Kembali kepada Sistem MPRHarry Tjan Silalahi ; Peneliti Senior CSIS |
KOMPAS, 12 Maret 2014
| SULIT dimungkiri bahwa praksis ketatanegaraan (politik dan pemerintahan) dewasa ini telah menumbuhkan ketidakpuasan publik terkait dengan hasil dan keefektifannya meningkatkan sekaligus memeratakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Yang berlangsung adalah liberalisme yang kebablasan di hampir semua bidang kehidupan. Dalam tata kelola pemerintahan, jenis kelamin sistem yang diterapkan tak jelas: bukan presidensial, bukan parlementer, bukan pula campuran atas keduanya. Klaim bahwa sistem ini mengadopsi mekanisme checks and balances pun terbantahkan dengan sendirinya oleh penerapan koalisi politik dalam kabinet pemerintah yang dipimpin presiden-wakil presiden terpilih dan yang pada dasarnya ”menguasai” mayoritas suara (kursi) di DPR. Namun, koalisi politik yang terbangun tak mengenal disiplin etika. Kekuatan politik anggota koalisi dapat dengan bebas berbeda pendirian politik dengan induk koalisinya tanpa punya beban etika dan terkena sanksi politis. Munculnya pertentangan Ini semua mendorong munculnya pertentangan tajam antara mereka yang menggugat dan yang mendukung demokrasi untuk dipertahankan di negeri ini. Tak bisa dihindari, tumbuhnya anggapan bahwa praksis buruk ketatanegaraan ini akibat substansi yang ambigu dalam UUD 1945 hasil empat kali amandemen dalam kurun 1999-2003. Ambiguitas substantif itu pada dasarnya merupakan pernyataan penyimpangan batang tubuh UUD 1945 dari gagasan inti yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia, yang tak pernah berubah substansi bahkan redaksionalnya. Atas dasar itu, tampaknya ada kebutuhan kaji ulang UUD 1945. Dalam hal ini fokusnya adalah konstruksi konstitusional ketatanegaraan RI. Dalam kaitan itu, layak dicermati kembali sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sistem MPR adalah sistem sendiri, orisinal, dan otentik hasil pemikiran para pendiri bangsa negara kita. Namun, sistem ini tampaknya belum menemukan balance course-nya dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan Indonesia. Praamandemen UUD 1945 (masa Orde Baru) MPR mewujud sebagai suatu totalitas yang dikendalikan kuasa otoritarian. Sebagai lembaga tertinggi negara saat itu, MPR adalah boneka yang dimanfaatkan ambisi dan kepentingan kuasa kelompok terbatas. Pasca amandemen (masa Reformasi), MPR hanyalah lembaga tanpa sistem: ada fisiknya, tetapi tiada jiwa dan peran konstitusionalnya. Karena itu, mempertimbangkan kembali sistem MPR, penjabarannya tak berarti kembali ke UUD 1945 secara total dan persis sama seperti pada masa penerapannya di masa praamandemen. Namun, harus dikembangkan juga perangkat yang fundamental dan instrumental meniscayakan perwujudan prinsip rakyat berdaulat, kekuasaan politik yang terbagi agar tak jadi sewenang-wenang, dan kebersamaan sebagai terjemahan dari Kebangsaan Indonesia. Demikian pula prinsip lain dari ”kebajikan” masyarakat bangsa Indonesia yang secara padat bernas terumuskan dalam Pancasila serta terserap dan terjabarkan dalam isi Penjelasan UUD 1945. Sistem MPR adalah sistem gotong royong. Itu juga berarti bahwa kembali ke sistem MPR perlu mengadopsi pasal-pasal yang relevan dari hasil empat kali amandemen terhadap UUD 1945 seperti pembatasan dua kali masa jabatan presiden, juga kepala eksekutif pada pemerintahan di daerah; penjaminan hak asasi manusia serta hak demokrasi warga negara, dan penguatan paham negara hukum (bukan negara kekuasaan) dengan menata secara teliti dan disiplin proses pembuatan undang-undang. Selain itu, perlu juga dikembangkan penguatan tata kelola politik dan pemerintahan yang konsisten dalam pemberlakuan prinsipnya di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Harus dapat dibayangkan, misalnya, keputusan MK tentang pemilu serentak nasional pada 2019 yang merujuk pada original intent para perumus amandemen UUD 1945 terkait dengan prinsip ”keserentakan pemilu eksekutif dan legislatif”. Jika mau konsisten dalam penyelenggaraannya, prinsip itu harus juga berlaku pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Jika ini diakuri, pemilu legislatif untuk provinsi dan kabupaten/kota harus dikeluarkan dari penyelenggaraan pemilu serentak nasional 2019, dan serta-merta dimasukkan dalam pemilu serentak provinsi, dan pemilu serentak kabupaten/kota. Dengan mengembangkan sistem MPR dalam tata kelola poli- tik dan pemerintahan seperti itu, dapat dipastikan jaminan pada satu sisi penyelenggaraan prinsip rakyat berdaulat dan pada sisi lain kepastian tak akan terjadi konsentrasi seluruh kekuasaan di tangan presiden yang sebenarnya juga sudah terjamin dalam UUD 1945 karena presiden bertanggung jawab kepada MPR. Maka, kecenderungan otoritarianisme juga dapat dicegah pada tingkat nasional dan daerah. Ini juga meniscayakan, mungkin sekali, upaya mengubah kelembagaan hubungan pusat-daerah. Pesan utama kembali kepada sistem MPR: penegasan bahwa MPR adalah pelaksana prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan pengejawantahan langsung konstitusi RI: UUD 1945. Sebagai suatu sistem, MPR mewujud paling kurang dalam empat peran utama: menetapkan dan mengesahkan UUD; melakukan judicial review atas UU terhadap UUD RI; menjabarkan pasal khusus dalam UUD RI jadi prioritas penyelenggaraan kebijakan oleh pemerintahan terpilih sebagai wujud kebijakan afirmasi negara, yang di dalam sistem MPR disebut GBHN; menerima dan memutuskan usul pemakzulan terhadap presiden yang diajukan bersama DPR (dan DPD). Jika tawaran kembali kepada sistem MPR sebagai yang otentik Indonesia diterima, tugas selanjutnya secara konstitusional para pemegang kedaulatan rakyat yang berwenang menginisiasi kaji ulang UUD 1945: MPR sendiri. Apakah MPR akan membentuk komisi pengkaji ulang UUD 1945, ataukah mengelaborasi kritis atas konstitusi Indonesia, ini akan merupakan kewenangan mereka menentukannya. Namun, gagasan tentang sistem MPR sebagai yang otentik Indonesia tak termungkiri dan, sebab itu, sangat layak dan sahih dikembangkan. Untuk itulah gagasan ini ditawarkan kepada partai dalam Pemilu 2014, calon presiden/ wapres prospektif yang akan turut dalam kontes pemilihan presiden/wapres 2014 dan dicatat komitmennya. Juga MPR, anggota dan pemimpinnya, yang ada sekarang diajak partisipasinya dalam pemikiran. Juga pihak eksekutif: presiden/wapres petahana. Kemudian sosialisasi ke masyarakat luas. ● |

Post a Comment