Di Antara Krisis Pangan dan EnergiRostamaji Korniawan ; Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan budaya; Postgraduate dari Pukyong National University, Korea |
JAWA POS, 05 Maret 2014
PEMILIHAN umum mungkin sudah dalam hitungan hari. Setiap partai akan mempersiapkan calon anggota legislatif masing-masing untuk menjadi partai yang unggul dalam sebuah pesta rakyat yang diadakan lima tahun sekali itu. Persiapan pemilihan umum tahun ini harus dilakukan tiap-tiap calon untuk memberikan kontribusi yang bermanfaat, yang dapat dirasakan setiap orang. Di tengah-tengah persiapan pesta rakyat tersebut, pergulatan krisis sosial dan ekonomi juga mulai dirasakan setiap anggota masyarakat. Masyarakat masih merasakan adanya kekurangan atas kebijakan pemerintah yang menurut mereka belum memberikan dampak positif bagi kehidupan. Menanggapi gejolak ekonomi dan politik saat ini, masyarakat diberi dua pilihan, di mana dari dua pilihan tersebut keduanya memiliki value yang tidak jauh berbeda. Bagi masyarakat, energi dan pangan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam rumah tangga, komoditas pangan tidak dapat diolah tanpa menggunakan energi. Demikian pula energi. Ia tidak dapat dieksplorasi dan dikembangkan tanpa sumber daya manusia yang kekurangan asupan pangan berkualitas. Oleh sebab itu, masyarakat sepertinya harus dihadapkan pada dua pilihan tersebut, yaitu energi atau pangan. Dalam keseharian kita, energi dan pangan merupakan kebutuhan yang harus ada di setiap rumah tangga. Dan dua pilihan tersebut tampak absurd jika digunakan masyarakat sebagai pilihan dalam menjalankan kehidupan. Di sini, konteks yang saya berikan sedikit berbeda, di mana pemilihan energi dan pangan merupakan dua kontestan yang hadir dalam satu panggung untuk berkompetisi merebut hati rakyat. Sebagai kontestan yang tersaring dari berbagai macam masalah yang pelik di masyarakat, energi dan pangan telah menjadi amunisi politik yang bakal selalu diusung oleh setiap calon anggota legislatif. Perkembangan wacana energi terus digulirkan seiring dengan paket kebijakan ekonomi dari pemerintah beberapa waktu lalu. Krisis energi selalu diperdebatkan dalam setiap diskusi, terlebih melihat realitas subsidi BBM yang telah membebani anggaran negara selama bertahun-tahun. Rencana penggalian energi minyak bumi dan gas yang belum tergarap oleh negara juga digulirkan oleh pemerintah dengan memberikan tawaran kepada investor untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi energi minyak bumi tersebut di lokasi baru. Investor asing rupanya menjadi pihak yang dilirik pemerintah untuk mengerjakan proyek itu. Sebab, pemerintah mempertimbangkan masalah cost dan teknologi yang dibawa investor tersebut. Namun, kita harus mengingat beberapa kasus investasi asing yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua, termasuk pemerintah daerah yang lebih mengetahui potensi dan peraturan yang berlaku secara lokal. Tidak hanya krisis energi, krisis pangan yang berkembang saat ini juga menjadi isu yang hangat diperbincangkan kalangan intelektual dan politik. Pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok merupakan wacana yang dapat meningkatkan popularitas calon anggota legislatif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Krisis pangan pun akhirnya melibatkan petani sebagai produsen pangan nasional. Jika politisi menggembar-gemborkan jumlah impor produk pangan yang meningkat, lalu siapa yang salah bila krisis pangan terjadi di negara yang katanya adalah lumbung padi bagi masyarakat Indonesia? Kita tidak ingin menyalahkan siapa yang telah melakukan kesalahan ini. Mungkin jalan terbaik adalah meninjau lagi kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan kebijakan impor yang terkendali. Politik Praktis Energi dan Pangan Seorang ekonom sekelas Faisal Basri saja bisa mengatakan bahwa hampir semua negara selalu menggunakan kebijakan energi sebagai alat permainan politik. Maka, kebijakan energi nasional pun tidak akan jauh berbeda. Keterlibatan politik praktis dalam memutuskan sebuah kebijakan merupakan tindakan yang selalu dipilih untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Masyarakat pun seakan-akan bisa terlena dari kebijakan yang dirasakan telah meringankan beban hidup mereka sehingga sebuah kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat dengan muatan politis sudah menjadi hal wajar. Dengan begitu, siklus roda ekonomi memang tidak terlepas dari political power yang berkuasa. Politik praktis terhadap kebijakan energi dan pangan sudah menjadi tradisi politisi buat memberikan apresiasi kepada masyarakat yang berguna untuk mendapatkan simpatisan yang sangat berarti. Namun, masyarakat sudah mulai mengetahui dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan masalah itu. Sebab, politik sendiri sudah merupakan bagian dari kehidupan yang harus dihadapi walaupun sistem politik yang merusak bisa mencederai pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat itu sendiri. Sebagai usulan atau masukan yang dapat menjadi perhatian kita bersama, sebaiknya krisis energi dan pangan yang telah menjadi politik praktis dari sistem ketatanegaraan Indonesia tetap dikelola dengan membangun political culture yang mengedepankan output dengan memperbaiki sistem perpolitikan yang mungkin dulu menggunakan sistem multiparty menjadi sistem biparty. Hal itu memanglah sulit untuk dilakukan. Tetapi, dengan menanamkan niat untuk memperbaiki, kita tidak perlu memilih di antara dua opsi yang mengusung pilihan di antara krisis energi dan krisis pangan. ● |
Post a Comment