Harapan Kemajuan EkonomiFX Sugiyanto ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro |
SUARA MERDEKA, 25 Maret 2014
BILA meyakini pemilu sebagai proses berdemokrasi, kita punya harapan besar tercapainya kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang menjadi sumpah, komitmen, dan tujuan sebagai bangsa. Namun itu pun mengandaikan demokrasi melahirkan kebebasan nyata, sebagaimana dikatakan Amartya Sen (1999). Dalam pandangan Sen, kebebasan merupakan ìmesin perubahanî bagi tiap orang yang akan meningkatkan kapabilitas untuk keluar dari kemiskinan. Pandangan itu sejalan dengan teori pembangunan yang berevolusi, dari pandangan modal sebagai sumber pertumbuhan ekonomi ke arah modal insani (human capital), kemudian demokrasi dan kelembagaan sebagai penggerak pembangunan (Meier & Stiglitz, 2001). Evolusi tersebut selaras dengan pandangan mengenai sebab-sebab kemiskinan. Awalnya ada anggapan kemiskinan disebabkan hanya karena ketiadaan akses kepada sumber daya, dan kemudian bergerak ke arah pandangan karena rendahnya mutu modal insani, rendahnya tingkat demokrasi dan lemahnya kelembagaan. (Kanbur & Squire, 2001). Searah berbagai pandangan tersebut, tujuan pembangunan bergeser, dari sekadar meningkatkan pendapatan per kapita ke arah pertumbuhan berkualitas, dengan kualitas hidup sebagai standar mutu pembangunan. Dalam perkembangan perspektif itu, kita menghadapi masalah serius pada strategi pembangunan. Kualitas pertumbuhan ekonomi kita makin memburuk. Pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat dalam 5 tahun terakhir (2009:5,60%, 2010: 6,81%, 2011: 6,44%, 2012: 6,18%, 2013: 5,72%), tetapi distribusi pendapatan cenderung memburuk yang dicerminkan oleh Indeks Gini yang makin meningkat (2009:0,37; 2010: 0,39; 2011; 0,41; 2012: 0,41; dan 2013: 0.413). Memburuknya kualitas pertumbuhan itu merupakan sinyal perlunya perubahan strategi pembangunan ekonomi, bukan hanya mengedepankan akumulasi modal sebagai motor pertumbuhan ekonomi melainkan akumulasi modal insani dan pemanfaatan modal sosial sebagai penggerak pertumbuhan. Demokrasi diyakini mampu menjadi pendorong ketercapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Cukup banyak studi empiris mendukung pendapat tersebut. Alesina (1997) menunjukkan demokrasi berkorelasi kuat dan signifikan terhadap kualitas birokrasi. Makin kuat lembaga-lembaga demokrasi, di antaranya media massa, mengawasi lembaga dan birokrasi yang korup, makin tinggi pula kualitas birokrasi. Sementara Rivera dan Batiz (1999) menunjukkan makin tinggi kualitas birokrasi, makin tinggi pula pertumbuhan ekonomi, khususnya yang bersumber dari peran total factor productivity (TFP). Secara akademik masih sering terjadi perdebatan mengenai kausalitas demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi. Tapi tak bisa disangkal demokrasi memicu meningkatnya keterbukaan, kompetisi dan arus informasi yang akan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. (Tim Kane dkk, 2007). Daya saing ekonomi Indonesia saat ini masih sangat rendah; urutan ke-38 dari 148 negara (WEF, 2013-2014). Rendahnya daya saing ekonomi Indonesia tersebut disebabkan oleh buruknya birokrasi dan lemahnya penerapan penegakan hukum, yang tercermin dari masih tingginya tingkat korupsi (SM, 17/9/13). Banyaknya pejabat dan mantan pejabat negara tersandung kasus korupsi menguatkan pendapat masih buruknya birokrasi dan kelembagaan kita. Sampai akhir Desember 2013, ada 312 kepala daerah, wakil kepala daerah dan mantan kepala daerah tersangkut masalah hukum, dan 270 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Itu belum termasuk anggota DPR, DPRD dan pejabat negara lain yang tersangkut masalah korupsi. Modal Sosial Demokrasi seharusnya juga teratikulasikan dalam bentuk modal sosial, sebagai kekuatan pertumbuhan ekonomi. Dalam bukunya, Identity and Violence: The Illusion of Density (2006) Amartya Sen memaknai kebebasan nyata sebagai kesadaran dan kemampuan kita untuk memformulasikan kenyataan perbedaan identitas sebagai kekuatan kultural sehingga menjadi modal sosial untuk kemajuan ekonomi. Manusia pada dasarnya mempunyai banyak identitas, yang bisa berkesamaan atau berbeda satu sama lain. Bisa identitas kesukuan, agama, ras, warna kulit, kedaerahan, bahasa, pendidikan, profesi, dan banyak identitas lain. Tiap orang bisa menentukan dan memilih bentuk afiliasi dan kriteria. Ruang dialog makin terbuka lebar bila bukan hanya satu kriteria yang digunakan untuk berafiliasi dan berasosiasi. Indonesia, dengan keragamannya, mempunyai modal sosial kuat untuk mencapai kemajuan ekonomi yang lebih pesat. Kita mempunyai sejarah dan pengalaman panjang mengelola perbedaan tersebut. Buktinya, para pendiri bangsa ini mampu memformulasikannya menjadi bentuk negara dan bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Karena itu menjadi kewajiban dan tanggung jawab generasi pascapendiri bangsa ini untuk merawatnya. Bermodal kedewasaan, kita berharap pemilu kali ini tidak menjadi ajang mengeksploitasi perbedaan identitas yang cenderung eksklusif. Sebaliknya, inklusivitas sebagai bangsa seharusnya menjadi modal sosial untuk maju ke depan. Dalam perspektif peningkatan kualitas demokrasi tersebut, Pemilu 2014, baik legislatif maupun presiden kali ini, diharapkan menghasilkan birokrasi yang lebih berkualitas, dan membaiknya penerapan penegakan hukum. Dengan begitu, kita makin punya harapan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. ● |
Post a Comment