Estetika Pemilu

Estetika Pemilu

Sudjito  ;   Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO,  25 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Ha..ha..ha.., pemilihan umum (pemilu) ternyata indah. Keindahannya bak pelangi. Begitu banyak warna-warni bendera partai menghiasi. Tak terbilang aneka tingkah laku bikin orang menjadi geli.

Tak kurang pula orang acuh maupun tak peduli. Akan tetapi sangat disayangkan, bila berbuntut anarki. Apa pun yang terjadi maupun yang tak terjadi, bila diterima sepenuh hati, tanpa emosi, dalam keutuhannya, pemilu tampak indah tak terperi. Sesuai jadwal, kampanye marak, menggelegar, di manamana. Mereka sedang mengumbar janji-janji. Katanya, bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk negeri. Akan merakyat, bila nanti terpilih sebagai wakil rakyat.

Tidak akan korupsi, betapapun haus akan materi duniawi. Sepertinya mereka sadar dan mengerti bahwa negeri ini sedang ”sakit” karena ulah para politisi yang gemar korupsi. Seakan mereka ingin kembali dari jalan sesat menuju jalan lurus, jalan suci yang diberkahi ilahi. Sekali-sekali, ditampakkanlah rasa sedih hati, agar calon-calon pemilih simpati mau memilihnya sebagai anggota badan legislatif. Jangan lupa. Ada calon anggota legislatif (caleg) yang tragis ”bunuh diri”.

Maunya bersemedi di gua yang sepi agar diperoleh wangsit dan kekuatan untuk memenangkan persaingan yang kadang-kadang keji. Ada pula calon terjangkiti sakit mental, mau mundur malu, akan tetapi terus maju, tabungan terus tergerogoti. Katanya ingin berlaku jujur dan simpati, tidak obral janji. Tetapi, mana mungkin, kampanye butuh uang, untuk beli bendera, untuk uang saku kader-kader, untuk makan-minum pertemuan dengan calon pemilih, untuk berbagai fasilitas.

Hanya dengan cara begitu, caleg dikenal dan populer. Mana mungkin kampanye dalam kesunyian. Kata orang, ”tak ada makan siang gratis”. Ada pula caleg tak perlu jaga gengsi. Dalam kesadaran diri akan kompleksitas dan mahalnya jabatan, lebih baik angkat kaki sebelum bertarung, lempar handuk sebelum bertinju. Secara politis dan sosiologis, sikap demikian memang aneh dan memalukan, tetapi aman dan nyaman. Mundur lebih terhormat daripada terus melaju tetapi babak belur. 

Masih adakah moralitas dalam pemilu? Relevankah membahasnya? Bila pandangan diluaskan sampai ke ranah spiritual, sebenarnya di negeri ini masih banyak pencinta keindahan dan kebaikan. Sebagian dari mereka, berjibaku melawan musuh- musuhnya—tiada lain orang-orang yang hidup dalam ”kegelapan” batin.

Secara kasatmata, musuh-musuh itu tampak indah sebagai pejabat berdasi, mobilnya mercy, rumahnya kukuh menjulang tinggi. Jangan tanya dari mana semua itu diperoleh? Siapa sangka dia santri, mertuanya agamawan bereputasi tinggi, memiliki pesantren kesohor, eh..eh..eh... ketahuan boroknya ketika dinobatkan sebagai tersangka korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Awam terhenyak, tak percaya tapi nyata, penampilan nan indah menawan, ternyata hanya kamuflase. Indahnya penampilan bukan pancaran indahnya hati. Ujungnya, membuat orangorang menjadi benci. Kepada caleg-caleg, layak disegarkan ingatan terhadap bukti- bukti pada koruptor pendahulunya, agar mereka tidak menyesal di kemudian hari. Ini bukan berarti benci terhadap politisi. Bukan. Kebencian hanya tertuju kepada tindak koruptif dan manipulatif.

Tidak ada dendam di antara sesama komponen bangsa. Kelembutan, kasih sayang, dan empati mampu mengubah politisi korup menjadi pejuang pemberani. Umar bin Khatab dulunya gali, tetapi atas kehendak ilahi, setelah bertobat masuk Islam menjadi pemimpinan disegani. Jangan lupakan contoh ini. Pemilu boleh jadi sarat kejahatan. Gede Prama memberi pencerahan, dari segi asal-muasal kata, devil (kejahatan) berasal dari kata divine (kesucian).

Kejahatan adalah kesucian yang sedang berevolusi (devil is an evolving divine). Jadi, ada bibit kesucian dalam kejahatan. Ia mirip kotoran kucing. Baunya tidak enak. Tapi bila diletakkan di bawah pohon bunga, suatu waktu ia jadi bunga yang indah. Lebih mudah menerangi kegelapan dengan menyikapi penjahat sebagai sahabat, dibandingkan menempatkan penjahat sebagai musuh yang mesti dibasmi. Maknanya, pemilu akan indah bila disikapi dengan bijak, bak mengubah kotoran kucing menjadi pupuk. Pohon yang kita pupuk adalah negeri ini.

Pemilu kali ini diikuti dua belas partai politik kontestan. Mereka berhadap-hadapan sebagai pesaing. Ada yang berpikir tentang perlunya koalisi. Koalisi, boleh jadi merupakan sintesis perbedaan dan persamaan platform, sehingga dari sintesis muncul kekuatan baru. Alangkah indahnya bila koalisi didasarkan motif memaksimalkan pengabdian kepada negeri, dan bukan sekadar menambah jumlah kursi.

Koalisi tidak untuk menyingkirkan partai lain. Koalisi menjadi indah, bagaikan menyatunya warna-warni pelangi. Bila demikian, ke depan, perampingan jumlah partai politik kontestan pemilu menjadi bermakna tinggi. Bangsa ini pasti bahagia, mendukung sepenuh hati. Kita berharap pemilu berlangsung damai. Kedamaian merupakan suasana batin yang tenang. Pemilu damai akan terwujud bila diikuti peserta yang batinnya tak bergejolak.

Kapan batin tenang? Kalau peserta pemilu mampu menjaga jarak, menempatkan peserta lain sebagai sahabat, ada tegur sapa, pantang caci maki, apalagi fitnah dan durhaka. Dari sikap batin demikian, pemilu damai menjadi pesta demokrasi dan simfoni kehidupan bernegara yang indah. Pemilu tinggal menghitung hari. Sebagaimana gelapnya malam, akan menjadi terang ketika terbit matahari pagi.

Dapatkah pernik-pernik pemilu dikelola menjadi sinar terang, hangat dan menyehatkan? Kenapa tidak! Bisa, bila perbedaan dimaknakan sebagai petunjuk akan kelebihan dan kekurangan pada masing-masing, dan oleh karenanya, bertemu dalam perbedaan menjadi ajang dialog, saling bertanya dan menjawab, saling memberi dan melengkapi. Estetika pemilu adalah keindahan berlomba-lomba dalam kebaikan dan rela berkorban demi kejayaan negeri. Wallahu’alam.
Indeks Prestasi

Post a Comment