Pilpres   dan Kontradiksi PolitikDaniel Dhakidae  ;     Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta  |  
KOMPAS,  12 Maret 2014
|    SEBELUM   Pemilu Presiden 2009 benar-benar usai, sebagian besar pengamat sudah   bersetuju bahwa Pemilu 2014 adalah pemilihan yang menentukan. Kenyataan   pemilihan presiden langsung untuk kedua kalinya seolah-olah diabaikan begitu   saja karena pandangan diarahkan kepada Pemilu 2014. Untuk itu berbagai   spekulasi diberikan. Antara lain dikatakan bahwa bagi calon presiden dari   generasi yang lebih tua, ini bukan pemilu terakhir; tetapi inilah masa   pencalonan terakhir baginya. Ini mengandung makna penting karena dasar-dasar   dari dua jenis kultur politik bangsa ini mengalami penurunan yang berarti.  Pertama,   kultur politik yang berakar pada seluruh ideal dan idealisme revolusi 1945,   yang merupakan revolusi rakyat, berakhir tuntas. Hampir tidak akan ada lagi   calon presiden yang berasal dari zaman itu. Kedua,   kultur politik yang berakar pada krisis terbesar bangsa ini setelah revolusi   1945, krisis berdarah 1965, yang juga merupakan revolusi putih, juga   perlahan-lahan mengalami nasib sama. Dengan   begitu pendakuan terhadap political surplus yang berasal dari pengambilan   bagian dalam dua krisis terbesar bangsa, revolusi rakyat dan revolusi putih,   menghilang hampir-hampir tanpa bekas. Yang ada adalah suatu medan di mana   para pemain, yakni para calon presiden (capres), berada dalam suatu dataran   sama. Mungkin dengan itu pertarungan menjadi lebih seimbang, lebih menarik   tanpa pendakuan sepihak di atas. Dengan itu tidak berarti semuanya   berlangsung mulus tanpa soal karena kesempatan melahirkan soalnya sendiri dan   harus dicari pemecahan sendiri pula sebagaimana akan dibicarakan di bawah ini. ”Presidentiability” di Pemilu 2014 Kini   sudah tidak ada lagi spekulasi seperti yang diutarakan lima tahun lalu karena   semuanya sudah langsung bertabrakan dengan kenyataan politik di depan mata.   Catatan perlu dikemukakan bahwa pemilihan calon untuk badan legislatif adalah   pemilihan terpenting karena dari sanalah berasal sebagian besar pengisian   posisi public offices dengan pemilu sebagai sumber segala sumber. Namun,   pilpres adalah pemilihan yang bertumpah ruah dengan prestise politik karena   itu selalu dianggap pemuncak dari seluruh kegiatan politik dengan pikiran   bahwa pemilihan calon anggota legislatif seolah-olah ”hanya” persiapan,   infrastruktur bagi pemilihan presiden. Para   pemilih sekarang mulai menilai apakah seorang pebisnis mampu menjalankan tugas   kenegaraan. Apakah keterampilan manajemen bisa dengan begitu saja dikonversi   menjadi state-craftmanship?   Keterampilan bisnis tidak sama dengan keterampilan mengurus negeri dan   negara. Tentu saja seorang pebisnis sudah terbiasa dengan keterampilan bisnis   yang membutuhkan business acumen, mengambil keputusan secara cepat. Adapun   seorang negarawan adalah pengambil keputusan juga, dengan tujuan yang sama   sekali berbeda, bukan demi keuntungan, melainkan salus publicum—kalau Carl Schmitt boleh dikutip di sini,   keselamatan umum, rakyat—dan karena itu harus menghitung keseimbangan yang   tepat antara kekuasaan penekan, coercive   power, dan daya tawar demokratik, democratic   bargaining. Dalam bisnis tidak ada, dan tidak boleh ada, coercive power seperti yang bisa dan   biasa digunakan seorang presiden. Demikian   pula bagi yang berlatar militer. Ketegasan militer yang selalu jadi norma   ideal tak selalu berjalan seiring dengan cara pengelolaan negara karena salus   publicum selalu harus jadi kriterium utama. Dengan ini berbagai spekulasi   yang dibuat lima tahun lalu mulai menemukan garis-garis batas yang memaksanya   untuk turun ke bumi. Sambil menoleh ke belakang Orde Baru tak pernah   ragu-ragu menetapkan calon presiden karena hanya ada satu—suatu ketegasan   yang memerkosa. Satu-satunya kesibukan masa Orde Baru adalah menetapkan siapa   yang pantas jadi wapres—pelanggengan rasa rendah diri sepanjang puluhan   tahun. Sebaliknya   yang terjadi sekarang penetapan capres begitu terbuka sehingga membingungkan,   apa sesungguhnya yang menjadi kriteria presidentiability,   kualitas untuk menjadi presiden. Dalam hubungan itu sebagian besar parpol   lama tidak mengalami kesulitan berarti untuk menentukan capres masing-masing.   Satu-satunya partai besar yang mengalami kesulitan besar adalah PDI-P. Semuanya   membuka spekulasi tentang apa yang akan terjadi. Namun, untuk memahaminya,   hal itu harus ditempatkan dalam suatu perspektif, sebagaimana dilihat dari   perjalanan politik partai ini. Untuk menjadi ketua partai pada 1993, di   tengah puncak-puncak kediktatoran Orde Baru, Megawati Soekarnoputri harus   menggabungkan kelembutan yang begitu alot dan keras, dan kesabaran yang   begitu revolusioner untuk akhirnya membekuk kepala Orde Baru. Dengan   begitu, pada pemilu pertama, 1999, setelah jatuhnya Orde Baru, euforia   politik menyelimuti PDI-P dan simpatisannya yang mengangkatnya ke nomor satu.   Namun, tragis bagi partai ini karena kemenangan besar tak dengan sendirinya   mengantar ketuanya ke kursi kepresidenan dan harus puas dengan kursi wapres.   Kursi kepresidenan baru diperoleh setelah suatu kecelakaan politik terjadi,   ketika wapres dengan sendirinya jadi presiden. Kontradiksi politik dan   kemungkinan mengurainya Tahun   Pemilu 2014 sekali lagi mengangkat suatu euforia politik ke tingkat tinggi,   sebegitu tingginya sehingga jadi suatu anomali. Anomali terjadi ketika kader   PDI-P, Joko Widodo, sekurang-kurangnya menurut berbagai lembaga polling,   meninggalkan semua calon tradisional dengan angka yang begitu meyakinkan dan   menakjubkan. Namun, anomali ini pada gilirannya membuka suatu kontradiksi   politik yang sangat serius yang berada di baliknya, dilihat dari politik   kepartaian. Dua kontradiksi tampak di sini. Pertama, popularitas tidak dengan   sendirinya berarti seorang memiliki daya dan sumber daya menjadi pemimpin negara.   Popularitas hanya mengangkat emosi—politik, etnik, dan lain-lain. Adapun   kepemimpinan mengangkat kemampuan berdasarkan sumber daya yang beragam   jenisnya. Kalau   sekiranya Joko Widodo mampu menyatukan popularitas dan kepemimpinan semuanya   hanya akan bertabrakan lagi dengan kesetujuan politik, political endorsement, karena dalam hal sangat unik ini yang   begitu populer tidak mampu menentukan nasib pencalonannya sendiri. Tingkat   ketergantungannya sangat tinggi. Kedua,   dilihat dari sisi lain, popularitas cum  kepemimpinan harus berhadapan dengan hak prerogatif seorang ketua partai yang   tidak lain dari suatu hak eksklusif yang terikat pada diri seorang ketua   partai. Dengan kata lain, ada kontradiksi antara use value yang dipegang ketua partai dan exchange value, nilai tukar, yang dipegang kadernya. Yang   dimaksudkan dengan use value di   sini adalah nilai-nilai politik intrinsik ketua partai PDI-P yang berasal   dari investasi politik bertahun-tahun dengan pengalaman yang begitu intens   dalam keringat dan air mata. Adapun exchange   value adalah nilai tukar politik di dalam transaksi kualitas calon dan   suara, votes, yang diprediksikan   akan diperoleh dalam pemilu nanti yang menurut polling dikuasai Joko Widodo. Beberapa   cara terbuka bagi rekayasa politik untuk mengurai kontradiksi di atas.   Pertama, suatu paradoks besar dalam kepemimpinan adalah mengambil keputusan   yang tidak membuatnya populer lagi, popularitas harus ditulari unsur   anti-popularitas ketika salus publicum  dipakai sebagai kriteria yang ketat untuk mengukur keberhasilan. Kemampuan   memenuhi kemaslahatan umum dengan risiko tidak lagi populer akan menjadi   pengurai kontradiksi di atas. Semuanya akan diukur dari kepemimpinannya di   DKI untuk membuktikan adanya aset kepemimpinan. Semuanya hanya mengatakan   bahwa nilai intrinsik sang kader harus diangkat tinggi sehingga meyakinkan   para pemilih. Kedua,   adalah sesuatu yang jauh lebih pelik, ditinjau dari segi politik kepartaian   semasa, yaitu popularitas cum kepemimpinan versus hak prerogatif seorang   ketua partai. Kalau sekiranya kontradiksi pertama di atas bisa direkayasa   secara politik, rekayasa untuk hal kedua perlu political acumen yang sama ketatnya dengan business acumen seperti dikatakan di atas. Kesulitan itu kian   meningkat ketika berhadapan dengan pemangku hak prerogatif yang memiliki   sejarah politik yang begitu masif di belakangnya seperti Megawati. Untuk   kembali kepada apa yang sudah dikatakan di atas inilah saatnya ketika PDI-P   mengalami euforia politik kedua yang celaka bila dibiarkan berlalu tanpa   bekas. Euforia politik pertama memenangkan partai, tetapi gagal memenangkan   kepresidenan. Apa yang akan terjadi dengan euforia kedua tak ada yang tahu   pasti, mungkin hanya polling yang tahu. Kesalahan mengambil keputusan akan   berakibat fatal. Semua ini akan sangat menyakitkan, dan tidak berlebihan bila   dikatakan bahwa seorang yang paling menderita sekarang adalah sang ketua   PDI-P, Megawati, yang harus menguras seluruh kemampuan political acumen untuk   mengambil keputusan tepat. Semua, kawan dan lawan, menunggu keputusan itu.   Keputusannya laksana batu yang dilemparkan ke danau tenang, dan menghasilkan   riak, gelombang, dan gejolak dalam pemilu kepresidenan bangsa ini. ●  | 

Post a Comment