Kembali ke Hati Nurani

Kembali ke Hati Nurani

Winarta Adisubrata  ;   Wartawan Senior
SINAR HARAPAN, 29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Untuk mengukur suatu keberhasilan, tentu berdasarkan “hasil” yang tercapai. Itu tergantung pula oleh dan untuk siapa pengukuran dilakukan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Umum Partai Demokrat menyatakan pemerintah sekarang telah berhasil. Namun, tanpa merinci dan menjelaskan “berhasil” dalam bidang atau hal apa.

Semakin gencarnya pemberitaan melalui berbagai media menjelang pemilihan umum (pemilu), sedikitnya enam nama melejit ke peringkat nasional.

Keenamnya adalah Akil Mochtar, Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishaaq, Anis Matta, Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, dan Atut Chosiyah. Mereka (hampir) semua dengan jabatan dan tanggung jawab berperingkat  nasional dari berbagai lembaga pemerintahan, seperti Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Umum Partai Demokrat, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, menteri pemuda dan olahraga, anggota DPR, serta gubernur.

Penulis yang ketika pemilu pertama pada 1955 baru menjadi mahasiswa kedokteran tingkat awal di Universitas Airlangga ikut berjaga di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) dekat Kampus Kandang Menjangan, Surabaya.

Penulis masih belum paham, bahkan hingga sekarang yang hampir enam dasawarsa kemudian, betapa muskil, bahkan mustahilnya dapat terlaksana upaya memilih kekuasaan yang demokratis melalui pemerintahan, seperti diangankan prinsip trias politica Montesquieu dari abad ke-18.

Secara praktik, bahkan ini tak mungkin terlaksana ideal. Itu karena pemilihan yang teorinya buatan  manusia itu mustahil mencegah campur-aduknya tiga kekuasaan demokrasi, legislatif, eksekutif, dan yudikatif), bahkan setelah dikontrol pilar keempat bernama media, yang kini bahkan telah membengkak tanpa terkendali. Media ini mencakup “jurnalistik” yang bisa dilaksanakan setiap warga negara (citizen journalist).

Kita ingat seterang-benderangnya siang hari demokrasi liberal harus bertabrakan dengan berkepanjangannya uzur pergolakan peperangan revolusi yang ditingkahkan oleh ekses perpecahan.

Itu karena dari perbedaan ideologi, harus ditumpas berbagai makar dan pemberontakan sehingga demokrasi liberal sampai secara terpimpin melewati gaya Orde Baru hingga Reformasi tetap saja tak pernah mampu mengendalikan kekuasaan yang di atas kertas “sudah merdeka”.

Namun, jika dibandingkan ketika masih dijajah, sekarang bahkan masih terjajah “kerakusan akan segala”, kita rela menzalimi bangsa sendiri.

Demokrasi yang sudah tersulap dengan gaya Orde Baru dan Reformasi selama setengah abad terakhir bahkan lebih mengesampingkan kepentingan rakyat banyak. Hanya karena (sistem) kontrol dari luar (oleh media) dan dari dalam (oleh badan lefislatif dan yudikatif), pelaksana pemerintahan (badan eksekutif bernama pemerintah) “mati kutu”. Itu karena mereka yang selalu berada di ketiga pilar (seperti nyata-nyata selama 10 tahun terkahir) mampu dan lebih daripada mau benar berjamaah untuk berkorupsi bersama-sama, beramai-ramai, di seluruh wilayah Tanah Air, tanpa kecuali.

Ternyata dan berbukti di depan mata bangsa ini setiap hari bahkan saban detik, keterpilahan antara tiga unsur pilar demokrasi lumpuh, tidak bisa jalan. Bahkan, kepolisian dan ketentaraan tidak ketinggalan.

Media pun termasuk yang paling canggih, sekalipun bukan saja tak digubris, karena nyaris tiada yang tak terbeli. Jurnalistik warga negara pun tak bermakna  karena setiap pejabat bisa mempunyai dan membeli media dalam rupa dan bentuk yang mana saja.

Apakah di Indonesia abad ke-21 ini tetap sulit atau bahkan mustahil mencapai cita-cita kemerdeakaan, seperti tergurat di mukadimah UUD 1945?  Karena kita yang terdidik agama, hampir tanpa kecuali lebih percaya dan “memiih” gemar berjamaah juga dalam menjalankan segala yang bertentangan dengan yang digariskan agama mana pun!

Kita mungkin selalu berbangga diri karena memiliki kegemaran berkata atau bicara lemah lembut. Begitulah budaya serta sopan santun kita berbahasa. Itu karena kita memang memiliki bahasa yang kaya dan terdukung ratusan bahasa daerah yang mampu menghaluskan setiap kata. Jadi, makna dan maksud dari setiap kata yang digunakan semakin kabur, makna dan maksudnya. Bahkan sama sekali lain dari yang dikehendaki dan berbeda dengan yang kita niatkan dan maksudkan dalam hati.

Mungkinkah di kemudian hari, kita semakin rancu memaknai arti kata “haram” sehingga akhirnya kata itu menjadi padanan “halal”. Kini sudah separuh dari seluruh negeri dikuasai para calon alumnus bui korupsi.

Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat, maupun setiap partai peserta pemilu dalam kampanye, mereka juga berseru dengan menjanjikan “Indonesia bakal berubah dan maju”. Penulis ingat akan bisikan keprihatinan Ketua Dewan Pers Profesor Bagir Manan, lebih dari setahun lalu.

Beliau mengucapkan, “Di bawah empat mata.” di kantornya di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih. Katanya, “Kita sudah kehilangan akal sehat dan hati nurani.” Ucapan penuh keprihatinan itu tentu bukan sekadar “jeritan hati” seseorang. Sebelumnya, ia telah mencoba mengatakannya ke dua atau tiga orang lain, termasuk Jenderal Try Sutrisno, Prof Sri Edhi Swasono, dan jika tak salah ingat juga kepada  Agung Laksono.

Ketika mendengar keprihatinan itu, penulis juga tidak mampu menjawab atau berkata sepatah kata pun, kecuali diam seribu bahasa. Ketidakmampuan penulis menjawab keresahan Prof Bagir tersebut karena keraiban itu tak dapat dicari gantinya, kecuali oleh yang raib itu.

Keraiban akal sehat dan hati nurani itu hanya dapat dijawab oleh yang raib itu sendiri. Pak Bagir menyimpulkan, dalam mengobrol di bawah empat mata, sebenarnya lebih tepat jika ia sekadar bermonolog alias seorang diri, tak ada jawab dari mereka yang sudah dicobanya untuk mendapat tantangan balik. Itu semata karena kesamaan kepentingan dengan mereka yang sudah raib akal sehat dan hati nuraninya.

Secara primitif, penulis cuma dapat merenungi keraiban akal sehat dan nurani kita, yang hanya terjawab oleh keraiban itu sendiri. Bisa juga mutlak kita sudah terbungkam keserakahan dan tega yang berlarut-larut dalam berdemokrasi, dengan gaya Orde Baru dan Reformasi.

Menutup tulisan yang cuma secuil ini, penulis cuma ingin menukil kembali  yang “di atas kertas” secara nasional telah disepakati sebagai Bangsa. Ini seperti yang tercantum dalam mukadimah UUD 1945 dan yang biasa diparafrasekan dalam lima prinsip, Pancasila.

Mungkin bukan suatu kebetulan jika lima kalimat pertama Serat Sabda Jati dari pujangga Jawa Raden Ngabei Ranggawarsita juga kongruen dengan mukadimah UUD kita.

Sebaris kalimat pertama dari Serat Sabda Jati penulis kutip di bawah ini karena juga cuma terdiri dari lima kata, “Hawya pegat ngudhiya ronging budhyayu.” (Jangan jera menelusuri “liang” budyayu (budi nan baik). Teriring permohonan maaf penulis kepada Prof Dr Bagir Manan.
Indeks Prestasi

Post a Comment