaan terhadap persona politik menjadi pasti. Bukti berarti segala program dan janji direalisasikan sang politisi. Maka, kepada para pemilih, lihat dan pantaulah bukti-bukti yang terang benderang untuk menimbang apakah para pelaku politik atau partai politik itu layak dipilih atau tidak. Dengan demikian, kemunafikan kita tekan dan demokrasi menjamin orang baik yang terpilih. Mochtar Lubis (1999:14) pernah merasa kemunafikan telah mengisi rongga kepala, hati, jiwa, dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita berbuat korupsi. Karena baik yang menerima maupun yang memberi sama-sama melakukan korupsi. Kita mengutuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi ikut menyalahgunakan kekuasaan. Budaya kita penuh dengan acara dan seremoni yang mengagungkan dan meluhurkan hal-hal yang belum menjadi kenyataan. Kita semua bersikap bahwa apa yang sebenarnya baru merupakan kehendak, sebuah lambang, atau hanya semboyan, seakan telah menjadi kenyataan hidup dan sekadar dihayati dalam hati. Apa yang dicari di dalam demokrasi jika pelaku demokrasi bermain menghalalkan segala cara? Siapa yang diperjuangkan apabila di negeri ini keinginan politik dikalahkan oleh kepentingan kelompok dan pribadi? Tipu daya dalam politik menjadi sangat biasa dilakukan untuk meraih kekuasaan. Apakah cukup menyehatkan dan menyegarkan demokrasi jika sekadar mengomentari atau memperbarui status, dan memberi tanda like di jejaring media sosial? Jawabannya tentu saja bukan itu. Gigit jari Namun, di sisi lain, pemilu tahun ini juga ditentukan oleh ujung jari tangan rakyat. Sebab, kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan harapan, kesadaran rakyat untuk datang memilih tinggi. Republik ini entah bakal jadi apa jika rakyat tak mau menggunakan hak pilihnya karena yang datang ke tempat mereka cuma iklan dan spanduk, bukan calon anggota legislatifnya, bukan calon presidennya, dan barangkali hanya siraman uangnya. Suara-suara sumbang bakal rendahnya partisipasi publik dalam pemilu tahun ini perlu diwaspadai. Segencar apa pun sosialisasi politik agar rakyat menggunakan hak pilihnya, kedaulatan ada di tangan rakyat. Demokrasi bukan ditentukan oleh ujung jari penguasa. Buya Syafii Maarif pernah mengingatkan, yang perlu diwaspadai dan diprihatinkan adalah sikap pemilih pemula yang jumlahnya di atas 30 persen. Mereka tampak lesu darah untuk turut memilih karena melihat perjalanan demokrasi yang cacat moral di tangan politisi yang tidak bertanggung jawab. Padahal, generasi muda ini sesungguhnya sangat berkepentingan bagi tegaknya sebuah bangunan demokrasi yang sehat sebab dalam tenggat 15-20 tahun yang akan datang merekalah yang akan menjadi pemain utama di panggung perpolitikan nasional dan daerah. Alhasil, semoga rakyat tak tergiur rayuan gombal pencitraan yang tak menunjukkan bukti. Rakyat akan menggenggam jari-jari tangannya menjadi tinju sebagai bentuk perlawanan terhadap proses pemilu yang kacau dan ketidakadilan yang bersimaharajalela. Kekisruhan akan menjadi malapetaka yang mengerikan jika pemangku tanggung jawab pemilu tidak memikirkan dan mengantisipasi sekecil apa pun persoalan. Akhirnya, seperti kata Buya Syafii, demokrasi selalu perlu stamina dan spiritual yang prima dari para pendukungnya, tidak boleh patah harapan, sekalipun sungguh melelahkan. Karena itu, kita mesti teguh dan tegap penuh semangat agar republik ini tak oleng dan tenggelam sehingga yang tampak cuma jari-jari tangan melambai-lambai minta pertolongan. Bangsa lain sudah berlari dan kita hanya gigit jari. ● |
Post a Comment