Krisis Semenanjung Crimea

Krisis Semenanjung Crimea

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  05 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Dalam beberapa hari belakangan ini Ukraina menjadi pusat perhatian dunia karena aksi pendudukan yang dilakukan Rusia di Wilayah Otonomi Khusus Crimea (WOK Crimea) yang secara formal menjadi bagian dari wilayah Ukraina.

Media massa menyatakan hal itu adalah aksi militer yang melanggar kedaulatan wilayah Ukraina. Namun, menurut saya, masalahnya tidaklah sesederhana itu dan tidak hitam dan putih seperti itu. Adapun mengenai isu wilayah WOK Crimea, sejarah Uni Soviet dan Rusia, sejarah negara Ukraina, kesepakatan nuklir tahun 1997, dan sejarah identitas sosial-budaya antara Crimea dan Ukraina ikut memengaruhi eskalasi politik di wilayah tersebut.

Kita perlu melihat intervensi Rusia di WOK Crimea dalam kaitannya dengan sejarah hubungan politik Rusia dengan Ukraina. Kita perlu memisahkan masalah konflik internal antarberbagai fraksi yang terjadi di WOK Crimea dan konflik politik yang terjadi di dalam sistem politik Ukraina itu sendiri. Seperti sejarah perjalanan politik negarabangsa lainnya, kita mungkin tidak akan dapat menemukan sebuah interpretasi tunggal yang dapat dianggap sebagai interpretasi sejarah yang paling benar di antara interpretasi lainnya.

Selalu akan ada bukti-bukti baru yang dihadirkan banyak pihak dan mengingat terbatasnya ruang di kolom ini, saya hanya mencoba menyampaikan bukti-bukti dari sumber yang dapat diterima secara ilmiah. Masalah yang terjadi di Ukraina menjadi perhatian dunia karena di negara ini pernah terdapat ribuan nuclear warheads (hulu ledak nuklir) yang jumlahnya terbesar ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan Rusia.

Untuk mengamankan senjata-senjata nuklir itu, tiga negara yang berkuasa, yaitu Amerika, Rusia dan Inggris, menandatangani kesepakatan Budapest pada 1994 yang isinya adalah jaminan akan kedaulatan wilayah Ukraina dari segala ancaman yang mungkin akan diterima Ukraina. Jaminan tersebut adalah bagian penting dalam proses negosiasi pelucutan senjata nuklir yang telah dimulai sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1990-an.

Dengan kesepakatan tersebut, Ukraina kemudian menyerahkan senjata-senjata nuklirnya untuk dimusnahkan. Kejadian itu yang kemudian menjadi dasar bagi AS dan Eropa untuk mengutuk aksi pendudukan pasukan tanpa identitas di WOK Crimea dalam beberapa hari belakangan ini. Banyak pihak yang menyatakan aksi pendudukan itu jelas-jelas dilakukan militer Rusia walaupun aksi itu sendiri belum diakui secara formal oleh Rusia karena Presiden Vladimir Putin perlu mendapat persetujuan dari parlemen untuk mengizinkan aksi militer kepada pihak lain.

Dorongan AS dan Eropa untuk mengutuk aksi pendudukan ini juga tidak lepas dari kesepakatan antara NATO dan Ukraina pada 1997 yang menjamin Ukraina untuk mendapat bantuan konsultasi apabila kedaulatan mereka terancam. Karena itu, Presiden Barack Obama di AS saat ini mendapat tekanan yang kuat dari oposisi Partai Republik. Mereka meminta Obama melaksanakan perjanjian yang telah dibuat bersama dengan Ukraina.

Ukraina memang bukan anggota NATO, tetapi kerja sama militer di antara mereka sangat kuat. Perihal aksi pendudukan oleh tentara yang diduga berasal dari Rusia di WOK Crimea, hal itu tidak lepas dari konflik dan kepentingan politik yang panjang di Ukraina dan hubungannya dengan Crimea itu sendiri. Crimea adalah sebuah wilayah otonom yang dihuni penduduk yang mayoritas memiliki keturunan dan berbahasa Rusia.

Luas wilayah Crimea lebih kecil dari Provinsi Lampung, tetapi sedikit lebih luas dari Kota Bengkulu. Mayoritas etnik di sana adalah Rusia (58,3%), Ukraina (24,3%), dan Crimean Tartar (12%). Keturunan Crimea Tartar adalah kelompok minoritas yang pernah diusir sebagai hukuman kolektif oleh Joseph Stalin pada masa Uni Soviet karena kerja sama mereka dengan tentara Nazi pada 1944.

Kelompok ini kemudian datang kembali pada 1980-an dan memperoleh pengakuan politiknya dengan dialokasikannya perwakilan mereka dalam parlemen di tahun 1994. Sejak bubarnya Uni Soviet pada 1990-an, kelompok-kelompok masyarakat di WOK Crimea tarik menarik dalam pilihan antara bergabung dengan Rusia, tetap bersama dengan Ukraina atau berdiri sendiri.

Tarik-menarik itu tidak lepas dari sejarah di mana Crimea yang dulunya bagian provinsi dari Russian Soviet Federal Socialist Republic diserahkan kepada Ukraina atas dasar simbol persahabatan oleh Kruschev pada 1954. Di saat Uni Soviet runtuh, Crimea juga ikut mengalami pergolakan di mana tuntutan untuk merdeka telah menjadi sumber konflik antara Ukraina dan Rusia.

Tarik-menarik ini akhirnya diselesaikan dengan deklarasi untuk tetap menjadi bagian dari Ukraina dan menghilangkan pernyataan sebagai negara merdeka yang sebelumnya telah diucapkan. Pernyataan ini kemudian diikuti dengan pembagian kekuasaan dan operasional antara Ukraina dan Soviet atas Pangkalan Laut Hitam yang dulunya dikuasai Uni Soviet.

Meski demikian, tuntutan untuk bergabung dengan Rusia tetap tidak dapat hilang dalam pertikaian antara kelompok politik di WOK Crimea yang secara langsung dipertajam dengan konflik politik yang terjadi dalam sistem politik Ukraina sendiri.

Pada saat Parlemen Ukraina memecat Presiden Victor Yanukovych (karena perintahnya untuk mengatasi aksi demonstrasi menentang penolakannya untuk bergabung dengan Uni Eropa) secara represif, yang kemudian diikuti dengan keputusan Parlemen Ukraina untuk menjadikan bahasa Rusia sebagai bahasa kedua negara, Putin merasa kepentingan mereka atas WOK Crimea telah terancam.

Dengan kondisi demografi Crimea yang didominasi keturunan Rusia dan tuntutan politik di dalam wilayah itu sendiri, Putin tidak segan melakukan aksi pendudukan. Putin meminta parlemen Rusia menyetujui rencananya untuk segera mengirimkan pasukan secara formal ke perbatasan Crimea. Skenario yang mungkin terjadi ke depan tetap bermuara pada tiga isu yang selalu menjadi sumber konflik.

Bergabung dengan Rusia, tetap bersatu dengan Ukraina atau berdiri merdeka. Pilihan ketiga tampaknya akan lebih realistis bagi Rusia karena sejarah politik dan sosial Crimea cukup bagi mereka untuk memperjuangkan hak self-determination, khususnya di tengah protes negara-negara Eropa dan AS.

Crimea Merdeka setidak-setidaknya tak akan membuat negara itu bergabung dengan kekuatan Barat dan ini lebih cocok dengan kondisi demografi dan kecenderungan politik setempat yang pro-Rusia. Implikasi dari kejadian di Crimea dan Ukraina adalah ketidakseragaman sikap di Uni Eropa itu. Sebagian besar anggota Uni Eropa merasa Rusia telah melanggar kedaulatan Ukraina, tetapi mereka tidak setuju adanya penetapan sanksi ekonomi dan isolasi kepada Rusia seperti yang diusulkan AS.

Uni Eropa khususnya Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol lebih menyukai solusi diplomatik dibandingkan dengan anggota Uni Eropa yang berasal dari Eropa Timur. Isolasi ekonomi dan sanksi tentu akan memberatkan negara-negara Eropa seperti Spanyol dan Prancis yang tengah mengalami krisis. Apalagi Jerman yang 40% impor gas dan energinya berasal dari Rusia.

Bagi kita di Indonesia, krisis di Semenanjung Crimea mengingatkan akan kondisi domestik bahwa suatu negara-bangsa tak bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh eksternal, apalagi jika secara historis dan demografis ada ikatan batin dengan penduduk atau pemerintahan di belahan wilayah lain di dunia.

Kita mungkin tergerak untuk mengutuk Rusia, tetapi di sisi lain penduduk Crimea punya hak juga untuk menolak perluasan kekuatan militer AS dan Eropa di wilayahnya. Artinya bila Crimea memutuskan untuk merdeka pun hal itu merupakan hak mereka dan tidak boleh diintervensi.
Indeks Prestasi

Post a Comment