Kematian KPK

Kematian KPK

Roby Arya Brata  ;   Pengamat Antikorupsi, Hukum, dan Kebijakan
TEMPO.CO,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Komisi Pemberantasan Korupsi kini kembali harus menghadapi serangan legislatif (legislative attack) yang dapat mengantarkan pada "kematiannya". Kini, kekuatan korup di pemerintahan dan DPR mencoba melemahkan KPK melalui revisi KUHP dan KUHAP. Seperti "operasi klandestin" (clandestine operation) dalam dunia intelijen/militer, mereka secara diam-diam dan sistematik memereteli kewenangan KPK dan gerakan pemberantasan korupsi.

Apabila nanti kekuatan korup tersebut berhasil mengesahkan RUU KUHAP, pada hakikatnya KPK sudah bubar. Dengan melumpuhkan kewenangan penindakan KPK, fungsi KPK nanti tak lebih dari lembaga pencegah korupsi yang bersifat advokatif.

Sebagaimana telah dilansir oleh Koalisi Masyarakat Antikorupsi, revisi KUHP dan KUHAP tersebut berpotensi melemahkan KPK dan gerakan pemberantasan korupsi dari 12 sisi. Ke-12 serangan yang mematikan tersebut adalah, penyadapan harus mendapat izin dari hakim pemeriksa pendahuluan; penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim pemeriksa pendahuluan; putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung; putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat daripada putusan pengadilan tinggi; dan tidak diaturnya ketentuan pembuktian terbalik.

Selain itu, penuntutan suatu perkara dapat dihentikan oleh hakim pemeriksa pendahuluan; penyidik tidak memiliki wewenang memperpanjang penahanan; masa penahanan tersangka dipersingkat; hakim pemeriksa pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik; dihapuskannya ketentuan penyelidikan; KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP; dan penyitaan harus seizin hakim pemeriksa pendahuluan.

Karena itu, untuk mencegah pelemahan dan "pembunuhan" KPK serta gerakan pemberantasan korupsi melalui revisi KUHP dan KUHAP, ada beberapa langkah yang perlu segera dilakukan oleh gerakan/kekuatan atau koalisi masyarakat antikorupsi. Pertama, mendesak pemerintah dan DPR untuk segera menghentikan proses pembahasan RUU KUHP dan KUHAP! Selain karena proses pembahasannya "cacat hukum", adalah tidak rasional/tidak masuk akal perubahan KUHP dan KUHAP diserahkan kepada mereka yang terindikasi terlibat dalam kasus korupsi dan/atau memiliki kepentingan untuk melemahkan KPK serta gerakan pemberantasan korupsi (conflict of interest).

Dan kedua, mengganti para ketua tim perancang RUU KUHP dan KUHAP. Muladi adalah petinggi dan politikus Golkar, partai yang beberapa petingginya tersangkut masalah korupsi. Ia akan sulit memerankan sebagai ilmuwan hukum, namun akan lebih berperan sebagai politikus yang (bukan tidak mungkin) memiliki agenda tersembunyi dalam perumusan RUU KUHP dan KUHAP tersebut. Namun, apabila pemerintah dan DPR ngotot memaksakan penyelesaian pembahasan RUU KUHP dan KUHAP sebelum April atau Oktober tahun ini, mereka harus melibatkan KPK (dan penegak hukum lain) dan Koalisi Masyarakat Antikorupsi dalam proses pembahasan tersebut. Dalam pembahasan ini, KPK dan Koalisi Masyarakat Antikorupsi harus mencegah pelemahan dan "pembunuhan" KPK serta gerakan pemberantasan korupsi melalui 12 cara pelemahan dalam RUU KUHP dan KUHAP di atas.

Bila ternyata nanti pemerintah dan DPR tetap berkukuh pada rancangan KUHP dan KUHAP semula, KPK dan Koalisi Masyarakat Antikorupsi harus menyatakan mundur dari proses pembahasan. Pernyataan mundur dan penolakan terhadap substansi RUU KUHP dan KUHAP harus dinyatakan dalam suatu deklarasi resmi yang dipublikasikan secara luas.

Sebagai kompromi, bila pemerintah dan DPR tetap memaksakan kehendak, perlu dirumuskan pasal dalam ketentuan peralihan RUU KUHAP. Rumusan pasal itu adalah: "Ketentuan hukum acara pidana dari undang-undang di luar KUHP tetap berlaku sepanjang undang-undang tersebut tidak menentukan lain." Ketentuan peralihan lain, baik untuk revisi KUHP maupun KUHAP, adalah, "Undang-undang ini berlaku satu tahun sejak diundangkan."

Kedua peraturan peralihan ini dirumuskan agar ketentuan KUHAP yang melemahkan KPK dan penindakan tindak pidana korupsi tidak berlaku bagi KPK. Namun KPK dan Koalisi Masyarakat Antikorupsi harus memanfaatkan waktu satu tahun tersebut untuk merevisi dan memperkuat ketentuan materiil dan hukum acara dalam Undang-Undang Tipikor dan KPK.

Bila nanti pada akhirnya pemerintah dan DPR berhasil mengesahkan RUU KUHP dan KUHAP, sekali lagi KPK dan Koalisi Masyarakat Antikorupsi menyatakan menolak KUHP dan KUHAP tersebut dalam suatu deklarasi resmi. Tujuannya untuk secara sosiologis mendelegitimasi pemberlakuan KUHP dan KUHAP itu.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, yang konon pro-gerakan pemberantasan korupsi, harus sekuat tenaga menghentikan proses pembahasan RUU KUHP dan KUHAP itu. Bila dia gagal, bahkan ternyata justru mendukung perumusan RUU KUHP dan KUHAP yang melemahkan demikian, ia harus mundur dari jabatannya.

KPK dan Koalisi Masyarakat Antikorupsi kemudian harus segera mengajukan permohonan pengujian konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang melemahkan KPK dan gerakan pemberantasan korupsi.
Indeks Prestasi

Post a Comment