Hilangnya MH370 dan Aviation Base EconomyRhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan |
KORAN SINDO, 27 Maret 2014
Selama hampir tiga minggu belakangan, kita menyaksikan drama pencarian besar-besaran atas hilangnya pesawat Boeing 777-200ER milik Malaysia Airlines (MAS) dengan kode penerbangan MH370. Melihat banyaknya pihak yang terlibat (26 negara, puluhan pesawat—termasuk pesawat canggih semacam P-3 Orion milik Australia, P-8 Poseidon dari Amerika Serikat, dan Ilyushin milik China—juga puluhan kapal, satelit Inmarsat dari Inggris dan satelit Gaofen- 1 milik China plus ratusan satelit lain dari berbagai negara), boleh dibilang ini adalah upaya pencarian terbesar di dunia. Senin, 24 Maret 2014, upaya pencarian itu menemukan titik terang. PM Malaysia Najib Razak mengumumkan penerbangan MH370 berakhir di Samudra Hindia. Kenyataan yang pahit bagi keluarga korban, pihak MAS dan pemerintah Malaysia, dan kita semua, yang berharap masih ada keajaiban dalam musibah tersebut. Kali ini rupanya keajaiban itu tidak datang. Dalam beberapa minggu ke depan, kita masih akan menyaksikan babakbabak lanjutan dari drama MH370. Ada drama tentang upaya mengungkap misteri mengapa pesawat yang tujuannya ke Beijing, China, bisa berbelok arah begitu jauh ke Samudra Hindia, dekat dengan Perth, Australia. Di sini, upaya menemukan kotak hitam (black box) akan menjadi pusatnya. Sebagian drama juga akan bercerita tentang ratap tangis para keluarga dan reaksi penolakan mereka terhadap pernyataan PM Najib Razak. Mereka akan terus menuntut adanya bukti fisik berupa puing-puing, dan mungkin jenazah para korban, yang mengonfirmasi bahwa pesawat MH370 benar-benar jatuh. Jadi, berita-berita tentang hilangnya MH370 masih akan terus bergulir mungkin hingga beberapa pekan mendatang. Aviation Base Economy Jatuhnya pesawat MH370 bukan hanya pukulan bagi keluarga korban, pihak MAS dan pemerintah Malaysia, melainkan juga bagi industri penerbangan. Pasalnya, abad ke-21 adalah era Aviation Base Economy. Akan semakin banyak kegiatan ekonomi yang bergantung dan ditopang oleh industri penerbangan dan infrastruktur pendukungnya. Di KORAN SINDO edisi 27 Februari 2014, saya pernah mengulas bahwa selama kurun waktu 2012 hingga 2032, menurut proyeksi International Air Transport Association (IATA), industri penerbangan bakal tumbuh secara fantastis. Jumlah penumpang dan barang diperkirakan tumbuh sekitar tiga kali lipat. Era ini dipicu, antara lain, oleh menguatnya tuntutan akan kecepatan layanan transportasi serta terus berkembangnya industri penerbangan dan infrastruktur pendukungnya. Industri penerbangan kini mampu membangun pesawat-pesawat yang berukuran lebih besar, tetapi sekaligus juga mampu terbang lebih lama, lebih cepat, dan lebih hemat bahan bakar. Sementara itu, bandara-bandara kian mampu didarati pesawat-pesawat berukuran besar, lebih mudah diakses oleh para penumpang, dan lebih lengkap fasilitas pendukungnya, seperti pergudangan, perhotelan, pusat perbelanjaan, dan perkantoran. Peningkatan kapasitas ini tentu memungkinkan perusahaan penerbangan mengangkut lebih banyak barang. Kini volume angkutan barang-barang yang tergolong cepat rusak, seperti sayur-sayuran, bunga potong, ikan, dan produk-produk farmasi terus meningkat. Bahkan, kini mayoritas berbagai produk gadget juga diangkut dengan pesawat. Adanya pusat perbelanjaan, perhotelan, fasilitas perkantoran, dan ruang-ruang meeting juga membuat semakin banyak penumpang lebih suka menyelesaikan urusan bisnisnya di bandara. Mereka tak perlu masuk ke pusat kota hanya untuk melakukan rapat-rapat bisnis dengan risiko terjebak kemacetan. Berkat daya dukungnya yang terus meningkat, tak heran kalau banyak kalangan menyebut industri penerbangan sebagai the real world wide web (www). Kita juga bisa menyebutnya sebagai jaringan internet yang bersifat fisik, bukan lagi maya. Ketatnya regulasi sebagai akibat tingginya tuntutan akan keselamatan juga menjadikan penerbangan sebagai moda transportasi yang paling aman di dunia. Laporan Daily Mail pada Februari 2013 menyebutkan, kecelakaan penerbangan yang berakibat kematian hanya 0,5 per miliar mil perjalanan. Sementara itu, risiko pada moda transportasi lainnya relatif lebih tinggi. Misalnya dengan sepeda motor mencapai 125 kematian per miliar mil, bermobil 4 kematian, feri 20, bersepeda 35, bahkan jalan kaki 41. Hanya dua moda transportasi yang angkanya sama dan lebih rendah, yakni bus yang 0,5 dan kereta 0,2. Hanya Terapi Kejut Hilangnya pesawat MH370 tentu membuat kita bertanya-tanya soal isu safety. Beberapa kalangan menduga kasus ini bukan hanya bakal memukul produsen pesawat Boeing, melainkan juga industri penerbangan dunia. Pada kasus 911, para penumpang kemudian menjadi enggan bepergian dengan pesawat udara. Namun, saya optimistis pukulan itu hanya bersifat sementara. Hanya semacam terapi kejut. Jika membaca trennya, bola salju dari fenomena Aviation Base Economy sudah begitu kencang bergulir, terutama di kawasan Asia-Pasifik, sehingga sulit untuk ditahan. Bahkan oleh kasus hilangnya MH370 sekalipun. Buktinya saat pesawat dinyatakan hilang, puluhan mahasiswa saya memilih untuk meneruskan petualangan one student-one-nation. Masalah hanya ada pada satu airline saja dan mereka punya pilihan lain. Mungkin sampai black box ditemukan dan kasus ini terungkap, untuk sementara masyarakat cenderung menghindar bepergian dengan MAS. Meski begitu, transportasi udara akan tetap menjadi pilihan utama masyarakat yang ingin bepergian dalam jarak jauh. Mereka mungkin akan memilih maskapai penerbangan dari negara-negara lain, kecuali jika ada alternatif penggantinya. Di China, hal semacam ini terjadi. Hadirnya kereta supercepat Jinghu High Speed Railway memang membuat banyak masyarakat yang ingin bepergian dari Beijing ke Shanghai, dan sebaliknya, mengalihkan moda transportasinya dari udara ke darat. Akan tetapi berapa banyak negara yang seperti China? ● |
Post a Comment