Memahami Golput (2)Stefanno Reinard Sulaiman ; Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran |
HALUAN, 26 Maret 2014
Lantas apa yang menjadi alasan warga Indonesia saat ini rajin-rajin golput? Alasan pertama adalah buah kekecewaan atas pemerintahan yang dianggap gagal dari segi kesejahteraan sosial maupun ekonomi. Setelah tahun 1998 (lengsernya rezim Soeharto), pemerintahan Gus Dur dan Megawati dianggap masih belum bisa menyejahteraan rakyat Indonesia. Misalnya pada masa pemerintahan Gus Dur, kondisi politik dan sosial yang tidak kunjung stabil membuat Indonesia masuk ke dalam kategori High Risk Country oleh Financial Action Task Force (FATF) yang berbasis di Paris, Perancis. Kemudian diperparah dengan hubungan Indonesia dan Internatinal Monetary Fund (IMF) yang kian memburuk. Kedua, aktivitas pribadi seperti pekerjaan, dianggap lebih penting dibandingkan pergi ke TPS. Golongan ini menganggap pergi memilih di TPS adalah buang-buang waktu. Ketiga, masyarakat menilai bahwa parpol-parpol yang ada hanya mementingkan golongannya saja, janji-janji sebelum terpilih hanyalah strategi untuk sekadar memenangkan pemilu. Lantas untuk apa memilih jika tidak menguntungkan? Selain ketiga alasan di atas, ada kesalahan teknis (contoh : kertas yang tidak sah) yang terhitung juga sebagai golput. Eep Saefulloh Fatah, seorang ahli Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, membagi golput ke beberapa jenis. Ada golput karena teknis-teknis tertentu (misalnya : keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain), berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos hingga surat suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik , penyelenggara pemilu). Selanjutnya, golput politis, para pemilih menganggap tidak ada calon yang sesuai dengan keinginan mereka atau tidak percaya bahwa pemilhan umum dapat mendatangkan kebaikan untuk mereka. Terakhir, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya karena alasan fundamentalis agama atau alasan politik-ideologi lain. Dari segi hukum, golput tidak menyalahi peraturan perundangan yang ada. Karena golput adalah hak konstitusional, hak pemilih untuk tidak memilih, yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28E ayat (2): setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Solusi Ideal Suara untuk memilih adalah pilihan ataupun hak, bukan sebuah kewajiban. Tidak ada paksaan untuk mencoblos dalam bilik suara. Golput bukanlah sebuah kriminalitas atau tindakan yang memalukan. Namun, jangan sampai masyarakat Indonesia menganggap golput adalah sebuah tren atau sebuah alasan untuk menjadi apatis kepada kehidupan politik Indonesia atau yang disebut apatisme politik. Jika ya, maka masyarakat kita akan menjadi sekumpulan orang yang tidak percaya akan perubahan. Kemudian jika masyarakat sudah tidak percaya, maka perubahan itu tentu tidak akan ada. Mari kita bedakan golput dengan apatisme politik. Golput diperbolehkan jika sudah menimbang-nimbang alasan yang memang sepadan, seperti tidak ada calon yang sesuai dengan pilihan hati. Namun ingat, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan para kandidat. Kenali satu persatu kandidat dari tiap partai politik, bagaimana latar belakang pendidikannya, dan tentunya riwayat kerjanya. Hilangkan alasan-alasan seperti malas ataupun mengganggap pekerjaan pribadi ataupun kesenangan pribadi lebih penting dibandingkan meluangkan waktu untuk ke TPS. Kalaupun memilih untuk apatis, di kemudian hari janganlah protes akan pemerintahan yang tidak maksimal, karena memilih pun tidak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal ini memegang peran penting untuk mengajak para pemilih khususnya para pemilih muda agar memahami tentang hak memilih mereka. Jelaskan mengapa satu suara pun berdampak besar bagi Indonesia. Kemudian untuk Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) harus bersikap tegas kepada para partai politik ataupun para kandidat yang melanggar aturan-aturan yang sudah ada. Misalnya, mengotori ruang publik dengan atribut kampanye mereka atau menggunakan siaran publik untuk mengiklankan diri. Begitu juga dengan para partai politik agar bersaing secara sehat dan tidak menganggap pemilihan umum ini sebagai lahan bisnis dan lelang kekuasaan. Faktor-faktor inilah yang disadari atau tidak akan menjadi pemicu dan pendongkrak angka golput dan apatisme politik Indonesia. Dalam sisa waktu ini, mari kita gunakan waktu untuk mencermati satu per satu kandidat yang nantinya akan mewakili rakyat, jangan langsung apatis dan menggunakan tameng golput. Semoga! ● |
Post a Comment