Empati Buat Difabel

Empati Buat Difabel

S Sahala Tua Saragih  ;   Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad
REPUBLIKA,  15 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                                                                             
Akhir-akhir ini, istilah difabel semakin populer, sementara istilah cacat semakin jarang dipakai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(2008), difabel berarti penyandang cacat. Apakah ini eufemisme (penghalusan) tanpa perubahan realitas (nasib kaum difabel)? Entahlah. Satu hal yang pasti, istilah difabel tidak dipakai dalam Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam Pasal 5 Ayat (2) UUS PN dipakai istilah memiliki kelainan, yakni kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial.

Siapa yang disebut memiliki satu atau lebih kelainan ini? Menurut Peraturan 
Pemerintah (PP) No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 129 Ayat (3), peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, men jadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, zat adiktif lain, dan memiliki kelainan lain.

Pada Rabu (12/3), puluhan difabel berdemonstrasi di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jakarta. Mereka memprotes persyaratan bagi calon mahasiswa baru yang dibuat oleh Panitia Seleksi Nasio - nal Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Dalam ketentuan SNMPTN 2014, antara lain, disebutkan, untuk 20 program studi (prodi) ilmu pengetahuan alam (IPA) dan 54 prodi ilmu pengetahuan sosial (IPS), ada enam persyaratan (kelompok) yang tak dibolehkan masuk (mendaftar). Mereka adalah kaum tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dan buta warna (keseluruhan atau sebagian saja). Dalam somasinya, mere ka menyampaikan tiga tuntutan yang harus dipenuhi Kemendikbud dalam tenggat waktu tujuh hari (Republika,13/3).

Secara hukum, tuntutan mereka pasti sah. Dalam Pasal 4 Ayat (1) UUSPN 2003 tegas dinyatakan, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pasal 5 Ayat (1) UUSPN berbunyi, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dalam ayat (2) dinyatakan, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Peraturan Pemerintah (PP) No 17/ - 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 129 Ayat (1) menyatakan, pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial. Ayat (2) berbunyi, pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Pasal 131 ayat (5) dengan tegas menyatakan, perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi mahasiswa berkelainan.

Dalam Pasal 12 UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga dinyatakan, setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan HAM. Pasal 13 pun berbunyi, setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.

Berempati

Panitia SNMPTN 2014 telah membuat aturan secara perinci tentang syarat-syarat penerimaan mahasiswa baru PTN tahun ini. Mereka yang menyusun aturan tersebut pastilah ilmuwan pilihan dari berbagai PTN besar di negeri ini.

Jadi, sungguh aneh ketika mereka mengeluarkan aturan yang jelas-jelas bertentangan dengan berbagai produk hukum yang telah lama berlaku di negeri ini, mulai dari UUD 1945, UU HAM 1999, UUSPN 2003, hingga PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Mereka juga niscaya sudah menyimak dengan cermat isi UU terbaru dalam dunia pendidikan, yakni UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT 2012). Dalam Pasal 6 UUPT tersebut juga dengan jelas dinyatakan, antara lain, pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demo kratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.

Kita mengharapkan para pemimpin PTN dan PT swasta (PTS) di Tanah Air menjadi teladan dalam mematuhi berbagai produk hukum yang disebut di atas. Bila para ilmuwan saja tak menjadi anutan dalam penaatan hukum, lalu siapa lagi yang mau kita contoh? Seharusnya, para pemimpin PTN dan PTS mampu berempati kepada para difabel yang telah terbukti mampu menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Mereka tak membutuhkan belas kasihan dari siapa pun, termasuk dari panitia SNMPTN 2014. Mereka hanya menuntut hak-hak sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945, berbagai UU, dan PP. Mereka pasti mengetahui potensi diri sendiri sehingga mereka niscaya mampu memilih prodi yang sesuai dengan minat, bakat, kapasitas, dan kompetensi komprehensif masing-masing. Tentu saja mereka membutuhkan bimbingan dan panduan dari para guru SLTA mereka sekarang dalam hal memilih prodi dan PTN dan/atau PTS.

Fakta menunjukkan, di satu pihak banyak sekali lulusan SLTA yang tergolong bukan kaum difabel sama sekali tidak berminat dan berpotensi akademik untuk melanjutkan studi ke PT. Di pihak lain, banyak kaum difabel yang justru berkeinginan besar dan memiliki potensi akademik untuk melanjutkan studi ke PTN/PTS. Kelak, mereka niscaya mampu berprestasi dan berandil besar dalam memajukan bangsa dan negara kita. Kini, hal terpenting, para pemimpin dan pengelola PTN/PTS mau dan mampu mendidik dan mengajar mereka dengan pendekatan dan perlakuan khusus sesuai dengan keadaan mereka masing-masing.
Indeks Prestasi

Post a Comment