Kunci Transisi Damai Kepemimpinan

Kunci Transisi Damai Kepemimpinan

Tjahjo Kumolo  ;   Sekjen PDI Perjuangan,
Anggota Komisi I DPR (Bidang Pertahanan dan Intelijen)
SUARA MERDEKA,  12 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
"Perlu mewaspadai praktik politik uang mengingat para pemilik modal bisa membajak demokrasi"

Vox populi vox Dei, the voice of the people is the voice of God, suara rakyat adalah suara Tuhan

BEGITULAH, karena suara rakyat adalah suara Tuhan, dan daulat rakyat adalah daulat Tuhan maka pemilihan umum (pemilu), ketika rakyat memberikan suaranya, pada dasarnya adalah alat untuk menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Pemilu adalah pengejawantahan demokrasi yang paling dasar. Melalui pemilu, rakyat menyalurkan suaranya dan terlibat dalam proses transisi kepemimpinan nasional.

Karena itu, pemilu legislatif yang akan digelar pada 9 April 2014 harus berlangsung bersih, demokratis, adil, dan aman, serta bebas dari rekayasa untuk mengantarkan transisi kepemimpinan nasional berlangsung damai. Apakah negeri ini mau seperti Mesir, Suriah, atau Thailand yang dalam transisi kepemimpinan nasionalnya terjadi pertumpahan darah? Tentu tidak. Bisakah? Tergantung para pemangku kepentingan (stakeholders) pemilu.

Dengan demikian, para pemangku kepentingan pemilu, seperti KPU, Bawaslu, serta aparat keamanan seperti Polri dan TNI, harus menjaga dan membuktikan independensi dalam proses pemungutan suara. Segala upaya yang mencoba menggunakan KPU, Bawaslu, dan aparatur negara untuk tidak netral, selain akan berhadapan dengan kekuatan prodemokrasi, akan menciptakan risiko politik sangat besar sebagaimana terjadi di Mesir, Suriah, dan Thailand.

Atas dasar itu, pemerintah diharapkan dapat menjadikan Pemilu 2014 sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Berbagai persoalan terkait daftar pemilih tetap (DPT), penyadapan, sebagaimana terjadi pada rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dan mobilisasi aparat intelijen harus dihentikan.

Hak Pilih

Terkait DPT, Komnas HAM mendesak KPU memberikan hak pilih kepada 3,3 juta warga tanpa nomor induk kependudukan (NIK) melalui pendataan dalam daftar pemilih khusus. Akibat sengketa tanah, pemerintah memang tidak memberikan NIK kepada 3,3 juta pemilih tersebar di Area 45 Mesuji Lampung; Tanah Merah Jakarta; dan Kerinci Jambi. Mereka itu tidak termasuk 185 juta pemilih yang terdaftar di DPT. KPU harus cermat dalam mengatasi masalah ini.

Kita juga terus mencermati tiga hal yang bersiko menimbulkan kecurangan, yakni perangkat teknologi informasi yang digunakan KPU, lembaga intelijen, dan politik uang (money politics). Perangkat teknologi informasi perlu dicermati karena pada 2004 dan 2009 KPU tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Aparat intelijen juga masih suka menunjukkan keberpihakannya kepada parpol yang sedang berkuasa, termasuk melalui babinsa.

Karena itu pula, upaya pelibatan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) oleh KPU dalam Pemilu 2014 kita tolak beberapa waktu lalu. Praktik politik uang pun perlu diwaspadai karena para pemilik modal bisa membajak demokrasi, sehingga yang terjadi bukan “suara rakyat adalah suara Tuhan”, melainkan “suara rakyat adalah suara uang”. Prinsip kedaulatan rakyat akan dilanggar.

Di sisi lain, kita berharap Polri, sebagai pengaman utama, dan TNI sebagai pengaman pendukung, sungguh-sungguh melaksanakan tugas pengamanan. Apalagi anggaran Polri untuk pengamanan pemilu Rp1 triliun sudah cair, begitu pun anggaran TNI Rp 100 miliar. Pengamanan meliputi distribusi logistik, masa kampanye, masa tenang, hingga pascapelantikan presiden, atau selama 224 hari, 16 Maret-29 Oktober 2014. (..??)
Indeks Prestasi

Post a Comment