Kompetisi Airbus dan Boeing

Kompetisi Airbus dan Boeing

Effnu Subiyanto  ;   Ketua Cikal Foundation, Pendiri Forkep,
Kandidat Doktor Ekonomi Unair
JAWA POS,  12 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
PERSAINGAN pabrikan pesawat udara global memang penuh berbagai trik dan intrik. Ada dua pabrikan skala dunia yang tidak henti-hentinya head-to-head, yakni Boeing dan Airbus. Boeing mewakili pabrikan industri teknologi tinggi dari AS, sedangkan Airbus mewakili pabrikan Eropa. Kendati kompetisinya tidak atraktif, berbagai insiden udara belakangan ini menunjukkan betapa kuatnya persaingan dalam rangka menunjukkan siapa supremasi pembuat besi terbang yang dapat dipercaya.

Kini lebih dari 12 ribu unit pesawat Boeing terbang di seluruh dunia dengan berbagai jenis dan seri. Sementara itu, pesawat komersial Airbus yang sudah dipakai di seluruh dunia mencapai 13 ribu unit seluruh jenis. Airbus dan Boeing akan selalu berkompetisi tidak pernah henti.

Sebagai kompetitor pesawat komersial, produk Boeing tidak henti-hentinya mendapat musibah di seluruh dunia. Pada 8 Maret 2014, pesawat Boeing seri 777-200 dengan kode penerbangan MH370 milik maskapai Malaysia Airlines hilang 2 jam setelah take-off dari Bandara Kuala Lumpur. Pesawat tujuan Beijing, Tiongkok, dengan total 239 penumpang, termasuk 12 awak kabin itu, membawa 7 penumpang berkebangsaan Indonesia. Lima negara kini sibuk dalam sinergi SAR untuk mencari MH370 tersebut. Yakni, Malaysia, Tiongkok, Vietnam, Singapura dan Indonesia.

Sebelumnya, pesawat Boeing yang digunakan Lion Air seri lainnya, yakni B737-800NG, juga mengalami musibah di pantai Bali. Insiden ditching Boeing di Bali (13/4/2013) yang merupakan generasi terbaru pabrikan pesawat ternama AS itu tidak hanya memalukan maskapai Lion Air, namun juga mengerahkan manajemen Boeing di AS.

Boeing yang digunakan maskapai Adam Air juga pernah error karena pesawat tiba-tiba nongol di Bandara Tambolaka sekitar Februari 2006. Pada 1 Januari 2007, Adam Air dengan seri B737-400 nomor KI 574 tujuan Surabaya-Manado malah hilang di perairan Majene, Sulawesi Selatan. Ironisnya, beberapa hari berikutnya (21/2/2007), pesawat jenis Boeing 737-300 nomor penerbangan KI 127 hard landing di Bandara Juanda sehingga punggung Boeing itu patah.

Berbagai insiden di Indonesia tersebut menambah rekor tidak menyenangkan bagi manajemen Boeing setelah versi 787 dreamliner di-grounded All Nippon Airways (ANA) karena problem battery pada Januari 2013. Battery yang bermasalah tersebut menimbulkan asap di tengah perjalanan menuju Jepang saat itu. Padahal, beberapa hari sebelumnya, operator pengguna dreamliner yang lain, yakni Japan Airlines (JAL), menjumpai masalah yang sama, bahkan terbakar saat pesawat new generation itu parkir di Bandara Logan, Boston.

Berikutnya, Boeing seri 777 Asiana Airlines 214 Korea Selatan mengalami hard landing dan terbakar saat menyentuh landasan Bandara Internasional San Francisco (6/7/2013). Tiga penumpang tewas dalam kejadian nahas itu. Disusul, Boeing dreamliner 787 Ethiopian Airlines juga mengalami masalah di Bandara Heathrow, London (12/7/2013). Tidak beberapa lama kemudian, United Airlines Amerika Serikat yang menggunakan Boeing 787 dreamliner juga harus kembali ke bandara semula di London tujuan Houston karena kerusakan teknis.

Bukan hanya Boeing yang mengalami insiden buruk dengan produk barunya. Airbus tidak lama lalu juga mengalami masalah dengan A380 super jumbo yang dioperasikan Emirates. Pada 12 November 2012, sesaat setelah take-off di Bandara Internasional Sydney, salah satu mesin A380 itu meledak dan memaksa pesawat mendarat darurat.

Pukulan Boeing

Peristiwa hilangnya MH370 milik Malaysia Airlines dan gagal landing-nya B737-800NG Lion Air merupakan pukulan telak bagi reputasi Boeing yang memiliki brand image sangat kuat bagi operator penerbangan di kawasan Asia. Di sisi lain, itu menjadi bukti tersendiri bagi maskapai suatu penerbangan bahwa dalam bisnis udara mereka tidak boleh hanya mengandalkan satu merek pesawat.

Itulah yang membuat CEO Lion Air Rusdi Kirana melakukan signing kontrak pembelian pesawat dengan Airbus (18/3/2013), padahal pada momen KTT Bali (18/11/2011) Lion Air juga menyetujui kontrak pembelian 230 pesawat Boeing seri 800NG dan 900ER. Rusdi menjalankan manajemen risiko. Jika salah satu grounded, pesawat dari pabrikan lain tetap mampu mengamankan jalur Lion Air yang kini mencapai 72 rute dalam dan luar negeri itu.

Sisi lain yang menjadi beban Boeing adalah jaminan keandalan produknya yang tidak bisa dikuantifikasikan, mengingat kontrak 2011 dijanjikan selesai sampai 10 tahun lagi. Dalam kurun waktu itu, jika terjadi kecelakaan, Boeing tentu akan menerima konsekuensi dari Lion Air yang tidak ringan.

Di sisi lain, pabrikan pesaing Boeing, yakni Airbus, justru menerima berkah dari insiden Boeing. Airbus kini mendapat ruang lebih panjang untuk menyelesaikan kasus meledaknya mesin A380 di Sydney, sedangkan Boeing mendapat satu masalah B777-200 Malaysia dan dua masalah sekaligus dalam waktu pendek atas insiden dreamliner di Tokyo dan Bali, Indonesia.

Kompetisi antar pabrikan pesawat global selalu terdapat intrik-intrik bisnis yang seharusnya menjadi pelajaran bagi pabrikan sektor sejenis di Indonesia. Setidaknya, PT DI harus berhitung dengan matang jika berniat memasuki pasar pesawat yang merupakan lahan pabrikan oligopoli dunia.
Indeks Prestasi

Post a Comment