Diskriminasi   Masuk Perguruan TinggiIrwanto  ;     Guru Besar Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta;  Kepala Pusat Disabilitas, FISIP UI  |  
KOMPAS,  16 Maret 2014
|    IRONIS!   Mungkin kata ini yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam   penerimaan mahasiswa baru di seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia. Cukup   mengakses website https://web.snmptn.ac.id/ptn/11, pembaca dapat melihat   daftar perguruan tinggi negeri (PTN), program studi, ataupun persyaratan   penerimaannya. Saya   mengambil contoh Universitas Indonesia yang terbesar dalam jumlah mahasiswa   dan jumlah program unggulannya di antara perguruan tinggi sejenis. Salah   satu program studi yang menolak disabilitas adalah Arsitektur (termasuk   Interior). Persyaratannya menyebutkan tidak boleh ada disabilitas: netra,   rungu, dan buta warna total. Program   studi lain adalah Matematika yang mensyaratkan tidak boleh ada disabilitas:   netra, rungu, wicara, daksa (fisik), dan buta warna total. Pada   program studi Kedokteran, termasuk Kedokteran Gigi, tidak boleh ada   disabilitas: netra, rungu, wicara, daksa, dan buta warna sebagian. Pada   program studi Sistem Informasi, tidak boleh ada disabilitas: netra dan   wicara. Program   studi Teknik Komputer tidak boleh ada disabilitas: netra, rungu, dan buta   warna total. Program   studi Teknik Lingkungan tidak boleh ada disabilitas: netra, rungu, dan buta   warna total. Program   studi Teknologi Bioproses tidak boleh ada disabilitas: netra, rungu, dan buta   warna total. Program   studi Psikologi tidak boleh ada disabilitas: netra, rungu, wicara. Sumber   semua uraian di atas adalah Informasi SNMPTN 2014:   https://web.snmptn.ac.id/ptn/31. Menolak disabilitas Menuruti   semua persyaratan yang diajukan PTN dalam sumber informasi ini, hampir semua   jurusan IPA menolak mereka yang mengalami disabilitas netra, rungu, serta   buta warna. Pembaca dapat mencoba memahami alasan mereka dengan melihat   relevansi antara kompetensi yang akan dipelajari dalam jurusan-jurusan   tersebut dan hambatan yang dimiliki calon mahasiswa. Apakah   semuanya dapat dibenarkan (justifiable)?   Apa hubungan antara matematika yang bersifat abstrak dan semua disabilitas   yang ditolaknya? Apa   hubungan antara menjadi psikolog dan kemampuan melihat, mendengar, dan   berbicara? Kalau pengelola fakultas ini beranggapan bahwa komunikasi hanya   dapat terjadi jika psikolognya dapat melihat, mendengar, dan berkomunikasi   verbal, betapa naifnya mereka. Lebih   menyedihkan lagi bahwa setiap program studi dianggap berujung pada karier   tunggal. Padahal, ilmu kedokteran, misalnya, ujung kariernya banyak sekali   dan tidak semua membutuhkan persyaratan yang sama. Saya   mengenal salah satu pengurus Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia   (Gerkatin) adalah seorang dokter gigi. Di berbagai acara layar kaca telah   dibuktikan bahwa seorang tunanetra dapat menjadi ahli TI yang canggih. Prof   Stephen Hawking yang ahli fisika teori kaliber dunia merupakan seorang   tunadaksa dan tunawicara sekaligus. Entah apa yang dijadikan bahan acuan oleh   para birokrat PTN ini kecuali prasangka? Nasib   orang yang mengalami disabilitas di negeri ini bergantung pada orang-orang   yang merasa tahu, tetapi dalam kenyataannya tidak mengetahui dunia dan   komunitas orang dengan disabilitas. Sudah ratifikasi Indonesia   telah meratifikasi UN CRPD (Convention   on the  Rights of Persons with   Disabilities) yang menjamin adanya kebebasan memilih untuk menentukan   hidupnya pada orang dengan disabilitas (General   Principles, Pasal 3) dan melarang diskriminasi berdasarkan kecacatan atau   impairments seseorang (Pasal 24). Konvensi   ini juga menantang otoritas publik, terutama perguruan tinggi, untuk membantu   menghapuskan segala hambatan fisik, informatif, ataupun sosial/keadilan   (Pasal 9) dengan kemajuan teknologi, kreativitas, dan keterbukaan pikiran   orang cerdik pandai. Apa yang   dibaca dalam sistem Informasi SNMPTN 2014 sebenarnya adalah pengerdilan   fungsi dan makna perguruan tinggi oleh birokrat PT yang tidak mau bersusah   payah. Memandang dunia mereka seolah-olah yang paling absah. Lensa   disabilitas tidak perlu digunakan karena takut mengalami distorsi realitas   ”normal” yang biasa mereka anggap sebagai satu-satunya realitas. Mengacu UU Disabilitas Di   Australia, sebagai contoh, penyelenggara pendidikan hanya diberi kesempatan   untuk tidak menerapkan kewajiban mereka dalam Education Standard yang mengacu pada UU disabilitas mereka karena   satu alasan: unjustifiable hardship.   Artinya upaya mengakomodasi atau penyesuaian tertentu bagi orang dengan   disabilitas yang ongkosnya sangat tinggi sehingga merugikan atau justru akan   membahayakan orang lain atau orang dengan disabilitas itu sendiri. Dalam   persaingan ekonomi global, semua negara berinvestasi serius terhadap siapa   pun yang mempunyai ability sehingga setiap warga negara mampu memberikan   sumbangan terbaiknya. Di negeri ini, sayang sekali yang dilihat pada orang   dengan impairment atau kecacatan   adalah disabilitasnya, bukan abilitasnya. Lebih   ironis lagi, persyaratan penerimaan mahasiswa seperti pada Informasi SNMPTN   2014 telah melanggar semua UU berbasis HAM di negeri ini, termasuk UU Dasar   1945. PTN   adalah entitas negara yang seharusnya menjalankan kewajiban negara dalam   menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak orang-orang yang   mengalami disabilitas. Penyadaran publik tentang HAM, sumber daya kreativitas   untuk solusi aksesibilitas dan akomodasi, membangun visi inklusi, dan   memperjuangkan hak-hak warga negara terpinggirkan adalah amanat perguruan   tinggi. Sumber   daya negara bukan milik mereka yang dianggap ”normal” saja (dalam definisi UU   Nomor 4 Tahun 1997), tapi milik semua warga negara yang mempunyai abilitas   untuk mengembangkan karier dan cita-cita. Komisi Nasional HAM seharusnya   tanggap terhadap fenomena ini. Tanpa tindakan korektif, kita telah melanggar   prinsip paling mendasar dalam Konvensi HAM, yaitu: non-diskriminasi. ●  | 

Post a Comment