Memanfaatkan Bonus DemografiRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI |
REPUBLIKA, 01 Maret 2014
Hasil proyeksi penduduk tahun 2010-2035 menunjukkan bahwa Indonesia kini tengah memasuki era bonus demografi dengan puncaknya pada 2028-2030. Adapun angka beban tanggungan pada saat puncak bonus demografi tercatat sebesar 46,9, yang artinya untuk setiap 100 penduduk usia produktif (15- 64 tahun) menanggung beban sebanyak 46,9 atau sekitar 47 penduduk usia non- produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun ke atas). Dengan rasio penduduk usia produktif dan nonproduktif dua berbanding satu itu, merupakan jendela peluang dengan potensi yang sangat luar biasa untuk menggerakkan pembangunan di berbagai sektor. Tentunya, potensi itu perlu disertai catatan bahwa pertambahan penduduk usia produktif cukup berkualitas. Pengalaman Cina, misalnya, menunjukkan bahwa faktor bonus demografi di negara itu berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonominya. Untuk setiap satu persen penurunan rasio angka beban tanggungan diperkirakan menyumbang 0,115 persen pertumbuhan ekonomi di negeri Tirai Bambu itu. Secara akumulatif, sekitar sepertiga pertumbuhan ekonomi Cina disumbang oleh keberadaan bonus demografi di negara itu (Zhang Monan, 2012). Disparitas momentum Namun, celakanya, hingga dua dekade mendatang sejumlah daerah di Tanah Air tidak dapat menikmati momentum bonus demografi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Jika ditilik menurut daerah kabupaten/kota, boleh jadi cukup banyak daerah-daerah yang tidak mengalami bonus demografi. Bahkan, meski suatu provinsi mengalami momentum bonus demografi dalam rentang saat ini hingga 2035, sejumlah kabupaten/kota di provinsi itu boleh jadi tidak mengalami bonus demografi. Sebab, seperti halnya pada level na sional yang merangkum keadaan provinsi, level provinsi juga merangkum keadaan kabupaten/kota. Fenomena bonus demografi di suatu daerah memang sangat dipengaruhi oleh dinamika penduduk, terutama akibat kelahiran dan perpindahan penduduknya. Daerah-daerah dengan penurunan angka kelahiran yang kian cepat akan semakin awal mengalami momentum bonus demografi dibandingkan daerah- daerah lain yang lambat penurunan angka kelahirannya. Meski demikian, penurunan angka kelahiran yang cepat di suatu daerah bukan satu-satunya faktor yang menghadirkan fenomena bonus demografi di daerah itu. Hal lain yang turut memengaruhi adalah perpindahan penduduk. Daerah-daerah dengan arus perpindahan keluar usia produktif yang lebih besar dibandingkan dengan arus perpindahan masuknya, akan mengalami pelambatan atau bahkan tidak mengalami momentum bonus demografi. Sebaliknya, daerah-daerah dengan perpindahan penduduk usia produktifnya keluar lebih kecil dibandingkan yang masuk, maka akan mengalami bonus demografi yang momentumnya kian cepat jika penduduk usia produktif yang masuk kian besar. Secara umum, daerah-daerah maju seperti Jawa mengalami momentum bonus demografi lebih awal dibandingkan daerah luar Jawa. Bahkan, DKI Jakarta mengalami bonus demografi paling awal karena daerah ini sejak lama menjadi tujuan terfavorit penduduk usia produktif pindah dari luar Jakarta. Diperkirakan, DKI Jakarta telah mengalami momentum bonus demografi sejak 1980-an. Selain Jakarta, daerah-daerah yang mengalami percepatan momentum bonus demografi adalah daerah pertumbuhan ekonomi baru, seperti Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Sebaliknya, daerah-daerah pengirim migran mengalami pelambatan momentum bonus demografi atau bahkan tidak sama sekali. Nusa Tenggara Timur, misalnya, dengan arus keluar penduduk usia produtif yang cukup besar mengakibatkan daerah ini tidak mengalami momentum bonus demografi hingga 2035. Kesenjangan antardaerah Pada gilirannya, suatu daerah yang tidak mengalami bonus demografi, yang umumnya daerah tertinggal tidak akan memperoleh jendela peluang untuk meningkatkan kemajuan daerahnya. Sebaliknya, daerah maju akan semakin maju mengingat arus perpindahan penduduk cendrung mengalir dari daerah yang kurang maju ke daerah lain yang lebih maju. Hal ini pada gilirannya berpotensi menyebabkan kesenjangan tingkat kemajuan yang kian melebar antardaerah. Mengacu pada pembentukan otonomi daerah yang dimaksudkan untuk mempercepat kemajuan daerah dan mewujudkan pemerataan antardaerah, maka persoalan bonus demografi ini penting untuk dicermati. Pemerintah pusat barangkali perlu mempertajam pengalokasian dana alokasi khusus untuk pem biayaan yang sifatnya khusus, seperti fenomena bonus demografi agar ke senjangan kemajuan antardaerah tidak terjadi. Pengalokasian dana alokasi khusus perlu diperbesar pada daerah-daerah tertinggal, terutama untuk membangun infrastruktur guna meningkatkan kinerja perekonomian dan pembukaan kesempatan kerja. Diharapkan dengan cara itu, dapat menjadi faktor penarik agar penduduk usia produktif di daerah-daerah tertinggal tidak melakukan perpindahan ke daerah-daerah lain yang lebih maju. Maka, atas dasar itu, meski Indonesia tersekat-sekat menurut pemerintahan daerah, sebagai bangsa adalah satu. Terbukanya jendela peluang atas hadirnya bonus demografi sepatutnya tidak menjadi monopoli daerah maju, tetapi merupakan aset bangsa untuk diberdayakan guna meningkatkan kesejahteraan bersama. ● |
Post a Comment