Korupsi dan Kanibalisme PolitikAmich Alhumami ; Antropolog, Peneliti Senior Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia, Jakarta |
KORAN SINDO, 12 Maret 2014
Praktik korupsi yang melibatkan aktor-aktor politik dan pemangku kekuasaan di semua tingkatan pemerintahan dan cabang kekuasaan negara selalu mengundang perhatian publik dengan daya magnitudo sangat tinggi. Menurut prinsip keadaban politik, kekuasaan negara seyogianya didedikasikan untuk kepentingan masyarakat dan para pemangku kekuasaan dituntut mengabdikan diri untuk mewujudkan al-mashlahah alammah— kemaslahatan publik. Dalam perspektif demikian, seluruh sumber daya ekonomi politik harus dikelola dengan baik berdasarkan prinsip kebajikan publik, yang berorientasi pada upaya menciptakan kesejahteraan umum. Dalam konteks ini, korupsi bukan saja melanggar etika sosial dan mencederai prinsip kebajikan publik, melainkan juga meruntuhkan nilai-nilai akuntabilitas yang menjadi salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem demokrasi yang semula dibayangkan dapat menghapus— atau paling tidak mengurangi— praktik korupsi justru kian memperburuk keadaan. Semula sistem demokrasi diyakini dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, karena ruang partisipasi publik terbuka luas dan kontrol masyarakat dapat difasilitasi melalui berbagai saluran: parlemen, organisasi masyarakat sipil, kelompok penekan, dan berbagai asosiasi kelompok kepentingan. Dengan demikian, akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan negara dapat terwujud karena sistem demokrasi menyediakan mekanisme untuk merealisasikan good governance. Saksikan, praktik korupsi justru kian marak dan seolah menemukan lahan subur untuk berkembang makin meluas dan melibatkan aktor-aktor kakap, yang memangku jabatan publik pada pos-pos sangat strategis. Kanibalisme Politik Sungguh menyedihkan, praktik korupsi bukan saja kian merajalela dalam sistem demokrasi, melainkan juga menciptakan apa yang disebut political cannibalism. Kanibalisme politik adalah praktik saling memangsa di antara aktor-aktor politik dalam perebutan sumber daya ekonomi-politik, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan atau pertarungan merebut kekuasaan. Perilaku saling memangsa di antara aktor-aktor politik ini mencerminkan mentalitas purba dan naluri primitif, merujuk doktrin kuno yang dipopulerkan oleh ahli filsafat sosial Herbert Marcuse: homo homini lupus (man is a wolf to man)—manusia adalah serigala pemangsa manusia lain. Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam peradaban pri-mitif, manusia acap memakan—dalam pengertian harfiah—manusia lain, yang dikenal dengan tradisi kanibalisme. Dalam konteks peradaban modern, pertarungan merebut kekuasaan melahirkan kanibalisme politik dalam wujud korupsi di kalangan pemangku kekuasaan. Kanibalisme politik jelas bertentangan dengan civic morality, yang menjadi basis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang beradab. Penting dicatat, kanibalisme politik dalam konteks pertarungan dan perburuan kekuasaan selalu bersifat nihilistik dengan prinsip zero sum game. Bagi pihak yang punya kuasa, mereka akan memangsa habis apa pun/siapa pun tanpa meninggalkan sisa. Skandal korupsi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan Akil Mochtar (AM), Tubagus Chaeri Wardhana, Chairunnisa, dan Ratu Atut Chosyiah adalah contoh sempurna praktik kanibalisme politik. Betapa tidak, mereka berempat adalah aktor-aktor politik yang memangku jabatan publik pada cabang kekuasaan yang berbeda: eksekutif, legislatif, yudikatif, namun berafiliasi dengan partai politik yang sama: Golkar. Bahkan untuk skandal korupsi yang sedang dalam proses penyelidikan di KPK terkait sengketa Pilkada Jawa Timur, diduga kuat juga melibatkan elite-elite Golkar yang lain. Meski berasal dari parpol yang sama, demi uang dan kekuasaan, masing-masing saling mengeksploitasi dengan memanfaatkan otoritas yang ada di tangan mereka. Jual-Beli Vonis MK Praktik kanibalisme politik dalam skandal korupsi di MK tampak nyata ketika AM memperdagangkan constitutional verdicts (baca: vonis MK) kepada pihak-pihak yang beperkara dalam sengketa pilkada. Sebagaimana terekam dalam hasil sadapan KPK, AM tampak sangat aktif berkontak—langsung maupun melalui makelar—dengan salah satu atau kedua pihak yang mengajukan gugatan hasil pilkada dan meminta imbalan uang dengan nominal bervariasi antara Rp500 juta sampai Rp19,5 miliar. Dalam kasus sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, kanibalisme politik terasa sangat ironis. Selaku ketua MK, AM yang mengawali karier politik dan besar bersama Golkar, tanpa tenggang rasa meminta—dengan halus maupun paksa—uang suap miliaran rupiah kepada Wawan dan Ratu Atut, sesama politisi Golkar. Untuk kasus suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas bahkan difasilitasi oleh Chairunnisa, juga politikus Golkar yang menjadi anggota DPR. Skandal suap AM yang melibatkan elite-elite Golkar adalah peristiwa paradoksal— buah sistem demokrasi liberal yang berongkos mahal. Dapat dikatakan, apa yang sesungguhnya terjadi dalam skandal suap MK adalah political extortion among Golkar politicians. AM bertindak selaku petualang politik dan pedagang jabatan, yang menjadikan posisi prestisius selaku ketua MK tak lebih dari sarana komersialisasi jabatan publik dan transaksi ekonomi-politik belaka. Sesat Pikir Kanibalisme politik merupakan fenomena ganjil yang menyertai perkembangan sistem demokrasi liberal, karena para politisi mengalami sesat pikir yang serius. Pertama, banyak politisi memaknai politik sekadar sebagai jalan untuk meraih kekuasaan belaka, yang kemudian dimanipulasi untuk menumpuk kekayaan dan mengakumulasi modal. Simaklah, para politisi yang terjerat kasus korupsi umumnya tak punya pikiran bernas dan pandangan visioner tentang ikhtiar membangun bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera. Kedua, moralitas politik dianggap barang usang yang kehilangan relevansi sehingga tak diperlukan di era demokrasi liberal yang didominasi oleh politik uang. Berbeda dengan para pendiri bangsa yang menjalankan politik kenegaraan berdasarkan moralitas dan keadaban publik, para politisi korup berpolitik dan menjalankan kekuasaan negara tanpa disertai etika, tunamoral, dan mengabaikan kemaslahatan publik. Melihat praktik korupsi yang kian menggurita di kalangan politisi dan penguasa sungguh merisaukan. Mereka bertransformasi menjadi kekuatan destruktif yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita gagal membendung dominasi politisi korup di pentas nasional, kanibalisme politik bukan hanya memangsa kolega politisi pada suatu parpol, tetapi juga institusi negara. Pilar-pilar penyangga bangunan negara akan runtuh karena digerogoti praktik korupsi yang sudah menjadi epidemi politik dengan tingkat bahaya yang sangat tinggi. Dengan akal budi dan kearifan, kita harus mencegah agar katastrofi politik ini tak menjelma menjadi kenyataan. ● |
Post a Comment