Membunuh Akal SehatMasdar Hilmy ; Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel |
KOMPAS, 01 Maret 2014
KARIKATUR Kompas (19/2) mengangkat sebuah ironi demokrasi yang menggiriskan hati: Tri Rismaharini (Risma), Wali Kota Surabaya yang dipilih dan dicintai rakyatnya, tengah digoyang lawan-lawan politiknya agar tidak kerasan menduduki jabatannya. Keberadaan Risma di tampuk kepemimpinannya dianggap telah memangkas banyak kepentingan para pemodal busuk untuk meraih keuntungan dengan cara mendompleng oligarki parpol. Pasca wawancara di acara bincang-bincang di satu stasiun TV swasta, berita tentang isu pengunduran diri Risma sontak jadi trending topic di sejumlah media sosial seperti Twitter. Testimoni Risma segera mengundang simpati banyak warga untuk tetap mendukungnya bertahan di kursi wali kota. Warga Surabaya seakan tidak terima dengan ulah ”tangan-tangan tak tampak” yang tengah mengusik kepemimpinan wali kota tersebut. Ramuan ampuh Salah satu ramuan paling mujarab di balik rahasia kepemimpinan Risma adalah penggunaan akal sehat (common sense) pada tingkat paling maksimal. Memang terdengar sederhana, tetapi terbukti ampuh mengantarkan kota yang dipimpinnya meraih banyak penghargaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Melalui akal sehat, Risma telah mempertontonkan kualitas dan integritas kepemimpinan prima untuk melayani seluruh warga Kota Surabaya. Satu per satu masalah kota terselesaikan: dari urusan sampah, tata kota yang semrawut, kemacetan, hingga banjir tahunan. Tanpa pendayagunaan akal sehat, segala bentuk permasalahan kota mustahil bisa terselesaikan dalam waktu relatif singkat. Wajah kota sekarang jauh berbeda dibandingkan lima atau 10 tahun lalu. Kini Surabaya menjadi kota yang ramah, layak huni (livable), bahkan ”mengasuh” bagi jiwa-jiwa metropolitan yang kering dan gersang serta menginspirasi produktivitas warganya. Sejumlah taman kota nan asri, area pedestrian bagi pejalan kaki, lajur khusus bagi pengguna sepeda, penerapan hari bebas kendaraan bermotor di hari Minggu adalah sebagian kecil dari sentuhan ”tangan dingin” Risma dalam mengedepankan akal sehat. Konsistensi dan kengototan Risma dalam menerapkan akal sehat harus ditebus dengan mahal. Dia menerima banyak tekanan dari penentangnya. Konon, ancaman mati bahkan sudah menjadi menu kesehariannya. Moral yang bisa dipetik dari nestapa seorang Risma: ternyata akal sehat itu baik untuk warga, tetapi belum tentu baik bagi para pemodal dan pengusaha nakal. Ibarat jamu, ia baik bagi kesehatan tubuh, tetapi terasa pahit di lidah. Sebuah paradoks yang pada akhirnya harus saling menegasikan. Inilah aksioma politik mutakhir yang menggambarkan pertarungan kekuatan baik versus kekuatan jahat dalam jagat politik kekuasaan. ”Kesalahan” Risma—yang kemudian terbukti menjadi kabar baik bagi warga kota—adalah upayanya melakukan redistribusi kesejahteraan dan kenyamanan bersama berdasarkan prinsip-prinsip public good. Dia telah menutup keran akses kesejahteraan bagi segelintir elite di satu sisi, tetapi juga membukanya bagi sebagian besar warga kota di sisi lain. Prinsip public good yang dia terapkan jelas mengusik kenyamanan para pemodal busuk, tetapi telah berhasil menciptakan keadilan distributif bagi semakin banyak warga kota. Dalam konteks lebih luas, ”kesalahan” Risma dalam waktu bersamaan juga adalah ”kebenaran” publik. Ibarat mengonsumsi jamu, maka rasa pahit adalah kesalahan bagi lidah, tetapi kesehatan adalah kebenaran bagi tubuh. Jika kita ingin sehat, maka pilihannya bukan menghindar dari jamu, tetapi tetap mengonsumsinya sekalipun terasa pahit. Demikianlah, akal sehat terbukti menjadi ramuan ampuh dalam mengurai dan menyelesaikan segudang persoalan yang mengepung Surabaya. Malafungsi akal sehat Jika mau jujur, segala bentuk masalah perkotaan di negeri ini tidak lepas dari malafungsi akal sehat dalam penataan ruang publik. Keberadaannya sering kali dimandulkan oleh kekuatan modal yang destruktif serta mentalitas korup dari para penyelenggara negara. Kasus Risma mewakili fenomena gunung es. Maka, jadilah kota-kota kita tak ramah bagi para penghuninya. Ini semua berawal dari tersingkirnya peran akal sehat dari pusaran politik keseharian. Akal sehat yang membimbing politik merupakan musuh besar (anathema) bagi mereka yang ingin keuntungan jangka pendek. Contoh paling gamblang dari malafungsi akal sehat dalam dunia politik adalah rekayasa antara para pemodal busuk dan elite politik serta birokrasi di balik kebijakan anggaran negara. Akal sehat mengatakan, anggaran negara semestinya dialokasikan dan didistribusikan secara adil dan merata demi terciptanya kesejahteraan publik seluas-luasnya. Pada kenyataannya, politik anggaran hanya menjangkau sebagian masyarakat dan dialokasikan pada pos-pos yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. Bahkan, di sejumlah daerah alokasi APBD sudah menjadi kapling parpol pemenang daerah pemilihan (dapil) agar ia bisa tampil sebagai sinterklas bagi konstituen. Sebuah gambaran paripurna dari mandulnya akal sehat dalam ruang-ruang publik kita. Hal yang lebih menggelikan dan melawan akal sehat: prinsip pengalokasian anggaran berjalan secara tandem dengan prinsip serapan anggaran. Akibatnya, penyusunan rencana anggaran tahunan berjalan secara asal-asalan, tidak kreatif, dan hanya bersifat tambal sulam belaka. Dalam hal pembangunan infrastruktur, misalnya, alokasi anggaran hampir pasti ditujukan pada pengaspalan jalan. Namun, yang jauh menggelikan, aspal itu ”harus” mengelupas dalam kurun waktu kurang dari setahun. Sebab, aspal yang kuat dan awet merupakan kabar buruk bagi kemampuan serapan anggaran di daerah. Ada paradoks yang teramat konyol di sini: membangun untuk (me-) rusak. Politik yang terbimbing oleh akal sehat semestinya meniscayakan durabilitas, keawetan, dan daya tahan kualitas pembangunan. Membangun tidak semata didorong oleh hasrat melakukan serapan anggaran, tetapi lebih karena menghadirkan public good bagi sebanyak mungkin warga negara. Tidak bisakah membangun untuk bertahan selama mungkin? Logika awam mengatakan: bukankah membangun dengan kualitas prima jauh lebih efisien ketimbang membangun tetapi diperbaiki setiap tahun? Ini yang disebut dengan common sense! Sebagai bukti betapa pembangunan di negeri ini tidak terbimbing oleh akal sehat adalah kerusakan jalan pantai utara (pantura) Jawa akibat terjangan banjir tempo hari. Terdapat lebih 3.000 lubang dari Jakarta hingga Semarang yang sangat merugikan banyak pihak. Di samping menyebabkan keterlambatan distribusi barang-barang dan logistik, lubang-lubang tersebut menyebabkan ketidaknyamanan pengendara, bahkan kematian sia-sia. Dalam perspektif negara kesejahteraan (welfare state), negara harus bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan infrastruktur publik. Jika Anda ingin dicintai rakyat, jangan bunuh akal sehat! ● |
Post a Comment